12 Tahun Silam Banyak Orang yang Belum Mengetahui: Apa Itu Kekerasan Seksual?
Oleh: Chris Purba
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual akhirnya resmi disahkan, tepatnya, Selasa, 12 April 2022. Lahirlah Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan memuat substansi 9 Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Setiap orang pasti memiliki kisah dan catatan hariannya (diary) mengenai proses kampanye dan advokasi dari undang-undang ini. Saya yakin, teman-teman seperjuangan yang lain lebih banyak berkontribusi daripada saya. Namun, ada baiknya setiap orang mencatat prosesnya masing-masing sebagai pembelajaran bersama bagi semua.
Perjuangan ini telah dimulai tahun 2010, sejak 12 tahun silam. 2010 adalah saat sosialisasi ’15 Bentuk Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani’. Sedangkan saya sendiri mulai intens untuk belajar dan mengikuti proses ini sejak 9 tahun silam.Tepatnya tahun 2012, ketika bergabung sebagai Badan Pekerja di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Ketika itu namanya masih RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Saya pun menjadikan booklet ’15 Bentuk KS: Kenali dan Tangani’ sebagai buku pegangan untuk Tesis Sosiologi: Kekerasan Seksual di Tragedi Mei 98. Dengan memahami buku itu, saya dapat menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi di Tragedi Mei 98. Mengapa masih disangkal?
Baca Juga: UU TPKS: Tonggak Baru Peradaban Indonesia
Senjakala Pusaran Tak Ada Kepastian
Ada beberapa kesempatan pada proses kampanye, advokasi dan beberapa percakapan yang saya sendiri beruntung dapat mengikutinya, sebutlah di antaranya:
- Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2012 – 2013)
Pada masa ini saya mengikuti perjalanan kampanye di beberapa kota, antara lain Bengkulu, Ambon, Indramayu, dan Bandung menemani beberapa komisioner. Frasa “kekerasan seksual” belum banyak dipahami, termasuk bentuk-bentuknya. Sebagian besar lebih merujuk bentuknya pada perkosaan dan pelecehan semata. Padahal ada bentuk kekerasan seksual lainnya.
Di Komnas Perempuan, ada Unit Pengaduan Rujukan (UPR) yang biasanya menerima kasus, memberikan analisis apakah kasus tersebut termasuk gender based violence (GBV – kekerasan berbasis gender), dan memberikan rujukan kepada korban. Hal lainnya yang juga penting dari UPR adalah menemukenali bentuk kasus terbaru. Sebutlah Sterilisasi Paksa adalah temuan terakhir dari 15 bentuk kekerasan seksual tersebut. Hal ini seringkali dialami oleh perempuan disabilitas.
- Penyusunan Naskah Akademik RUU P-KS Sejak 2014
Penyusunan naskah akademik ini dilakkukan dengan mengundang mitra jaringan. Biasanya dilakukan di Ruang Persahabatan Lt. 1 Komnas Perempuan. Yang memimpin prosesnya (lead) adalah Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (RHK). Beberapa kali staf dari divisi lain diundang untuk mendengar dan memberi masukan. Saya tertarik mengikuti beberapa pertemuan, terutama bila pembahasannya mempertautkan kekerasan seksual secara sosiologis dan planologis spasial-keruangan;
Baca Juga: Kutulis Sepenggal Ingatan Tentang RUU PKS – RUU TPKS dan Kini menjadi UU TPKS
- Audiensi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, 2016
Pertemuan ini dilakukan setelah RUU P-KS masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI pada 2016. Di akhir pertemuan ini, Presiden mendukung dan mengutus dua wakilnya (menteri) untuk mengawal proses diskusi dengan Komnas Perempuan dan mitra jaringan. Saya menuliskan reportase dari pertemuan ini di newsletter Berita Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
- Kolaborasi Kampanye dengan Kominfo, 2017
Sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bukan kementerian yang ditunjuk Presiden secara langsung. Namun, Komnas Perempuan mengirimkan surat audiensi kepada Kominfo. Setelah pemaparan agenda kerja kampanye, kami bersyukur Bu Niken (pada saat kami bertemu adalah Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, saat ini Sekretaris Jenderal Kominfo) menerima kami dengan baik. Hasil dari pertemuan ini, Kominfo menyebarluaskan konten-konten untuk ‘Sahkan RUU P-KS’ kepada semua jejaring kerjanya, baik lintas kementerian maupun kantor perwakilan di setiap provinsi.
- Klarifikasi Hoax terhadap RUU P-KS, 2017-2019
Pada selang tahun ini, hoax semakin menjamur. Tahun ini lebih banyak melakukan klarifikasi dari suara-suara sumbang, dengan beragam aktivitas. Salah satunya mengundang media dalam media briefing (pertemuan dengan media – Red) dengan menghadirkan narasumber Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kepolisian, dan Dewan Pers. Aktivitas lainnya adalah kampanye payung hitam di seberang istana. Kami menyebutnya demikian karena kami membagikan payung hitam yang bertuliskan ‘Sahkan RUU P-KS’ kepada yang hadir.
Baca Juga: Saatnya Penuhi Hak Korban, Tuntaskan Pembahasan RUU PKS oleh DPR RI
- Tidak Ada Pengesahan RUU P-KS sampai Berakhirnya Masa Bakti DPR RI Periode 2014-2019 sampai 30 September 2019
Pada masa ini RUU P-KS nyaris tenggelam, bukan hanya karena hoax di seputarnya, melainkan pada masa ini mulai muncul ‘RUU Siluman’. Itulah bahasa media yang menjelaskan muncul RUU yang tidak diketahui kapan mulai mekanisme pembahasannya, namun di periode akhir dewan, sepertinya akan disahkan.
Pada periode ini kampanye untuk pelemahan KPK dengan #ReformasiDikorupsi menjadi pusaran utama. Pada periode inilah, RUU P-KS pun tak kunjung disahkan. Selanjutnya kampanye dimulai lagi pada periode berikutnya yaitu 2019-2024 yang berujung pengesahan terhadap RUU TPKS.
- Jeda Kampanye dan Studi Ekskursi di New Delhi India, 2020
Setelah RUU P-KS tak kunjung disahkan, semua orang pasti mengalami kelelahan. Perlu jeda waktu sebelum memulai kampanye dan advokasi lagi. Saya kembali bersyukur sebuah disposisi pimpinan dilayangkan kepada saya. Disposisi ini untuk mengikuti studi ekskursi ke New Delhi India yang difasilitasi oleh Fair Wear Foundation.
India telah memiliki Undang-Undang Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja. Ini merupakan kesempatan untuk belajar dari India. Setelah kurang lebih, satu pekan di New Delhi, India (26 Januari – 1 Februari 2020), saya menarik sebuah kesimpulan:
“Indonesia telah menyusun Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang lebih komprehensif, tak hanya khusus di lingkungan tempat kerja (workplace). Selain itu, juga menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang aktual. Namun, karena Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tak kunjung disahkan dan belum meratifikasi Konvensi ILO 190, maka Indonesia tak jauh lebih baik daripada India. Tidak ada payung hukum, terutama untuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan pekerja perempuan”.
Kesimpulan ini telah saya sampaikan pada saat pemaparan di India. Meskipun India telah memiliki undang-undang dengan substansi yang terbatas, namun Indonesia belum memiliki sama sekali payung hukum. Beda kondisinya saat ini, setelah UU TKPS telah disahkan. Laporan perbandingan dari kedua undang-undang ini dapat diunduh dari website Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Baca Juga: Mengawal RUU TPKS Pro Korban
- Percakapan Ompung Pendeta Minaria Sumbayak, 2021
Seperti yang saya tulis di awal, bahwa tulisan ini lebih merupakan catatan harian (diary) sehingga dapat dibilang cukup personal. Pendeta Minaria Saragih Sumbayak adalah ompung (nenek) saya. Lebih tepatnya adik kandung dari nenek saya (Tua Alina). Namun, saya perlu mendengar pendapatnya terutama kaitannya beliau sebagai pendeta perempuan, teolog perempuan pertama Indonesia (Catatan dari Pdt. Bonar Tobing merupakan teolog perempuan Batak pertama).
Dengan usia 93 tahun, beliau termasuk perempuan yang telah mengalami pasang surut segala jaman, sejak Kristen mulai ada di Simalungun, masa Belanda, masa Jepang, pra-kemerdekaan, kemerdekaan, semua Orde dari Orde Lama dan Baru, Reformasi, bahkan masa pandemi. Sekalinya bercerita langsung melintasi jaman. Ingatannya dari masa Jepang bisa langsung masa kini. Ayahnya yang juga pendeta turut merintis sekolah perempuan pertama di Simalungun, sehingga perempuan pun dapat sekolah sama halnya dengan lelaki (1915).
Di gereja GKPS, Ompung Minaria merupakan pendeta perempuan pertama sekaligus perempuan pertama yang mendapat tempat di pengurus pimpinan. Demikian halnya ketika menjadi pendeta perempuan mula-mula di HKBP, setelah mengikuti suaminya pendeta di HKBP. Saya pun seperti seorang peneliti yang menemukan informan kunci (key informant) dalam sebuah penelitian. Beliau pun mendukung perlunya undang- undang penghapusan kekerasan seksual.
Baca Juga: Pengaturan Norma dalam RUU TPKS Mengenai Restitusi Berpotensi Tidak Implementatif
Refleksi Teologis
Anak kecil ketika sekolah minggu seringkali ditanya: Apa dosa Raja Daud sehingga Allah marah dan memalingkan wajahnya dari Daud? Kerajaan pun menjadi tercerai berai. Padahal Daud telah memiliki segalanya, dari mengalahkan raksasa Goliath, dimahkotai raja besar, namun akhirnya Tuhan pun berpaling dari padanya. Jawabnya karena Daud mengingini Betseba, istri dari panglimanya Uria. Anak sekolah minggu pasti cukup tahu sampai itu saja.
Namun kisah dalam Alkitab dituliskan lebih rinci. Daud melihat seorang perempuan sedang mandi. Dengan relasi kuasanya dia meminta pengawalnya mencari tahu perempuan tersebut. Pengawalnya pun mengajak Betseba menemui Daud. Singkatnya Betseba pun mengandung. Daud hendak menutupi kisah ini dengan memanggil Uria (suami Betseba) dari medan pertempuran dengan memberinya hak cuti, karena dianggap panglima yang berhasil, agar kembali kepada istrinya. Namun, sekembalinya Uria dari lokasi pertempuan, dia tidak juga menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumahnya. Menurutnya dia merasa tidak layak mendapatkan cuti kembali bersama istrinya, sementara pasukannya sedang berperang.
Baca Juga: Dinamika Penyusunan, Pembahasan, dan Pengesahan RUU TPKS 2015-2022
Mengetahui hal ini, Daud pun berang. Lantas dia pun sekalian mengutus Uria menuju garis depan pertempuran yang paling mengerikan. Suami Betseba ini pun meninggal di sana. Akhirnya Daud mengambil Betseba sebagai istrinya. Nabi Nathan menegurnya dengan perumpamaan orang kaya yang mengambil satu-satunya domba milik orang miskin. Pada teguran Nabi Nathan, Daud pun mengakui dosanya, namun tetap menerima konsekuensi dari perbuatannya. Kerajaannya terpecah, terjadi perang saudara dan anak bertikai satu sama lain.
Pada kisah yang selanjutnya Alkitab pun mencatat anak lelaki Daud, dari istrinya yang lain, melakukan kekerasan seksual kepada sepupunya yang lain. Bangsa ini mengalami kemunduran dan mengalami masa pembuangan. Sama halnya, bila kita mengetahui meningkatnya angka kekerasan seksual dapat diartikan sebuah tanda awal kemunduran peradaban sebuah komunitas dan bangsa.
Semoga dengan disahkannya UU TPKS menjadi jalan baru untuk masa depan anak cucu kita, untuk kita semua dan untuk Indonesia. Semoga ini menjadi penanda ‘kebangkitan’ bagi mereka-mereka yang selama ini belum mendapatkan hak-nya.
Sampai sejauh ini, ijinkan saya menyampaikan: Puji Tuhan. []
Pernah bertugas sebagai Asisten Koordinator Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan 2012-2021