#SalingSapaSalingJaga, Gerakan Sederhana bagi Kawan LBTQ

 #SalingSapaSalingJaga, Gerakan Sederhana bagi Kawan LBTQ

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Sudah hampir dua bulan masa swakarantina dilakukan para penduduk DKI Jakarta, bahkan sebelum kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan. Tinggal di wilayah zona merah terbesar dalam pesebaran Covid-19, tentu membuat saya terimbas dengan berbagai rasa. Mulai dari bingung dan cemas dengan situasi yang tak menentu ujungnya, hingga kesepian yang membangkitkan berbagai perasaan masa lalu. Berbagai pertemuan dibatalkan dan kerja dari rumah pun membuat saya merasa terasing karena saya tinggal sendirian di rumah kontrakan. Namun, situasi ini pun berarti juga adalah privilese karena tak sedikit orang-orang yang tinggal bersama-sama di lingkungan rumah dengan jarak yang rapat sehingga kerap membuat rasa cemas potensi saling menularkan virus semakin tinggi.

Dalam situasi ini, saya perlu energi untuk dapat bertahan menjalani situasi pandemi yang saya tidak pernah tahu pasti kapan ini berakhir. Namun, saya juga tidak ingin terjebak dengan konsep produktivitas selama masa pandemi yang sebetulnya bisa menjadi hal yang toksik dibandingkan membuat diri lebih berdaya. Apa maksudnya? Ya, dengan situasi pandemi yang mengubah pola kehidupan ekonomi – mulai dari pemecatan hubungan kerja, penghasilan sehari-hari menurun drastis, atau berbagai tantangan kerja dari rumah –, setiap orang merasa tetap harus produktif dalam masa-masa sulit ini. Artinya, rasa cemas atau stres yang membuat orang tidak dapat berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Tentu saja tak bermakna jika produktivitas selalu mengacu pada upaya menghasilkan nilai ekonomis semata. Padahal, produktivitas itu lahir dari keleluasaan pikiran, rasa, dan gerak tubuh untuk menghasilkan sesuatu yang membuat seseorang berdaya, bukan mengeksploitasi dan menggantikannya dengan upah yang sangat rendah. Maka, bagi saya kondisi ketika seseorang merasa belum dapat berbuat dan berpikir apa-apa itu tidak masalah.

Kondisi swakarantina membuat saya cukup banyak menghabiskan waktu menghadapi diri saya sendiri dengan berbagai emosi yang naik-turun setiap hari. Saya berupaya menyapa diri sendiri dengan berbagai cara, mulai dari menjurnal, latihan napas, dan menggambar. Hingga tiba di suatu titik saat saya merasa perlu menyapa seseorang dan melihat keluar bahwa ternyata solidaritas antarwarga terus mengalir di tengah physical distancing ini. Berbagai hashtag bermunculan menunjukkan ragam solidaritas, mulai dari #rakyatbanturakyat, #wargabantuwarga, #salingjaga, #petanibantuburuh, dan lain-lain. Saat saya memilih membaca postingan ataupun mendengar berbagai diskusi online mereka dibandingkan menyimak respon Pemerintah yang super lambat dengan pendekatan keamanan dan birokratis dalam menghadapi darurat kesehatan ini, saya merasa lebih bersemangat dan lebih baik.

Suatu saat, salah satu kawan menyapa saya. Kami berdua telah bicara beberapa hal tentang kebahagiaan diri (well-being) bagi individu dan kelompok perempuan Lesbian Biseksual, Queer dan translaki-laki (LBTQ) sebelum pandemi terjadi. Kala itu kami menyoroti tantangan pengorganisasian komunitas serta advokasi bagi individu atau komunitas LBTQ juga beriringan dengan kendala dalam merawat kesejahteraan diri, baik ekonomi maupun mental. Tak sedikit individu LBTQ adalah juga pencari nafkah bagi keluarganya dan berhadapan dengan persoalan penerimaan, bahkan juga kekerasan dalam keluarga. Perjuangan terjadi tak hanya saat muncul di masyarakat sebagai seseorang yang terus bergerak untuk pemenuhan hak-hak LBTQ sebagai warga negara, namun juga dalam keseharian ketika berinteraksi dengan lingkaran terkecil, yakni keluarga. Karenanya, kami berpikir tentang pentingnya ruang untuk terus membahas tentang well-being bagi individu dan kelompok LBTQ.

 

Namun, situasi pandemi menunda rencana kami. Kami pun bersepakat melakukan hal kecil yang kami mampu untuk menyapa kawan-kawan yang juga terdampak Covid-19, baik secara ekonomi maupun mental. Kami memulai dari lingkar terdekat kami, yakni kawan-kawan LBTQ, baik yang kami sudah kenal dekat, baru kenal, atau belum kenal sama sekali. Melalui survei sederhana yang disebar lewat jaringan pribadi sepanjang dua minggu terakhir di bulan April 2020, kami berharap dapat memperoleh potret tentang situasi ini. Meskipun, kami juga menyadari bahwa berbagi informasi bukan hal mudah karena berkaitan erat dengan kepercayaan tentang keamanan dan kerahasiaan informasi tersebut.

Setelah mengumpulkan informasi, kami mulai membaca dan menganalisisnya satu persatu. Beberapa hal penting kami dapatkan untuk menggambarkan kondisi LBTQ selama pandemi (untuk infografisnya bisa dicek di IG soresobat). Ada 42 kawan LBTQ dari 12 provinsi yang berkenan berbagi cerita tentang situasi yang dialami. Partisipasi dari kawan-kawan LBTQ ini sangat berharga karena hal ini menyiratkan rasa percaya satu sama lain. Kenapa? Tak dipungkiri informasi LBTQ sulit didapatkan dibandingkan informasi kawan-kawan transpuan karena kawan-kawan LBTQ tidak selalu visible serta keberadaan yang tersebar-sebar, baik secara geografis, interaksi dalam berkomunitas, tingkat pendapatan ekonomi, dsb. Karena itu, informasi yang dibagikan lewat survei adalah bentuk rasa percaya yang diberikan.

Dalam memahami kondisi ekonomi, ada 26 kawan LBTQ (62%) yang terdampak secara ekonomi dengan situasi penghasilan sehari-hari berada < Rp500.000 hingga Rp2.000.000. Ada juga kawan yang berpenghasilan Rp4.000.000, namun karena perusahaan tidak memberi keringanan terhadap target yang harus dipenuhi selama pandemi, maka ia harus menggunakan separuh dari penghasilan untuk membeli produk perusahaan tersebut atas nama orang lain. Kondisi pemecatan dari tempat kerja atau penghasilan menurun hingga 75% terjadi karena mayoritas bekerja di sektor informal, wiraswasta atau pekerja kemanusiaan. Berbagai kondisi tersebut membuat kawan-kawan LBTQ kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri, baik membeli pangan sehari-hari dan membayar sewa tempat tinggal.

Dampak kesehatan mental dirasakan 37 kawan LBTQ (88%) dengan setiap orang dapat mengalami lebih dari satu bentuk. Dampak ini bisa berupa imbas langsung dari situasi pandemi maupun persoalan kondisi mental sebelum pandemi yang makin menguat saat krisis ini terjadi.  Tiga bentuk yang paling tinggi dirasakan adalah: a) rasa cemas karena kesepian dan bingung dengan pola perubahan aktivitas sehari-hari; b) rasa stres karena tidak dapat bekerja dan kehilangan penghasilan; serta c) rasa tidak nyaman karena ancaman, tekanan atau kekerasan psikis dari orang serumah.

Namun, di balik dampak ekonomi dan mental yang sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari, kawan-kawan LBTQ bersedia berbagi. Survei ini memotret 38 kawan LBTQ yang bersedia berbagi pengalaman sehari-hari dalam menghadapi pandemi, terutama cara-cara untuk melakukan perawatan dan pemulihan diri, seperti latihan napas, menjurnal, menggambar, menanam, bermain musik, bernyanyi, mengelola keuangan, dsb.

#SalingSapaSalingJaga menjadi gerakan sederhana yang perlahan dilakukan dengan kapasitas masing-masing dalam bertahan sekaligus juga menguatkan satu sama lain. Kondisi ekonomi dan kesehatan mental makin menegaskan tentang pentingnya solidaritas ini. Dengan saling sapa, saya dapat mengetahui kondisi kawan-kawan dekat maupun yang belum pernah saya jumpai sama sekali. Saling sapa menjadi kekuatan semasa pandemi yang melatih saya untuk terbiasa dengan berbagi cerita tentang dinamika hidup yang paling personal – hal yang mungkin tidak selalu dapat dilakukan setiap orang, terlebih dengan ragam pengalaman hidup yang kerap dinafikan oleh struktur dan kultur hetero-patriarki. Lalu, saling jaga menjadi ajakan untuk melakukan hal-hal kecil untuk tetap merekatkan rasa karena pandemi ini tidak dapat dilewati sendirian. Meskipun dalam keseharian, setiap orang tetap menjalani kehidupannya dengan menjaga jarak fisik, bukan berarti rasa solidaritas jadi meredup dan hilang.

Informasi tentang #SalingSapaSalingJaga dapat dipantau di akun Instagram SoreSobat. Kami pun juga membuka ruang untuk berbagi, baik dalam bentuk patungan dana maupun inisiatif lain yang bisa menghubungkan gerakan sederhana ini dengan gerakan solidaritas lainnya. Patungan dana dapat dikirimkan melalui Bank BTPN dengan nomor rekening 90011354935 a.n Yulia Dwi Andriyanti. Selain itu, SoreSobat secara reguler akan mengadakan acara-acara live IG dengan mengundang berbagai kawan untuk berbagi pengalaman sehari-hari selama pandemi.

Seperti yang dikatakan Audre Lorde, salah seorang feminis lesbian kulit hitam favorit saya,

“Perasaan kita adalah setapak yang tulus menuju sebuah pengetahuan.

Tanpa komunitas, tidak akan ada pembebasan.”

 

Ya, dengan merasakan, maka saya tahu tentang situasi yang terjadi pada diri saya. Dari pengetahuan tentang diri, selanjutnya saya bergerak untuk bertemu orang lain dan kelompok lain agar kami bisa saling berdaya.

Selamat merasakan dan membagikan daya lewat berbagai cara!

 

Yulia Dwi Andriyanti

Menulis tentang tema seksualitas, makanan, keimanan, dan gerakan sosial; mengagas @Qbukatabu, tengah mempraktekkan self-care dan menjalani hidup vegan.

Digiqole ad