Laki-laki Pun Dapat Menjadi Korban Pelecehan Seksual

 Laki-laki Pun Dapat Menjadi Korban Pelecehan Seksual

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

Pertanyaan: Saat masa Sekolah Menengah Pertama (SMP), di sekolah saya terdapat sekumpulan perempuan atau genk perempuan. Beberapa di antara mereka, terkadang menyentuh bagian pribadi laki-laki tanpa persetujuan dan memperlakukan laki-laki seenaknya. Mereka akan menyebut para laki-laki sebagai banci jika melawan. Mereka pun selalu dibela oleh salah satu guru semasa SMP.

Mereka juga selalu terlihat baik dan lembut di depan guru, sedangkan di depan teman laki-lakinya, mereka bertindak seenaknya sendiri. Mereka akan marah kalau tidak dituruti dan akan menyebarkan hal yang tidak baik tentang kami. Sebaliknya, kalau ada laki-laki yang ‘mungkin’  tidak sengaja tersentuh karena cara jalannya yang ‘agak ugal ugalan’ (teman saya yang mengalami) atau saat beberapa anak laki-laki menolak tindakan egoisnya, mereka akan langsung marah. Mereka akan bilang “kamu lho kok kayak gitu sama cewek?” “ga sopan!”.

Pertanyaannya, apa yang harus saya lakukan bila seandainya saya bertemu dengan kondisi seperti itu lagi? Terima kasih.

M

 

Tanggapan:

 

Kak M Yth,

Berdasarkan situasi yang kakak ceritakan, ada beberapa hal yang dapat saya tanggapi. Pertama, situasi dimana perempuan tersebut menyentuh bagian tubuh laki-laki tanpa consent (persetujuan), ini termasuk dalam Kekerasan Seksual. Penjelasan lebih lanjut soal kekerasan seksual bisa dibaca di sini ya. Adapun bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh para laki-laki dalam cerita ini adalah pelecehan seksual.

Kekerasan seksual memang bisa dialami oleh siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, bahkan identitas gender lainnya. Dalam konteks kasus ini, laki-laki yang disentuh bagian tubuhnya tanpa izin tersebut adalah korban kekerasan seksual.

Kedua, penyebutan banci untuk korban kekerasan seksual yang melawan, merupakan tindakan yang termasuk ke dalam bentuk victim blaming (budaya menyalahkan korban). Padahal, melawan adalah cara korban menunjukkan ketidaksetujuannya atas perlakuan tersebut. Sebaliknya, tidak sedikit pula korban yang tak mampu melawan saat mengalami kekerasan seksual. Bukan karena tidak mau melawan, melainkan karena korban mengalami tonic immobility.

Mengutip Gaya.Tempo.co, tonic immobility merupakan fenomena di mana seseorang mengalami sensasi kelumpuhan tubuh secara tiba-tiba. Konsekuensinya, seseorang itu tidak mampu menggerakkan tubuhnya.

Dalam jurnal Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica (AOGS) tahun 2017, para ahli mencatat 70 persen korban perkosaan mengalami tonic immobility. Maka, diamnya korban saat tidak melawan pelaku bukan berarti suka sama suka, atau mau diperlakukan seperti itu. Melainkan karena mengalami reaksi biologis tonic immobility.

 

Label diksriminatif dan seksis

Selain merupakan tindakan victim blaming, penyebutan banci pada korban juga merupakan tindakan yang melanggengkan stigma dan diskriminatif terhadap waria. Pemikiran ini berangkat dari lingkungan masyarakat yang menganggap bahwa sosok waria merupakan sosok yang lemah karena feminin.

Waria juga dianggap menyalahi kodrat sebagai laki-laki yang seharusnya kuat, tidak mengekspresikan dirinya, dan lain-lain. Nyatanya, waria bukanlah sosok yang lemah, justru sebaliknya. Mereka adalah sosok yang kuat sebab dalam masyarakat yang masih patriarkis ini, justru mereka sangatlah rentan.

Ketiga, tindakan guru yang membela kasus tersebut dapat diartikan sebagai indikasi minimnya perspektif guru mengenai kekerasan seksual. Mungkin, sang guru masih percaya dengan mitos ‘laki-laki tidak bisa jadi korban kekerasan seksual’. Bahkan, laki-laki kerap dianggap menikmati tindakan kekerasan seksual apabila pelakunya perempuan. Menurut Yayasan Pulih, salah satu Lembaga psikologis yang bekerja memberikan pelayanan pemulihan bagi korban kekerasan, kedua hal ini merupakan beberapa faktor yang membuat korban laki-laki takut untuk menyuarakan kasus kekerasan seksualnya.

 

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Melakukan Pelecehan Seksual

 

Membantu Korban

Berdasarkan penjelasan tersebut, berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang melihat peristiwa tersebut:

Pertama, melakukan intervensi langsung. Caranya bisa dengan men-distract, atau memisahkan korban dengan pelaku secara langsung. Misalnya dengan mengajak korban untuk pergi saja dari tempat kejadian tersebut ke tempat yang lebih aman.

Kedua, merekam peristiwa tersebut, baik  dalam bentuk audio ataupun video. Hal ini dapat menguatkan posisi korban apabila ingin melakukan pelaporan kasus, yang tentunya akan diminta untuk menyertakan barang bukti. Dalam praktik, penegakan hukum pidana di Indonesia masih membebankan pembuktian kepada korban. Sayangnya, kekerasan seksual kerap kali sulit dibuktikan terutama jenis pelecehan seksual yang bersifat verbal atau nonfisik, atau yang berupa fisik namun tidak meninggalkan bukti secara fisik seperti dalam kasus yang kakak ceritakan.

Ketiga, melaporkan kejadian kepada pihak-pihak yang berwenang di lingkungan setempat saat kejadian berlangsung. Contohnya, karena lokasi kejadian di sekolah, bisa melapor pada guru yang dipercaya, wakil kesiswaan, atau kepala sekolah.

Keempat, mengawal tindak lanjut pihak sekolah atas pelaporan tersebut agar hal serupa tidak terulang. Antara lain, meminta pihak sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan kesetaraan gender. Atau setidaknya pihak sekolah memberitahukan kepada semua siswa apa saja yang merupakan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual.

Selain itu juga perlu mendorong pihak sekolah memiliki sensitifitas terhadap permasalahan kekerasan berbasis gender yang dijumpai di dunia pendidikan. Misalnya, kasus kekerasan dalam pacaran yang kerap kali terjadi, atau kekerasan seksual yang dilakukan guru ke murid. Hal ini harus menjadi perhatian pihak sekolah jikalau ingin memutus mata rantai kekerasan seksual di dunia pendidikan.

Kelima, membantu korban untuk mengakses pemulihan pasca kejadian. Tidak jarang korban kekerasan seksual memiliki trauma yang ia bawa seumur hidupnya. Pihak-pihak yang mengetahui terjadinya kasus kekerasan seksual, sangat dianjurkan untuk mengarahkan korban untuk mengakses pemulihan. Selain itu, juga melakukan pendampingan langsung terhadap korban sebagai wujud solidaritas terhadap korban.

 

Baca Juga: Jadi Korban Pelecehan Seksual? Ingat 5D 

 

Konfirmasi

Berdasarkan cerita yang disampaikan, saya mencatat ada hal yang memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk konfirmasi kejadian. Yaitu mengenai pernyataan “Mereka akan menyebarkan hal yang tidak baik tentang kami. Apa “hal tidak baik” yang dimaksud? Jika ini merujuk pada suatu informasi yang misalnya mengemukakan laki-laki itu melakukan kekerasan seksual, tentu perlu penelusuran lebih lanjut untuk kebenarannya. Jika informasi yang dimaksud itu benar terjadi, maka laki-laki pelaku kekerasan seksual tersebut perlu diberikan tindakan yang sesuai berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Namun, jika “hal tidak baik” itu merujuk pada informasi yang berupa kabar bohong atau cerita yang tidak sesungguhnya terjadi, di sini setiap orang yang diancam itu tentu patut membela diri.

Saya hendak kembali menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual perlu ditindak agar korban mendapat keadilan. Pelaku pun mendapatkan balasan yang setimpal sesuai dengan perbuatannya.

 

Demikian yang dapat saya sampaikan,

Annisa Nurul Hidayah Surya

Guru di suatu sekolah di Jakarta.

 

 

 

Digiqole ad