Ayah Baru dalam Kenormalan Baru

 Ayah Baru dalam Kenormalan Baru

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Usep Hasan Sadikin

Aliansi Laki-laki Baru merupakan satu varian istilah dari kelompok lelaki dalam gerakan feminisme di Indonesia yang berkomitmen mengupayakan kesetaraan gender dan penghentian kekerasan. Saya mengistilahkan “ayah baru” dalam tulisan ini sebagai lelaki yang memilih peran sebagai ayah. Sebagai bagian kelompok terkecil dari masyarakat dan keluarga, penting menjamin anak-anak bertumbuh dalam pendampingan adil gender, termasuk oleh ayah.

Tentu saja hal itu menyertakan penekanan bahwa ayah merupakan salah satu peran yang bisa dipilih lelaki. Menjadi ayah bukan pilihan satu-satunya bagi lelaki. Tidak menjadi ayah pun tidak mengurangi makna kelaki-lakian seseorang. Pada dasarnya lelaki punya peran yang beragam dan bebas dipilih.

Sebagai ayah, tahun 2022 menjadi tahun yang mendorong saya bersyukur terhadap masa depan kesetaraan gender. Duka cita tentu saja menyertai karena banyaknya korban nyawa akibat pandemi Covid, termasuk keluarga dan sahabat di dalamnya. Seiring ini semua, saya menyimpulkan adanya pemaknaan kolosal yang dalam tentang etika. Setelah kita ter/di-paksa membatasi interaksi, kita menjalani kenormalan baru dengan memaknai lagi konsep kemanusiaan, kehidupan, kesehatan, dan kebebasan.

Kita sudah lama hidup dengan media telekomunikasi dan internet tapi ancaman terhadap sehat dan nyawa kita dalam pandemi, jauh lebih mendorong perumusan ulang mengenai peran di ranah publik yang terhubung dengan ranah domestik. Prosesnya lebih menyetarakan karena semua dari kita punya pengalaman yang relatif sama dalam menghadapi pandemi. Hasilnya, relatif  lebih adil karena berupaya mencari persamaan yang lebih berarti.

Baca Juga: Menuju Kesetaraan Gender

Pengalaman sekitar dua tahun melakukan pertemuan daring telah mengubah cara pandang masyarakat secara mendasar dan cepat. Setelahnya, banyak dari kita kini menjadi terbiasa mewujudkan atau memberikan pilihan pertemuan secara daring. Sekarang bahkan kita menyadari, konteks kebutuhan temu yang mana yang memang lebih pas dilakukan daring atau luring. Bukan hanya kita sebagai diri individu tapi juga kita sebagai kelompok dalam sistem interaksi di lingkungan kita.

Di tempat saya bekerja, pertemuan daring yang diterapkan selama pandemi tetap dipertahankan. Sebagian besar proses kerja, bisa dengan work from home (WFH). Alasannya, tanpa harus bertatap muka langsung, proses dan hasil dari aktivitas juga bisa berkeadaan baik-baik saja. Ruang kemandirian serta proses dan hasil kerja jadi lebih diprioritaskan dibandingkan kehadiran langsung. Sehingga, tanpa harus membelah diri, saya bisa lebih leluasa membagi waktu dalam peran pekerjaan sekaligus peran ayah yang lebih berkualitas.

Keutuhan Domestik                                        

Karena kebijakan WFH, saya jadi jauh lebih sering ada di rumah. Interaksi daring dalam pekerjaan membuat saya mendapat tambahan waktu untuk keluarga. Sebelum penerapan sistem kerja daring, saya kehilangan waktu 2-4 jam di jalan untuk pergi-pulang bekerja. Ini belum termasuk perpindahan tempat jika ada mitra/kegiatan kerjasama di luar kantor.

24 jam ada di rumah membuat saya jadi lebih tahu, sebenarnya seperti apa anak-anak dan dinamikanya dalam rumah. Sebelum kebijakan WFH, saat saya dan istri bekerja di kantor, kami percayakan anak-anak dan rumah kepada pekerja rumah tangga (PRT). Ternyata, apa yang kami kira selama ini baik-baik saja, lumayan meleset.

Yang paling langsung terasa adalah, apa yang selama ini saya anggap sebagai keramah tamahan serta keadaan rapi, bersih, dan indah, ternyata merupakan hal-hal yang sekilas pandangan saja. Di baliknya dan lebih rinci lagi, ternyata ada pernyataan yang ditangkap ketus bagi anak-anak serta keadaan yang masih acak-acakan, kotor, dan tidak elok dipandang.

Baca Juga: Bercerita tentang Diskriminasi Berbasis Gender (Bagian 1)

Ada sejumlah menu makanan dan hiburan untuk anak-anak yang tidak sesuai harapan saya. Apa yang dimakan dan di-tonton/dengar anak-anak, cukup banyak dipengaruhi keterbatasan dan selera PRT. PRT yang punya selera pedas, kurang leluasa membuat menu dan ragam gizi makanan sehingga anak-anak lebih banyak menyesuaikan makanan rumah yang ada. Sebab PRT punya selera film dan lagu tertentu, anak-anak kurang dapat ragam referensi budaya pop.

WFH menyadarkan saya tentang banyaknya kesalahan saya memperlakukan ranah domestik. Ternyata salah, jika melibatkan PRT berarti 100% urusan domestik adalah urusan PRT. Kurang tepat, jika menilai waktu akhir pekan saya sudah cukup untuk mengurus rumah. Merupakan kekeliruan, jika menilai waktu interaksi saya dengan anak-anak di luar jam kantor, bisa sebanding dengan interaksi anak-anak dengan orang/pihak lain. Kelelahan beraktivitas di ranah publik ternyata lebih banyak mendorong saya untuk memulihkan diri melalui hobi dan hiburan di luar jam kerja. Waktu interaksi dengan anak-anak dan rumah jadi lebih sedikit.

WFH menyadarkan saya, semua kesalahan tersebut secara sistemik terjadi karena saya bertanggungjawab di ranah domestik berdasar pikiran, perasaan, tenaga, dan waktu yang tersisa. Selama ini saya tidak setara menempatkan ranah domestik dengan ranah publik.

Perumusan Ulang Peran

Menjadi ayah baru dalam kenormalan baru. Saya bersama istri melakukan perumusan ulang peran. Pemahaman tentang kesetaraan dari kami menjadi dasar menyertakan penempatan ranah domestik dan ranah publik secara setara. Jangan lagi menempatkan ranah publik lebih tinggi dan lebih penting dibanding ranah domestik. Hasil dari perumusan ulang peran ini kami sampaikan kepada PRT kami, pun dengan jaminan pelibatan dan komunikasi yang setara.

Baca Juga: Agus Tak Risih Mencuci Baju: Berbagi Peran dalam Rumah Tangga

Setelah dasar kesetaraan itu kami jamin, bentuk peran bisa lebih konkret dirumuskan ulang. Pertama, menjadikan PRT sebagai mitra setara di ranah domestik. Kedua, saya dan istri juga melakukan lebih banyak peran di rumah. Ketiga, lebih menjamin kemandirian anggota keluarga, termasuk anak-anak.

Menjadikan PRT sebagai mitra setara bisa tepat dengan menempatkannya sebagai asisten. PRT juga manusia dan sebagai pekerja punya hak dasar yang sama. Salah satunya lebih menjamin PRT mempunyai privasi. Saya dan istri mengkondisikan gawai PRT untuk bisa punya akses sama dengan anggota keluarga lain dalam menikmati musik dan film.

Menempatkan ranah domestik secara setara dengan ranah publik berarti pada dasarnya peran domestik merupakan tanggung jawab utama saya dan istri. Konkretnya, kami bisa membagi bentuk pekerjaannya. Yang bersifat perencanaan atau konten dilakukan saya dan istri, PRT membantu mengerjakan teknisnya. Atau, PRT mengerjakan ruang dan barang yang digunakan bersama, selebihnya yang sifatnya lebih pribadi dikerjakan anggota keluarga lainnya.

Lalu, lebih menjamin kemandirian anggota keluarga berarti semua anggota keluarga (termasuk PRT), sudah mengetahui mana saja ruang/barang yang jadi tanggungjawab dirinya, dan mana ruang/hal yang jadi tanggung jawab bersama. Bersih dan rapinya ruang, pakaian, peralatan makan/minum, dan lainnya, merupakan tanggung jawab setiap diri yang menggunakannya. Selebihnya, PRT mengerjakan ruang dan barang untuk digunakan bersama.

Saya berharap, lebih banyak ayah baru dalam kenormalan baru ini yang lebih baik menjalankan peran publik dan domestik. Semoga, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam pandemi, jauh lebih sedikit dibanding jumlah keberhasilan ayah bersama anggota keluarga lainnya dalam berproses menerapkan kesetaraan, melawan kekerasan, dan mencapai keadilan. Noel Gallagher bilang, revolusi dimulai dari tempat tidur kamar kita. Dari rumah kita. []

 

Ayah dari Aimarunalexa

 

Digiqole ad