Takhayul yang Meminggirkan Sejarah Perempuan
Oleh: Moh. Rivaldi Abdul
Kenapa eksistensi perempuan seakan tidak kelihatan dalam sejarah, padahal ada banyak perempuan hebat yang menghiasi jalannya sejarah?
Dalam sejarah bangsa Indonesia, misalnya, kita umumnya lebih familiar dengan kiprah Ki Hajar Dewantara, namun banyak yang kurang tahu jejak juang Nyi Hajar Dewantara. Bicara Perang Diponegoro hanya sedikit yang tahu jejak juang Nyi Ageng Serang dalam perjuangan bersejarah itu. Momen Kongres Perempuan Indonesia yang termasuk momentum penting dalam perjuangan kemerdekaan juga tidak begitu dikenal. Dan, berbagai her-story lain yang sekan terpinggirkan di atas panggung sejarah.
Apakah karena ada kata “perempuan” yang menyertai tokoh dan momen yang saya sebutkan itu yang membuatnya menjadi kurang diperhitungkan (dipikirkan)? Saya agak curiga, memang, jangan-jangan karena akibat kentalnya pandangan perempuan sebagai sosok inferior, menganggap mereka tidak mungkin memiliki kiprah kepahlawanan atau ke-superior-an, itu yang membuat mata menjadi buram dalam melihat kiprah kesejarahan perempuan.
Takhayul Kefemininan (Keidealan) Perempuan
Margaret Walters dalam Feminisme menjelaskan pandangan second sex-nya Simone de Beauvoir bahwa, sepanjang sejarah peradaban yang patriarki, perempuan telah ditolak kemanusiaannya, ditolak hak asasi manusianya untuk berkarya dan mencipta. Jadi, dalam masyarakat patriarki, perempuan itu berada di bawah laki-laki. Relasi antara laki-laki dan perempuan yang seharusnya setara, saling melengkapi berdasarkan potensi masing-masing, justru menjadi relasi hierarki yang tidak berimbang, yang dapat kita bahasakan, laki-laki sebagai manusia utama dan perempuan menjadi manusia kedua.
Baca Juga: Perempuan di Masa Kolonial Membayangkan Indonesia
Penggambaran perempuan sebagai manusia kedua ini, misalnya, dapat kita lihat dalam ilustrasi perempuan pada masa sebelum perang, ketika perang, dan setelah perang. Di mana, dalam setiap masa, perempuan sebagai second sex memikul beban yang menghambat aktualisasi diri. Dan, kalaupun mereka punya perandalam peradaban, itu sering tidak dipandang oleh masyarakat patriarki.
Sebelum perang, perempuan harus menjalankan tugas domestik sekaligus harus ikut bekerja menghidupi ekonomi keluarga. Ketika perang, mereka mengurus semua urusan rumah tangga sendiri, dan menjaga perkampungan yang ditinggalkan oleh laki-laki yang pergi berperang. Dan, setelah perang, sebagaimana penjelasan Lindsey Blake Churchill dalam artikelnya yang menjelaskan pandangan Feminine Mystique-nya Friedan,“…after the war, women were expected to return to the domestic spehere… (setelah perang, perempuan diharapkan kembali ke lingkungan domestik).”
Apesnya, aktualisasi diri mereka dalam perjuangan garis belakang tidak mendapat harga. Kemenangan hanya milik laki-laki yang bertempur. Lencana kepahlawanan hanya bagi para aktor perang, bukan untuk mereka yang mati-matian menjaga rumah dan desa. Oleh karena itu, dalam realitas yang seperti ini, perempuan memang sudah dikonsepkan untuk tidak tertulis dalam sejarah perjuangan.
Dan sebagaimana penjelasan Betty Friedan dalamThe Feminine Mystique, “They learned that truly feminine women do not want careers, higher education, political rights… (Mereka belajar bahwa perempuan feminin sungguh tidak menginginkan karir, pendidikan tinggi, dan hak politik).” Perempuan (yang Friedan teliti) seakan menerima semua itu sebagai ideal hidup. Masyarakat patriarki membentuk mereka untuk meyakini takhayul, bahwa perempuan feminin tidak membutuhkan pendidikan dan karir, sebab setinggi apa pun pendidikan mereka perannya tetap hanya kembali ke rumah; sumur, dapur, dan kasur.
Baca Juga: Perempuan dan Wajah Ekstremisme Beragama
Tidak hanya dibentuk untuk meyakini takhayul, bahwa perempuan tidak membutuhkan pendidikan tinggi dan aktualisasi diri sebab mereka makhluk rumahan, sebagai second sex penggambaran ideal tentang perempuan dalam masyarakat patriarki juga dirumuskan oleh laki-laki. Sebagaimana penjelasan Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, “…man defines woman not in herself but as relative to him…. …she is simply what man decrees…. (…laki-laki mendefinisikan perempuan tidak menurut dirinya (perempuan), tapi sebagai relatif (berdasarkan keidealan) untuknya (laki-laki)…. …secara sederhana dia (perempuan yang ideal) adalah apa yang laki-laki tetapkan (tentangnya)….).”
Jadi, dalam masyarakat patriarki, seperti apa dan bagaimana perempuan ideal, itu dikonsepkan oleh khayalan laki-laki. Sehingga, muncul apa yang oleh Betty Friedansebut sebagai feminine mystique. Berbagai takhayul kefemininan yang mengidealkan perempuan sempurna; perempuan harus lembut, perempuan harus bisa memasak, termasuk doktrin perempuan tidak perlu sekolah tinggi, perempuan tidak perlu berkarir, dan lainnya, sebab mereka hanyalah makhluk rumahan yang inferior.
Maka, dalam konteks ini, perempuan sesungguhnya bukan makhluk yang dilahirkan, mereka adalah sesuatu yang diciptakan berdasarkan penggambaran laki-laki dalam masyarakat patriarki. Ironisnya, penciptaan tentang diri mereka tidak berpihak pada aktualisasi diri mereka sebagai perempuan.
Berbagai takhayul kefemininan menjadi pembatas aktualisasi diri, dan mendorong perempuan untuk seakan menjadi sosok inferior dalam peradaban. Kalaupun ada yang menjadi sosok superior, takhayul feminin yang terlanjur melekat pada diri perempuan, memengaruhi cara pandang kita dalam melihat sejarah, sehingga menjadi meragu; apa iya perempuan bisa sesuperior itu padahal mereka hanya makhluk rumahan? Jadi, tanpa sadar takhayul itu meminggirkan sosok perempuan dari sejarah.
Maka, dalam konteks ini, kalau ditanya siapa perempuan itu? Adalah, makhluk yang diciptakan oleh masyarakat patriarki untuk menjadi liyan (sesuatu yang lain), yang berada di bawah laki-laki, yang dikonsepkan untuk terpinggirkan dari sejarah.
Ketika Takhayul Kefemininan Merusak Mindset Sejarah
Saya jadi ingat penjelasan Fahruddin Faiz, dalam Forum Lesehan 10 Tahun Ngaji Filsafat,bahwa feminine mystique menjadi makin parah ketika dihiasi dengan cara pikir biner. Membayangkan keadaan biner; ada sosok yang ideal dan ada yang tidak ideal untuk suatu aktualisasi diri. Sayangnya, dalam hal ranah produktivitas dan superioritas, perempuan sebagai second sex selalu menjadi sosok yang tidak ideal, sedangkan laki-laki selalu dipandang sebagai sosok yang punya potensi menjadi aktor utama dalam ranah itu. Mindset yang seperti ini dapat sangat merusak kesadaran sejarah yang berkesetaraan gender.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa (Bagian 1)
Kita jadi terlalu mengidealkan ranah kepahlawanan dan ke-superior-an untuk laki-laki, dan menganggap perempuan sebagai makhluk rumahan tidak ideal untuk itu. Sehingga, jangankan mau menyadari bahwa ada sosok perempuan hebat di atas panggung sejarah, membayangkan saja tidak. Oleh karena itu, menjadi tidak mengherankan kalau dalam sejarah bangsa, misalnya, kita lebih familiar dengan sosok Ki Hajar Dewantara, tanpa sedikit pun menyadari sepak juang Nyi Hajar Dewantara yang amat luar biasa. Sebab, jangan-jangan, dalam alam pikiran kita, sosok Nyi Hajar Dewantara ya memang tidak lebih dari seorang istri yang jauh dari medan perjuangan pendidikan bangsa.
Begitupun dalam sejarah perjuangan bangsa di medan perang melawan penjajah, kongres-kongresan, dan lainnya, kita lebih menghayati perjuangan kalangan laki-laki, tanpa membayangkan, lebih-lebih mau mencari, ternyata ada juga sejarah perempuan yang luar biasa di medan-medan juang itu. Kalaupun ketemu sosok perempuan yang punya kiprah kepahlawanan, mindset sejarah yang sudah rusak oleh takhayul kefemininan tidak jarang menjadikan orang sulit untuk mengakui eksistensi perempuan sebagai sosok yang superior.
Takhayul feminin membuat kita seakan memandang perempuan sebagai sosok inferior yang minim kiprah kesejarahan. Padahal, jika menelusuri sejarah, maka kita akan dapat menemukan banyak sosok perempuan hebat yang mewarnai jalannya peradaban.[]
*Mahasiswa Doktoral Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta