Masa Pandemi, Ke mana Korban KDRT Mencari Rumah Aman?

 Masa Pandemi, Ke mana Korban KDRT Mencari Rumah Aman?

Ilustrasi rumah tempat tinggal (Sumber: Pixabay/ArtisticOperation)

JAKARTA-JALASTORIA.ID. Selama dua minggu melakukan isolasi mandiri,   Anindya Restuviani, Co-Direktur Hollaback! Jakarta, justru menerima sejumlah pengaduan melalui direct message (DM) media sosialnya. Seluruh pengaduan itu pun ia rujuk ke LBH APIK Jakarta, sebuah lembaga penyedia layanan yang memberikan bantuan hukum dan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan.

Saat melakukan rujukan, Anindya pun terkejut. Betapa tidak, LBH APIK Jakarta menginformasikan bahwa selama dua minggu terakhir, lembaga ini telah menerima 59 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk di antaranya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Bukankah itu berarti setiap hari setidaknya ada 4-5 kasus yang dilaporkan?

Menurut Anindya, hal itu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pelaporan kasus KDRT selama masa physical distancing sebagai upaya memutus penularan Covid-19. “Australia, Singapura, dan Malaysia juga menghadapi pola yang sama mengenai pelaporan kasus KDRT selama pemberlakukan ‘tetap di rumah’ sebagai upaya mengatasi pandemi,” ungkap Anindya melalui akun media sosialnya (5/4).

Hal itu dikonfirmasi oleh Uli Pangaribuan, Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta. Dihubungi oleh JalaStoria.id melalui telepon (5/4), Uli menyampaikan bahwa pengaduan yang masuk antara 16-30 Maret 2020 mencapai 59 kasus kekerasan terhadap perempuan, meliputi kasus KDRT, revenge porn, dan kekerasan seksual.

 

Baca juga: Kebijakan Tetap di Rumah dan KDRT

“Kasus KDRT yang dilaporkan meliputi bentuk kekerasan ekonomi [penelantaran rumah tangga-red], fisik, dan psikis,” jelas Uli. Berdasarkan pengaduan korban, diketahui bahwa peristiwa KDRT itu sendiri bukan pertama kali terjadi, namun korban sendiri baru berani melapor.

Dari 59 kasus yang masuk, 17 di antaranya adalah KDRT, dan 3 orang di antaranya membutuhkan tempat tinggal sementara agar dapat keluar dari lokus kekerasan.

Rumah aman Tutup

Namun demikian, upaya pemberian perlindungan bagi korban KDRT yang membutuhkan rumah aman menjadi terkendala di tengah pandemi Covid-19. “Rumah aman milik negara tutup, tidak menerima klien,” jelas Uli.

Di satu sisi, dapat dipahami bahwa kebijakan menutup rumah aman dimaksudkan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun di sisi lain, kebutuhan korban terhadap rumah aman yang sulit dipenuhi akan menambah beban lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat untuk memikirkan alternatifnya.

“Terutama mereka yang butuh untuk keluar dari rumah, mereka bingung mau ke mana,” ungkap Uli.

Selain itu, menurut Uli, apabila korban hendak mengakses rumah aman yang disediakan Negara, korban harus menunjukkan Laporan Polisi (LP). Padahal, apabila korban melapor ke kepolisian, belum tentu langsung dibuatkan LP. “Biasanya disuruh mikir-mikir dulu, disuruh pulang dulu,” terutama jika korban tidak didampingi, tambah Uli.

Lantas, bagaimana jika korban KDRT yang tinggal serumah dengan pelaku butuh segera keluar dari rumah?

“Kami menanyakan kepada korban, apakah ada rumah saudara atau kerabat yang dapat dikunjungi, atau alternatif tempat lain,” jelas Uli. Namun, apabila korban tidak mempunyai alternatif tempat tinggal sementara, lembaga ini berkomitmen menyiapkan tempat tinggal sementara agar korban segera mendapatkan perlindungan.

Dukungan Masyarakat

Kesulitan korban KDRT untuk mengakses rumah aman,  membuat Anindya tidak berdiam diri. Bersama Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, ia menginisiasi penggalangan donasi bagi perempuan korban kekerasan yang terdampak pandemi. Donasi yang terhimpun ditujukan untuk membantu perempuan korban KDRT yang tinggal bersama pelaku, terutama untuk dapat mengakses rumah aman demi perlindungan dirinya.

(Sumber: Anindya Restuviani)

Selain itu, donasi juga ditujukan untuk membantu perempuan kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan karena pandemi, perempuan yang bekerja di garis depan saat pandemi, pekerja kebersihan di tempat umum, juru pijat, dan perempuan pengemudi ojek online di Jakarta yang kehilangan pendapatan selama pandemi.

 

(Sumber: Anindya Restuviani)

 

Tentunya, semua orang, tak terkecuali perempuan korban kekerasan, berharap pandemi ini cepat berlalu, sehingga layanan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan yang disediakan negara dapat diakses seperti sedia kala.[emu]

 

 

Editor: Ema Mukarramah

Digiqole ad