Anak Ibu dan Puan dengan Kehamilan Yang Tidak Dikehendaki

 Anak Ibu dan Puan dengan Kehamilan Yang Tidak Dikehendaki

“Nak, benar kamu adalah anak ibu, anak dari ibu yang memilih memberimu kehidupan, menyayangimu di tengah derita dan perjuangannya. Tak soal siapa ayahmu dan bagaimana kamu ada, karena kamu diberikan Tuhan untuk membuktikan anak ibu sama hebatnya dengan yang lain, ibumu hebat nak, dan kau akan membuatnya bahagia dan bangga.”

Hari ini, saya mengantar seorang puan ke Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengurus akta kelahiran anaknya. Puan berusia 28 tahun ini adalah salah satu korban kekerasan seksual yang menyebabkannya mengalami Kehamilan Yang Tidak Dikehendaki (KTD).

Bisa dibayangkan bagaimana beban psikis yang dialaminya? Di satu sisi ia harus memulihkan dampak perkosaan, sementara di sisi lain tumbuh janin di dalam tubuhnya.

Dalam banyak kasus, perkosaan yang menyebabkan KTD diselesaikan dengan perkawinan paksa, baik dengan pelaku atau orang lain, diaborsi atau berakhir dengan pembunuhan /pembuangan bayi yang baru dilahirkannya.

Pilihan yang kemudian menempatkan korban kekerasan seksual kembali menjadi korban dan tetap berada dalam lingkar kekerasan.

Puan ini, di tengah perjuangannya, meneruskan kehamilan dan melahirkannya, kini anandanya sudah berusia 6 tahun.

”Kenapa kita ke sini? Apakah untuk mengurus akta kelahiran?”

“Kita akan mengurus akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Kita ke KPAI untuk berkoordinasi karena KPAI memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Dan hak anak yang pertama adalah hak atas identitas yang dibuat dalam bentuk akta kelahiran.”

“Oh… begitu, apakah banyak anak-anak seperti anakku? tidak punya akta kelahiran?”

“Ya… masih banyak.”

Akta Kelahiran, Hak Pertama bagi Anak

Persentase jumlah anak yang belum memiliki akta kelahiran, menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, pada tahun 2017, sebanyak 25,71% dari 77.309.969 anak atau 19.879.068 anak.

Walau jumlahnya terus mengalami penurunan, namun hal ini masih menunjukkan bahwa hak pertama bagi anak warga negara belum dinikmati oleh setiap anak di Indonesia.

Padahal, pemenuhan kewajiban Pemerintah diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Perlindungan Anak yang menyatakan, “pembuatan Akta Kelahiran menjadi tanggungjawab Pemerintah yang dalam pelaksanaannnya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.”

Salah satu sebab adanya anak-anak yang belum memiliki akta kelahiran karena keterbatasan pengetahuan tentang cara pengurusan dan ketidakmampuan orang tua memenuhi persyaratan untuk mengajukan pembuatan akta kelahiran.

Hal ini dikarenakan anak dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan (perkawinan siri/adat) atau anak yang lahir dari KTD baik karena perkosaan ataupun hal lainnya.

Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat, ataupun tanpa perkawinan seperti korban kekerasan, secara hukum disebut sebagai ANAK IBU.

Ketidaktahuan bahwa anak dari ibu dapat dibuatkan akta kelahiran, atau sengaja dilakukan untuk menutupi malu, seringkali disalahgunakan oleh sejumlah pihak untuk melakukan penyelundupan hukum dalam pembuatan akta kelahiran.

Seperti dibuatkan akta kelahiran atas nama kakek dan neneknya, dikawinkan paksa sampai anak dilahirkan, atau didaftarkan atas nama orangtua angkat tanpa melalui proses adopsi secara hukum.

Penyelundupan hukum semacam itu justru melanggar hak anak yaitu hak untuk mengetahui asal usulnya.

Akta Anak Ibu

Anak yang lahir di luar perkawinan atau korban kekerasan, tentu tidak dapat menyertakan kutipan akta perkawinan orang tuanya. Namun, pencatatan kelahiran tetap dapat dilaksanakan. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengurus atau menunda pembuatan akta kelahiran.

“Nanti, di akta kelahiran, anakku akan ditulis apa?” Apakah akan ditulis anak luar kawin?”

“Tidak beda dengan anak-anak lainnya, akan ditulis nama, tempat dan tanggal lahir, anak ke, jenis kelamin, nama ibu. Sedangkan untuk anak yang lahir dalam perkawinan tercatat tulisannya nama, tempat dan tanggal lahir, anak ke, jenis kelamin, nama ayah dan ibu.”

“Dulu memang ditulis anak di luar kawin, tapi sekarang sudah dihilangkan, jadi ananda nanti tidak perlu malu.”

Puan menarik napas lega dan tersenyum.

Selesai berkoordinasi, kami beranjak pulang. Di tengah jalan, puan memegang erat tanganku.

“Bagaimana jika setelah ia (ayah kandung anandanya) keluar dari penjara, ia mau ambil anakku dan mau namanya ada di akta kelahiran?”

“Secara hukum ia tidak memiliki hak atas ananda. Jika ia mengambil paksa, kita bisa adukan dengan penculikan. Namun, jika kemudian ia mau mengakui dan menginginkan namanya ada dalam akta kelahiran, maka harus sepersetujuan ibu, dan harus mengajukan penetapan ke pengadilan untuk pengakuan anak. Setelah ada penetapan pengadilan, baru ke Disdukcapil untuk mencatatkan pengakuan anak dan statusnya sebagai ayah biologis. Tapi, hal itu tidak perlu dipikirkan sekarang, kita selesaikan satu persatu, yang penting ananda dapat akta dan bisa sekolah ya.”

Puan mengangguk

Kami berpisah dengan janji bertemu kembali di Disdukcapil. Jika ananda nanti dewasa dan menanyakan mengapa di akta kelahiran hanya ada nama ibu, aku akan jawab:

“Nak, benar kamu adalah anak ibu, anak dari ibu yang memilih memberimu kehidupan, menyayangimu di tengah derita dan perjuangannya. Tak soal siapa ayahmu dan bagaimana kamu ada, karena kamu diberikan Tuhan untuk membuktikan anak ibu sama hebatnya dengan yang lain, ibumu hebat nak, dan kau akan membuatnya bahagia dan bangga.” (SAT)

——
Syarat Pengajuan Pembuatan Akta Kelahiran: (1) Surat kelahiran dari dokter atau bidan maupun penolong kelahiran. (2) KTP saksi saksi kelahiran; (3) Kartu Keluarga orang tua; (4) KTP orang tua; dan (5) Kutipan Akta Nikah Orang Tua. Syarat yang seringkali tidak dapat dipenuhi oleh puan dengan KTD adalah akta nikah.

Persyaratan Pembuatan Akta Kelahiran bagi Anak Ibu tidak berbeda dengan pembuatan Akta Kelahiran pada umumnya, yakni dengan melampirkan: (1) Surat kelahiran dari Dokter/Bidan/Penolong Kelahiran; (2) Nama dan Identitas saksi kelahiran; (3) Kartu Tanda Penduduk Ibu; dan (4) Kartu Keluarga Ibu.

Bahkan untuk anak-anak yang terlambat lebih dari satu tahun, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak memerlukan penetapan pengadilan, melainkan melalui keputusan instansi pelaksanan pencatatan.

Fungsi Akta Kelahiran: (1) Pengakuan atas identitas hukumnya yaitu nama, tempat tanggal lahir, kewarganegaraan dan asal usulnya; (2) Menjadi bukti status kewarganegaraan anak, yang menempatkan hak anak untuk dijamin, dipenuhi dan dilindungi oleh negara (hak pendidikan, kesehatan, hak hidup dll); (3) Membuktikan status keperdataan dan akibat hukum yang melekat, seperti hak waris dari orangtuanya; dan (4) Memberikan kepastian hukum atas usia biologisnya untuk mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, penegakan hukum untuk tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan eksploitasi seksual.

sumber gambar: Vecteezy

——
Siti Aminah, S.H.
Penulis adalah Advokat Publik

Digiqole ad