Pelaksanaan CEDAW, Masyarakat Sipil Hadiri Dialog dengan Komite
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Senin malam, 25 Oktober 2021, United Nation TV (UN TV) menyiarkan secara langsung dialog masyarakat sipil dengan Komite Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Selain Indonesia, hadir sejumlah perwakilan masyarakat sipil dari Mesir, Yaman, dan Ekuador.
Dialog secara daring itu dimulai pada jam 21.15 waktu Jakarta, atau jam 23.15 waktu Papua. Pada malam itu, Indonesia dapat mengikuti kegiatan secara live dengan perbedaan waktu 5 hingga 7 jam lebih awal dari Jenewa, Swiss.
Dialog Informal
Dalam setiap sesi review laporan implementasi CEDAW, Komite CEDAW menyediakan forum dialog informal dengan masyarakat sipil dari sejumlah negara. Melalui forum ini, masyarakat sipil dapat berinteraksi secara langsung dengan Komite CEDAW terkait review laporan implementasi CEDAW di masing-masing negara. Sebagaimana dirilis IWRAW Asia Pacific, sesi yang digelar pada 25 Oktober 2021 ini merupakan salah satu tahapan dalam Sesi ke-80 Komite CEDAW yang diselenggarakan antara 18 Oktober sampai 12 November 2021.
Melalui forum ini, masyarakat sipil berkesempatan memaparkan permasalahan dan juga rekomendasi untuk disampaikan kepada Pemerintah melalui Komite CEDAW. Selain bersama masyarakat sipil, dialog pada malam itu juga diselenggarakan bersama Komnas Perempuan sebagai lembaga nasional hak asasi manusia dari Indonesia. Adapun sesi dialog konstruktif antara Pemerintah Indonesia dengan Komite CEDAW diagendakan pada 28 dan 29 Oktober 2021.
Intervensi Lisan
Memasuki menit ke-49 dari total dialog berdurasi 1 jam 33 menit itu, pimpinan sidang mempersilahkan organisasi masyarakat sipil Indonesia untuk menyampaikan intervensi lisan (oral intervention). Indonesia adalah negara ketiga pada malam itu yang menyampaikan intervensi lisan setelah Mesir dan Yaman. Dari Indonesia, tercatat lima pembicara mewakili berbagai unsur jejaring masyarakat sipil dalam fokus isu berbeda.
Setiap orang diberikan waktu antara 2 menit sampai 2,5 menit. Walaupun alokasi waktu yang tersedia sangat singkat, setiap perwakilan masyarakat sipil memanfaatkan waktu yang tersedia untuk menyampaikan permasalahan dan rekomendasi dengan singkat, padat, dan cepat.
Perempuan Papua dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Kesempatan pertama diberikan kepada Magdalena Kafiar yang mewakili 28 organisasi masyarakat sipil Papua. Magdalena antara lain menyoroti persoalan masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan di Papua, termasuk akibat penempatan tentara keamanan di Papua. Selain itu, aspek kesehatan dan kesehatan reproduksi perempuan di Papua juga masih memprihatinkan. Magdalena juga memaparkan persoalan ketiadaan jaminan perlindungan terhadap perempuan pembela hak asasi manusia sebagaimana yang saat ini menimpa pada 2 aktivis perempuan.
Intervensi lisan lainnya disampaikan oleh Yulia Dwi Andriyanti, aktivis pemerhati kekerasan berbasis gender dan seksual. Menurut Yulia, perempuan dan kelompok minoritas seksual seperti lesbian, biseksual, dan transgender merupakan kelompok yang rentan terpapar kekerasan, dan intensitasnya bertambah buruk akibat pandemi. Yulia memaparkan, pembatasan mobilitas, kekerasan fisik, psikis, hingga pemaksaan perkawinan banyak dialami oleh kelompok ini. Di situasi pandemi, dampak ekonomi juga dialami oleh kelompok pekerja seks dan transgender, namun bantuan sosial dari pemerintah umumnya tidak mereka peroleh.
Selain itu, Yulia juga menyoroti kekerasan yang dialami kelompok penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas ditempatkan di tempat penampungan namun sebenarnya lebih menyerupai tempat penahanan, di mana mereka dikunci dan juga diikat. Di tempat ini, mereka kerap mengalami pemukulan, penyiksaan, dan perkosaan.
Pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan serta kriminalisasi aborsi juga tak luput dari sorotan. Situasi itu, menurut Yulia, menunjukkan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi masih perlu ditingkatkan sebagai aspek pencegahan.
Diskriminasi di Dunia Kerja dan Kebijakan Diskriminatif
Sementara itu, Putri Fatimatul dari jejaring masyarakat sipil untuk hak atas pembangunan menyoroti permasalahan hak partisipasi perempuan dalam pembangunan dan dunia kerja. Putri memaparkan berbagai persoalan yang dialami perempuan di dunia kerja, termasuk diskriminasi yang dialami perempuan penyandang disabilitas dan diskriminasi akibat kebijakan seperti UU Cipta Kerja yang meminggirkan perempuan di dunia kerja. Putri juga memaparkan permasalahan kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap perempuan.
Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia mengangkat persoalan kebijakan diskriminatif di tingkat daerah. Mike menyebutkan, umumnya kebijakan diskriminatif itu menyasar pengaturan tubuh dan moralitas perempuan. Seperti pengaturan jenis busana tertentu, pemaksaan berkerudung, dan pemidanaan terhadap kelompok minoritas lesbian, biseksual, dan transgender.
Selain itu, Mike juga menyoroti UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) yang justru mengkriminalkan perempuan korban kekerasan berbasis gender-siber dan kelompok pembela hak asasi manusia. Permasalahan lainnya adalah masih belum maksimalnya keterwakilan perempuan karena berbagai hambatan terkait sistem pemilu, politik uang, dan juga oligarki partai.
Perempuan dalam Perkawinan dan Keluarga
Permasalahan perempuan dalam perkawinan dan keluarga secara khusus disoroti oleh Rita Serena Kolibonso, Gerakan Peduli Perempuan Indonesia. Setelah 37 tahun ratifikasi CEDAW, masih terdapat permasalahan seperti poligami dan pemaksaan perkawinan. Selain itu, pengakuan terhadap perkawinan beda agama dan keragaman bentuk keluarga juga masih menjadi persoalan.
Baca Juga: Perma 5 Tahun 2019: Benteng Terakhir Cegah Perkawinan Usia Anak Melalui Pengadilan
Sekalipun perubahan UU Perkawinan pada 2019 telah menaikkan batas usia perkawinan bagi anak perempuan menjadi 19 tahun, hal itu belum sepenuhnya dapat mengurangi terjadinya perkawinan anak. Penyebabnya antara lain masih terdapat ketentuan yang mengatur dispensasi kawin yang dimanfaatkan oleh orangtua. Sementara itu, sejumlah studi menunjukkkan situasi pandemi memperburuk situasi perempuan, di antaranya terjadi peningkatan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak perempuan.
Rekomendasi
Dalam forum dialog tersebut, masing-masing pembicara menitipkan sejumlah rekomendasi kepada Komite CEDAW untuk disampaikan kepada Pemerintah Indonesia. Antara lain, agar pemerintah Indonesia meningkatkan upaya pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi sebagai bagian dari upaya pencegahan kekerasan berbasis gender. Selain itu, Pemerintah Indonesia diminta untuk mencabut regulasi yang tidak sejalan pelaksanaan prinsip Kewajiban Negara sebagaimana dimaksud Rekomendasi Umum 28 Komite CEDAW.
Adapun untuk meningkatkan perlindungan perempuan di dunia kerja, Pemerintah Indonesia diminta untuk segera meratifikasi Konvensi International Labor Organizaition (ILO) yang terkait dengan perlindungan perempuan di dunia kerja. Termasuk di antaranya Konvensi ILO 177 tentang Pekerja Rumahan, Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga, dan Konvensi ILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Selain itu, Pemerintah juga diminta untuk segera mengesahkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga untuk menghadirkan perlindungan bagi para pekerja rumah tangga.
Masyarakat sipil juga meminta kepada Komite CEDAW untuk merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, merevisi UU ITE, dan mencabut UU Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, Pemerintah Indonesia diharapkan segera meratifikasi Optional Protocol CEDAW, mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, merevisi UU Pemilu, dan merevisi KUHP agar menjerat pelaku kekerasan berbasis gender-siber. Demikian pula halnya revisi UU Perkawinan khususnya terhadap pasal-pasal yang mendiskriminasi perempuan.
***
Jarum jam sudah bergerak ke angka 22.48 WIB. Siaran langsung dari UN TV pun berakhir. Malam itu, melalui dialog bersama Komite CEDAW, para pembicara dari Indonesia mengingatkan berbagai permasalahan dan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia untuk pelaksanaan CEDAW di Indonesia. [RAM]