Dukungan yang Menguatkan
Tidak mudah sebenarnya untuk melepaskan diri dari perkawinan yang abusive. Saya melihat kesulitan luar biasa di dalam diri seorang perempuan korban KDRT sampai akhirnya mengambil keputusan itu. Kalau bukan karena kejadian kekerasan yang terakhir kali dilakukan dianggap sudah sangat keterlaluan, ia sepertinya akan mencoba terus bertahan.
Kondisi itu bertambah rumit karena keluarga besar pihak suami memintanya untuk memikirkan kembali keputusan itu. Berkali-kali mereka katakan, kasihan anak-anak. Padahal, justru karena ia kasihan dengan anak-anaknya yang juga telah menjadi sasaran kekerasan, keputusan itu diambilnya juga untuk melindungi anak-anaknya.
Belasan tahun membangun rumah tangga, pada akhirnya ia mengatakan tidak lagi sanggup mempertahankan. Terlalu banyak luka dan kepedihan yang selama ini ditanggungnya. Terlalu banyak pukulan, tendangan, sikutan, dorongan, jotosan, pembenturan, gebrak meja dan lemari sampai pelemparan piring yang dialaminya. Belum lagi bentakan, cemoohan, hinaan, yang sering dilontarkan kepadanya.
Semuanya selalu coba ia lupakan, karena suami berjanji tidak akan mengulangi. Namun, ia keliru. Bahkan janji di hadapan keluarga, masih dilanggar suami dengan kembali melakukan kekerasan lagi.
Lagi-lagi, pihak keluarga masih memintanya untuk memberikan kesempatan sekali lagi. Hanya sekali lagi.
Ia sempat bimbang. Sampai akhirnya ia mengatakan: dalam peristiwa sebelumnya, hal yang sama juga disampaikan oleh keluarga. Meminta kesempatan berikutnya selalu menjadi hal ampuh agar ia tidak mempersoalkan kekerasan yang sudah terjadi. Apabila kali ini kembali diikuti, akan berapa kesempatan lagi diminta ketika kekerasan kembali terulang?
Dukungan Keluarga
Apabila keluarga pihak suami terkesan memberikan pembelaan pada suami, lain halnya yang ia dapatkan dari pihak keluarganya sendiri. Ada yang mendukung keputusannya, ada juga yang tidak mempedulikan dan bahkan menyalahkannya. Ujian terberat mungkin ketika orang tuanya sendiri menyalahkan dirinya dan menolak menyediakan tempat bernaung sekalipun ia tidak memintanya.
Ia juga mendapati saudara tuanya dalam posisi yang sama, bahkan mengatakan bahwa sebagai istri sudah seharusnya memaafkan apapun kesalahan suami dan bahwa wajar apabila suami melakukan kesalahan, berbeda dengan istri yang harus tampil sempurna. Wow, patriarkis banget ya isi kepalanya! Saya sendiri sampai terheran-heran, ada ya perempuan yang berpikiran seperti ini?
Walaupun demikian, saudara-saudaranya yang lain justru memberikannya dukungan. Mereka tidak tega mengetahui penderitaan yang dialaminya selama ini. Mereka mengkhawatirkan hal yang lebih buruk akan terjadi apabila siklus kekerasan itu dibiarkan terus terjadi. Dukungan moril itu cukup menguatkannya untuk tetap dengan keputusan yang diambilnya.
Namun permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Ya, selalu saja dalam setiap penyelesaian perkara KDRT, ada permasalahan lain yang seringkali di banyak kasus menjadi titik pertimbangan krusial yang membuat istri lagi-lagi bertahan dalam kekerasan: masalah ekonomi.
Dukungan Ekonomi
Ketika istri tidak merasa siap untuk hidup mandiri tanpa bergantung kepada suami, apalagi di tengah keterbatasan bekal pendidikan atau keterampilan, dan di tengah ketidaktersediaan lapangan pekerjaan yang dapat diaksesnya, permasalahan ekonomi ini adalah rintangan yang harus segera dibenahi.
Dalam kasus ini, janji suami untuk tetap menafkahi anak-anaknya kadang-kadang terealisasi, tapi lebih banyak kebutuhan sehari-hari di rumah yang harus ditanggungnya sendiri. Ternyata, hal itu pun terjadi sepanjang ikatan perkawinan itu masih tersambung. Dengan kata lain, sebenarnya ia selama ini juga bertahan bukan hanya dari kekerasan fisik dan psikis, melainkan juga penelantaran ekonomi.
Di sinilah kemudian, ia membutuhkan dukungan yang lebih konkrit. Entah berupa bantuan modal usaha, peluang pekerjaan, atau hal lainnya yang dapat menyambung kehidupannya. Kalau disuruh tanya ke pemerintah, rasanya itu sesuatu yang jauh banget dan ga bisa dijangkau. Bahkan lebih terasa absurd. Dukungan dari lingkaran terdekat seperti keluarga lebih nyata untuk dapat diminta.
Anggota keluarganya yang sedari awal tidak mendukung, sepertinya hanya mencibir sambil menunggu kejatuhannya untuk disoraki. Itulah mengapa ia meminta dukungan hanya kepada anggota keluarga yang lain yang sedari awal mendukung keputusan yang diambilnya.
Di tengah keterbatasan, selalu ada jalan keluar. Ia mendapatkan dukungan dari beberapa orang saudaranya walaupun tidak rutin. Ada yang memberinya pekerjaan harian, ada yang memberinya sekedar tugas dengan imbalan seadanya, ada yang memberinya sedikit modal agar dapat menitipkan penganan buatannya di sejumlah kedai, dan ada juga yang mencarikannya akses bantuan pangan.
Berbagai dukungan itu mungkin tidak akan berlangsung terus menerus. Setiap orang juga memiliki kebutuhannya masing-masing. Menyapihnya dari berbagai bantuan itu mungkin akan membutuhkan waktu, namun hal itu harus dilakukan agar dukungan yang selama ini diberikan tidak berubah menjadi ketergantungan baru.[]
Diana Amaliah
* Tulisan berdasarkan kisah penyintas