Kami dengan Segala Stigma

 Kami dengan Segala Stigma

Di balik aktivitas yang padat, terdapat sosok kehidupan yang penuh dengan tantangan perjuangan. Ya, dialah seorang transpuan yang berasal dari timur Indonesia.  VJ adalah sebuah nama yang kerap menjadi sapaan di berbagai kalangan masyarakat dan komunitas. Transpuan yang lahir pada tahun 1998 ini merupakan seorang aktivis muda yang bekerja untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak orang dengan minoritas identitas gender.

Lantas apa yang membuat ia tertarik untuk menjadi seorang aktivis transpuan muda?

————————————————————————————

  • Berawal dari Label “Sampah Masyarakat”

 Terlahir sebagai seseorang dengan identitas dan ekspresi gender berbeda tentunya membuat  ia lekat dengan segala macam stigma dan diskriminasi. Label “sampah masyarakat” kerap menjadi istilah yang dilayangkan bagi mereka termasuk dirinya yang hidup dengan identitas gender berbeda. Bahkan label itulah yang membuat dia hidup dalam keputusasaan karena kurangnya penerimaan dan selalu ada penolakan.

Baca Juga: Solidaritas untuk Korban Kekerasan dan Kelompok Marginal

  • Sulit Mendapatkan “Kartu tanda Penduduk”

Dia itu sedikit nona ya?” (Ujar petugas Dukcapil ke salah satu petugas lainnya). Ia merasa didiskriminasi sehingga membuatnya merasa tidak pantas untuk berada di ruang publik, apalagi untuk mengurus administrasi.

Memangnya salah ka Pak kalo katong bagini, pung susah skali jua, padahal katong ini jua Warga Negara Indonesia loh, katong pung hak par dapa akang KTP ini”. (Memangnya salah kalau kita begini? Susah banget, padahal kita ini juga Warga Negara Indonesia.) Ia berbicara dalam hati sambil menatap dengan kebingungan. Berdasarkan pengalaman itulah, dia  kerap menjadi bahan lelucon ketika berhadapan dengan petugas saat pembuatan E-KTP. Hal ini selanjutnya membuat dia kesulitan untuk mengurus beberapa administrasi kependudukan yang membutuhkan adanya E-KTP tersebut.

  • Tidak Berani Mengekspresikan “Diri”

Sebagai seseorang yang tampil dengan identitas dan ekspresi gender berbeda, tentunya VJ sebagai  transpuan akan mengalami transisi, baik dalam orientasi dan identitas maupun ekspresi.

Berada dalam lingkungan masyarakat yang belum memahami mengenai keragaman identitas gender tentunya akan membuatnya mendapatkan cibiran, salah satunya pada saat berdandan atau berpakaian.

Lia dia do, laki-laki mar pake calana ketat abis itu pake bibir merah lai deng akang”, (“Lihat dia, lelaki tetapi memakai celana ketat, udah gitu pakai juga bibir merah”), tutur seseorang kepadanya.

Karena diskriminasi itulah, dia akan keluar rumah dan berpakaian sesuai dengan ekspresi gender yang dikehendakinya pada saat malam hari.

Baca Juga: #SalingSapaSalingJaga, Gerakan Sederhana bagi Kawan LBTQ

  • Ditolak oleh “Keluarga” dan “Gereja”.

Ose itu bencong, biking malu-malu saja. Pi kaluar dari dalam rumah ni!!”. (“Kamu itu waria, bikin malu saja, mending keluar kamu dari rumah ini)” tutur sang ayah kepadanya. Terpikirkan dalam benaknya bahwa yang bisa menjadi support system (dukungan sistem) baginya ialah keluarganya sendiri, akan tetapi hal itu hanya menjadi angan-angan belaka. Bukan hanya itu, dia juga mendapatkan penolakan dari gereja di mana di situ dia bisa membangun spiritualitasnya dengan sang Pencipta. “Tuhan Allah seng suka laki-laki jadi parampuang,“ (Tuhan Allah tidak suka laki-laki menjadi perempuan”) ucap seorang pendeta kepadanya pada saat melakukan kelas Katekisasi.

Penerimaan diri dan support system yang kuat menjadi tolak ukur baginya dalam menjalani kehidupan. Secara penerimaan diri, dia sudah bisa untuk berdamai dengan dirinya sendiri, tetapi keadaan dan kondisi penolakan yang keras baik dalam bagi kehidupan keluarga dan bergereja yang membuat dia  merasa mengalami penurunan semangat spiritualitas.

  •  Dianggap sebagai “ Penyebar Virus HIV/AIDS”.

Sebagai kaum yang rentan, stigma ini sangat melekat pada kelompok minoritas identitas gender. Cuma par bawa penyakit sa,“ (Hanya untuk membawa penyakit).   Kalimat inilah yang sering ia dengarkan ketika berjalan di daerah atau lingkungan yang berisikan masyarakat yang belum memahami mengenai keragaman identitas gender”

  • Dicap sebagai “ Pembawa Bencana Sosial”.

Selain dituduh sebagai penyebar virus HIV, ternyata dia  juga masih dicap sebagai pembawa bencana sosial. Dalam hal ini transpuan (termasuk dirinya) dijuluki sebagai pembawa pengaruh buruk bagi generasi muda lainnya. Akibatnya dia sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan luas.

—————————————————————————————

Baca Juga: Femisida Bukan Peristiwa Pembunuhan Perempuan Biasa

Dari situlah dia mengambil keputusan untuk keluar dari zona nyaman, dan bertekad untuk menyuarakan hak-haknya sebagai seseorang dengan identitas gender berbeda. Dia berjuang demi mendapatkan keadlian, kehidupan yang setara dan mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana warga negara Indonesia.

Hingga saat ini dia tetap melakukan advokasi dengan berkonsolidasi dengan sekutu-sekutu yang bisa membantunya. Ia juga aktif di media sosial dengan menjadi seorang konten kreator keberagaman, melalui kampanye online guna memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kebegaraman gender serta hak kesehatan seksual dan reproduksi.

 

VJ Rich, seorang aktivis sekaligus kreator konten keberagaman, aktif di Organisasi GWL Maluku dan juga YIFoS Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Digiqole ad