Dia Membuatku Membenci Jempol Tanganku

 Dia Membuatku Membenci Jempol Tanganku

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Uung Hasanah

“Saya boleh minta nomer WhatsAppmu?” tanya seorang pria paruh baya kepadaku dalam suatu acara peringatan hari lahir Albiro. Namaku Nana (nama samaran), aku lulusan dari salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur. Semasa aktif sebagai mahasiswa, aku mengikuti organisasi ekstra kampus yang jumlah anggotanya paling banyak dari pada organisasi ekstra lainnya, sebut saja organisasi Biro (nama samaran). Anggota organisasi Biro yang dinyatakan lulus minimal jangka waktu 2 tahun dari perguruan tinggi secara otomatis akan tergabung dalam kumpulan Alumni Biro (Albiro). Acara yang aku hadiri adalah peringatan hari lahir kumpulan Alumni Biro (Albiro)..

Pada saat itu, saya didekati oleh pria paruh baya. Kami pun berkenalan, namanya Pak Gunanda (nama samaran). Dia sudah berkeluarga dan memiliki anak yang bersekolah SMA. Aku merasa nyaman mengobrol dengannya karena topik yang kami bicarakan seputar pendidikan. Perlu diketahui, setelah lulus aku berprofesi sebagai guru di tingkat SMP dan SMA, itulah kenapa aku bisa mengobrol lama dengannya. Lebih lanjut dia meminta nomer WhatsApp. Aku langsung memberikan nomerku karena selain tergabung dalam organisasi yang sama, umurnya juga seperti ayahku. Jadi kupikir tidak akan terjadi masalah di kemudian hari.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, dia menghubungiku lagi dan mengajakku keluar untuk berbincang-bincang. Kami janji bertemu di Steak House. Pertemuan ini membuat kami menjadi lebih dekat. Dia bercerita pengalamannya semasih muda dan rencana pendidikan anak-anaknya di masa depan. Dia pernah menjabat sebagai DPR RI dan memiliki relasi yang sangat luas hingga kini. Aku juga bercerita tentang pekerjaan guru serta cita-cita masa depan. Dia bertanya, “Kamu mau jadi apa?”. Aku tahu maksud pertanyaannya bukan soal guru lagi, tapi hal apa yang belum sempat aku capai, “Aku ingin jadi Kepala Desa” jawabku. Dia mengiyakan, memberi kesan akan membantuku mencapai impian itu.

Baca Juga: Pelecehan Seksual oleh Kakak Tingkat di UKM

Singkat cerita, kami pulang dengan taksi langganannya, hendak mengantarku pulang. Jarak rumahku dan Steak House lumayan jauh, memakan waktu sekitar 20-25 menit. Di awal, tidak ada hal mencurigakan. Namun, lama kelamaan tangannya mulai meraba dan menggenggam tanganku. Refleks, aku menarik tanganku. Tapi kemudian dia berkata, “Loh kenapa? Nggak apa-apa santai, santai aja.” Dia berkata dengan mimik wajah menenangkan sekaligus senyum yang membuatku semakin curiga. Dalam hati aku berucap, “Gimana aku bisa santai tanganku dipegang laki-laki yang lebih cocok jadi ayahku”.

Tidak hanya sampai di situ, dia mendekat lagi dan menarik tangan kananku. Dia menjilat dan mengemut jempolku seperti bayi. Aku merasa sangat risih. Beberapa kali dia selalu meminta mampir di hotel, “Ayo ke hotel!”. Aku menolaknya dengan tegas dan meminta langsung diantar pulang ke rumah. Selama ini aku belum pernah ke hotel untuk tujuan tertentu. Penolakanku mampir ke hotel membuat dia meminta supir taksi untuk berhenti sebentar di mall. Aku bisa lega untuk beberapa saat dan berharap kejadian tadi tidak terulang. Namun, nyatanya sepulang dari mall dia masih meraih jempol tangan kananku, dia mengemutnya lagi. Saat itu, rasanya aku ingin mobil ini dipercepat agar bisa segera sampai di rumah.

Baca Juga: Laki-laki Pun Dapat Menjadi Korban Pelecehan Seksual

Dia menawariku jabatan dan uang, mengira bahwa aku bisa dibeli dengan hal itu. Aku menolaknya. Ketika mobil taksi sampai di rumahku, dia menyelipkan uang Rp. 300.000 di saku baju. Aku langsung menggunakannya untuk membeli hijab. Lalu aku bagikan kepada teman-temanku. Uangnya tidak aku pakai untuk diriku sendiri.

Aku pernah berada di titik, aku tidak bisa melihat jempol tanganku karena aku merasa jijik. Bukan waktu yang sebentar untuk bisa menerima kejadian itu. Tapi lambat laun aku mulai berpikir untuk bangkit. Aku juga bersyukur tidak sampai melakukan hal-hal di luar batas, jika tidak aku akan sangat menyesalinya. Jujur, aku merasa kecewa karena ada orang seperti Pak Gunanda di Albiro. Aku tahu dia oknum dan aku berharap kejadian ini tidak terjadi lagi pada perempuan lain.[]

 

Mahasiswa Pascasarjana ini menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy

 

Cerita ini didasarkan pada kisah nyata yang dituturkan narasumber kepada penulis. Dalam hal ini, narasumber dengan sukarela menceritakan kisahnya kepada penulis dengan tujuan edukasi. Semua identitas dalam tulisan ini hanya penulis yang mengetahuinya

 

Digiqole ad