Femisida Bukan Peristiwa Pembunuhan Perempuan Biasa

 Femisida Bukan Peristiwa Pembunuhan Perempuan Biasa

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Kekerasan terhadap perempuan bisa mewujud dalam banyak rupa. Yang terburuk kekerasan terhadap perempuan bisa berujung kematian.

Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist) awal Desember 2022 menulis laporan tentang peristiwa pembunuhan perempuan di Indonesia. Sebelumnya, sepanjang 2016-2017 dalam laporan berjudul “Menghitung Pembunuhan Perempuan,” Jakarta Feminist menemukan 361 kasus pembunuhan perempuan yang hampir semuanya dilakukan oleh laki-laki.

Tahun ini, Jakarta Feminist kembali merilis laporan “Femisida: Analisis Pemberitaan Online Kasus Pembunuhan Perempuan di Indonesia pada Tahun 2021.” Dalam laporannya perkumpulan ini mengungkap telah terjadi sebanyak 256 kasus pembunuhan perempuan di Indonesia. 289 jiwa perempuan menjadi korban pembunuhan dari 309 pelaku. Temuan itu antara lain 217 kasus femisida, 17 kasus pembunuhan akibat tindak kriminal, 4 kasus pembunuhan transpuan, dan 18 kasus pembunuhan bayi, balita, dan anak perempuan.

Dari temuan tersebut, sebesar 49 persen peristiwa pembunuhan dilakukan di area rumah. 37 persen korban yang dapat diidentifikasikan memiliki hubungan intim dengan pelaku. Dari keseluruhan korban, 62% merupakan perempuan dengan rentang usia 18-60 tahun.

Laporan ini bersumber pada pengumpulan data selama Mei-September 2022. Proses pencarian dengan mesin pencari Google, menggunakan kata kunci tertentu, termasuk wilayah dan tahun pencarian untuk memiminalisasi kekeliruan. Tulisan ini bersumber dari laporan tersebut, menerangkan pengertian femisida, pun temuan laporan lainnya.

Baca Juga: Menemukenali Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  1. Definisi Femisida

World Health Organization (WHO) mendeskripsikan femisida sebagai pembunuhan yang terjadi pada perempuan, semata karena ia perempuan. Sedangkan United Nations (2021) mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terkait gender terhadap perempuan dan anak perempuan.

Garis besarnya femisida adalah pembunuhan perempuan yang menekankan adanya unsur ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap perempuan, termasuk transpuan. Yang termasuk femisida adalah peristiwa yang kejadiannya baik di dalam ranah personal seperti hubungan keluarga dan intim/romantis, maupun ranah publik (tempat kerja misalnya).

Yang membedakan femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya unsur kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) serta penindasan terhadap perempuan yang terjadi secara masif.

2. Jawa Tengah Tertinggi

Persentase kasus pembunuhan perempuan terbanyak, yaitu 46% dari total kasus tercatat, terjadi di Pulau Jawa. Kasus femisida terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah (35 kasus) dan Provinsi Jawa Timur (35 kasus). Menyusul kemudian Provinsi Jawa Barat (29 kasus), Provinsi Sulawesi Utara (19 kasus), dan Provinsi Aceh (16 kasus).

3. Korban Femisida

Dari keseluruhan korban, 62% merupakan perempuan dengan rentang usia 18-60 tahun. Sebanyak 24,6% korban memiliki hubungan keluarga dengan pelaku (ayah kandung, ibu, nenek, anak, bibi, keponakan, ipar, saudara kandung). Selain itu, terdapat 36,7% korban kekerasan merupakan pasangan intim pelaku (pacar, istri, istri siri, selingkuhan, mantan, teman kencan). Sementara itu, terdapat 13,3% kasus yang menyasar pada pelajar, mahasiswa, guru, pekerja seks, dan hubungan-hubungan hierarkis lainnya.

4. Pelaku dan Motif  Femisida

Laporan ini menemukan 43% dari 309 usia pelaku berada di rentang 19-40 tahun. Adapun motif pelaku yang paling sering karena problem komunikasi (75 kasus) dan permasalahan asmara (36 kasus). Meski begitu, laporan ini menandai secara khusus adanya faktor penyerangan seksual (22 kasus) dan kehamilan yang tidak diinginkan (18 kasus) yang terjadi dalam hubungan asmara.

Baca Juga: Anak Ibu dan Puan dengan Kehamilan Yang Tidak Dikehendaki

Berdasarkan motif dan korbannya, laporan ini membagi kasus pembunuhan perempuan ke dalam empat kategori. Pertama, femisida (kasus pembunuhan perempuan dengan unsur kekerasan berbasis gender). Kedua,  pembunuhan akibat tindak kriminal, seperti perampokan, kecelakaan lalu lintas, pencurian, dan lain-lain. Ketiga, pembunuhan transpuan, dan keempat pembunuhan bayi, balita, dan anak-anak.

5. Media dalam Pemberitaan Femisida

Laporan ini menyoroti media dalam meliput kasus femisida. Mayoritas media memotret kejadian pembunuhan perempuan bukan sebagai bentuk kekerasan berbasis gender melainkan  sebagai peristiwa pembunuhan biasa. Pemberitaan pembunuhan perempuan kerap kali tidak menjelaskan proses berlangsungnya investigasi. Luput menyediakan sumber daya informasi untuk pembaca yang mungkin penyintas kekerasan berbasis gender. Karakter pemberitaan seperti ini gagal menempatkan insiden pembunuhan perempuan dalam konteks masalah sosial yang lebih besar dan kompleks.

Selain itu, laporan Jakarta Feminist ini menyoroti empat hal. Pertama, framing berita seringkali memojokkan korban maupun pelaku perempuan. Kedua, berita tidak melindungi privasi serta identitas korban. Ketiga, pemilihan kata yang digunakan dalam menarasikan kasus pembunuhan perempuan. Keempat, permasalahan yang tak kunjung diperbaiki oleh media-media online di Indonesia adalah mengenai objektifikasi kepada korban perempuan. [Nur Azizah]

 

 

Digiqole ad