Rumah Tempat Kembali

 Rumah Tempat Kembali

Ilustrasi (Sumber: Freepik/Freepik.com)

Saya tidak dengan sengaja menemukan makna rumah dalam sejumlah perjumpaan. Antara lain, dengan seorang kawan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Demikian pula perjumpaan dengan seorang kawan yang mengalami KDRT dan sedang menata ulang relasi dengan suami yang sebelumnya merupakan pelaku. Ada pula seorang kawan yang saya ketahui keberpihakannya terhadap korban dari perbincangan terakhir kami.

Berdasarkan tiga perjumpaan itu, pada dasarnya semua mengakui bahwa tempat berlindung bagi korban KDRT adalah rumah orang tua. Ini bukan sekedar rumah yang bermakna suatu bangunan yang dapat dihuni. Melainkan sebagai rumah dalam makna yang lebih luas yaitu termasuk penghuni di dalamnya, terutama orang tua atau sesama kerabat, yang memberikan perlindungan terhadap korban.

Baca Juga: Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KDRT

***

Pengalaman kawan pertama, ia menemukan rumah sebagai tempat kembali. Tidak hanya sekali, ia dua kali kembali ke rumah setelah masing-masing perkawinan berakhir usai ketuk palu pengadilan agama. Perkawinan yang dijalaninya diwarnai dengan beberapa bentuk KDRT. Apabila merunut ke UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ia mengalami dua di antaranya.

Yang pertama, kekerasan seksual, di mana pelaku dalam melakukan hubungan suami istri membuat korban menjadi kesakitan dan ketakutan. Yang kedua, pelaku menunjukkan terus terang perselingkuhan yang dilakukan dengan perempuan lain, selain kekerasan psikis lain seperti bentakan, perendahan, sikap tidak peduli, dan lain-lain.

Apakah hanya dua bentuk KDRT itu saja? Sebenarnya, saat mendengarkan kisahnya, ia juga mengalami dua bentuk KDRT lainnya. Kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi, yang sebagian masyarakat mungkin menganggap sebagai hal yang ringan. Namun, tidak demikian dengan orang tuanya. Mereka mempersilahkan korban untuk pulang kembali ke rumah, dengan membawa anak dari perkawinannya. Mereka juga tidak mempermasalahkan kondisi korban yang selalu kembali ke rumah, baik setelah perkawinan pertama maupun kedua.

Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

Kawan saya boleh dibilang beruntung. Orang tuanya memiliki sejumlah rumah kontrakan berupa rumah petak. Saat ia kembali ke rumah, ada salah satu rumah petak yang kosong. Ia meminta ijin untuk menempati rumah tersebut dan orangtuanya mengijinkan. Walaupun, ia sekarang masih berjuang untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari, mulai dari biaya membeli bahan bakar minyak (BBM) untuk motor bekas dari kerabatnya yang digunakan untuk antar jemput sekolah hingga membayar tagihan listrik setiap bulannya.

***

Kedua, kisah seorang kawan yang mengalami KDRT namun kini berupaya menata kembali relasi dengan pelaku. KDRT yang dialaminya berupa kekerasan fisik dan psikis. Sebagaimana kasus KDRT pada umumnya, kekerasan yang terjadi pada awalnya mungkin dianggap ringan, dan ternyata intensitasnya semakin tinggi dengan berjalannya waktu.

Tidak sekali dua kali ia datang ke pihak tetua dan orang tua dari keluarga suami. Tidak sekali dua kali juga pihak keluarga suami meminta agar korban bertahan. Mereka juga berjanji akan mendidik pelaku dan mengingatkan pelaku untuk tidak kembali mengulangi perbuatannya. Namun, nyatanya pelaku masih saja melakukan kekerasan, bahkan menjadi semakin kasar dibandingkan dengan sebelumnya.

Akhirnya, korban memberanikan diri bercerita kepada pihak keluarga sendiri, baik saudara kandung maupun orang tua. Namun, ini malah semakin membuatnya gamang. Baik orang tua maupun saudara kandungnya tidak ada yang mendukungnya. Semua bahkan menyalahkannya, sebagai konsekuensi memilih pasangan atas kehendak sendiri. Mereka juga mengancam bahwa menjadi janda tidaklah mudah, sehingga lebih baik bertahan dalam kekerasan daripada menjadi janda. Orang tua korban bahkan mengatakan, tidak akan pernah mau menerima ia kembali ke rumah.

Dalam kegamangan, ia menghubungi saya dan meminta pertolongan.  Saya mencoba memberikan informasi pilihan-pilihan yang dapat ia lakukan. Termasuk agar ia dalam beberapa waktu ke depan dapat mandiri sehingga jika hal paling buruk terjadi, ia tidak akan ragu untuk memutuskan pilihan terbaik untuk diambil.

Baca Juga: Dukungan yang Menguatkan

Berselang waktu, ia kembali menghubungi saya. Keluarga pihak suami kembali menemuinya. Kali ini, meminta kawan saya itu untuk memaafkan pelaku dan memberi kesempatan terakhir untuk memperbaiki diri. Ini terjadi setelah peristiwa terakhir, yang membuat badan korban membiru dan lemas, yang saat itu saya anjurkan untuk segera melapor ke kantor polisi terdekat. Itulah satu-satunya laporan polisi yang pernah dibuatnya, setelah entah berapa banyak kejadian serupa yang dialaminya.

Dengan janji dan dukungan dari pihak keluarga suami, kawan saya merasa inilah saatnya untuk menata kembali hubungan dengan suami. Ia ingin membangun rumahnya sendiri sebagai tempat untuk kembali.

***

Kawan ketiga, seorang anak laki-laki bungsu dari 8 bersaudara. Bersama istri dan anak-anaknya, ia tinggal di rumah peninggalan orang tua. Ia tinggal di sana bersama seorang kakaknya yang tidak berkeluarga. Semua saudara kandungnya yang lain sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri.

Rumah itu beberapa kali direnovasinya. Biayanya berasal dari koceknya sendiri maupun dari kontribusi sejumlah saudara kandung lainnya. Tidak perlu membayangkan renovasi seperti apa, intinya hanya membuatnya menjadi rumah layak huni. Antara lain, yang semula kurang pencahayaan dan  lembab menjadi lebih terang dan bersih. Demikian pula langit-langit berbahan anyaman bambu yang semakin lapuk dimakan usia, diganti dengan plafon yang dicat rapi.

Baca Juga: Masa Pandemi, Ke mana Korban KDRT Mencari Rumah Aman?

Suatu ketika, ia bercerita, ia tidak pernah mengakui rumah yang dihuninya sebagai rumah miliknya. “Ini adalah rumah orang tua saya, bukan rumah saya,” katanya seraya menambahkan, “Jadi siapapun bisa kembali ke sini,” katanya.

Dalam pembicaraan yang tidak sampai satu jam, ia memberi pesan. Perceraian mungkin bukanlah hal yang diharapkan terjadi. Namun, ketika hal itu tidak terhindarkan, mereka membutuhkan rumah untuk kembali, dan rumah itu hendaknya adalah rumah orang tua mereka sendiri.

Ia tidak bercerita lebih lanjut darimana gagasan itu ia serap. Setahu saya, ia bukanlah seseorang yang akrab dengan aktivisme dan gerakan perempuan, apalagi dengan ide-ide feminis yang memperjuangkan penghapusan ketidakadilan atas dasar konsep gender yang dikonstruksikan di masyarakat.

Namun, semangat keberpihakan terhadap korban nampak nyata dari ungkapannya. Ya, tentu dalam lingkup terbatas, yaitu keluarga sendiri. Semangat inilah yang justru perlu dikobarkan kepada setiap orang, terutama orang tua.  Hendaknya setiap orang tua menjadi rumah untuk tempat kembali bagi anak-anaknya. []

 

Ema Mukarramah

Senang menulis seputar isu hukum, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak.

 

 

Digiqole ad