Menyikapi Pro Kontra Permendikbud PPKS (Bagian I)

 Menyikapi Pro Kontra Permendikbud PPKS (Bagian I)

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

Oleh: Ratna Batara Munti

 

Beberapa hari terakhir, ruang publik disesaki oleh perdebatan pro kontra terhadap Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS).

Sejumlah pihak turut menolak keberadaan Permendikbud PPKS melalui pernyataan sikap, seperti dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Majlis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) PP Muhammadiyah dan Majlis Ormas Islam (MOI). Mereka meminta Permendikbud ini dicabut karena dianggap melegalkan kebebasan seks di kampus berbasis persetujuan (sexual consent).

Adapun tulisan ini bermaksud memperlihatkan simplifikasi dari argumen atau narasi-narasi yang dibangun seputar penolakan Permendikbud PPKS. Ada kekhawatiran jika dibiarkan, narasi negatif yang semakin meluas dapat berujung pada pencabutan aturan tersebut. Masih belum lupa, nasib SKB 3 Menteri tentang peraturan seragam sekolah yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung menyusul polemik atas SKB 3 Menteri di masyarakat.

Selain itu, penyebaran pemahaman yang keliru terkait kekerasan seksual dalam Permendikbud PPKS, dapat menimbulkan efek berganda (multiplier effect). Yaitu dapat melemahkan substansi serta dukungan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Baca Juga: Polemik Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Menyikapi situasi tersebut, berikut ini saya rangkum ke dalam 6 poin pembahasan:

  1. Argumen Pemutarbalikan Logika di balik Frasa “Tanpa Persetujuan Korban”

Penolakan sejumlah pihak terhadap Permendikbud PPKS terutama dikaitkan pada penafsiran frasa  “tanpa persetujuan korban” dalam beberapa ketentuan bentuk-bentuk kekerasan seksual di Pasal 5 ayat (2), yaitu:

“b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.

Frasa ‘tanpa persetujuan korban’ ini ditafsirkan secara berlawanan (a contrario) atau dipahami sebaliknya, sehingga mengandung makna bahwa kegiatan seksual sebagaimana disebutkan di beberapa huruf di Pasal 5 ayat (2) dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent). Atas dasar inilah, pihak yang menolak berdalih bahwa Permendikbud melegalkan kegiatan seksual yang tidak bermoral atau seks bebas termasuk penyimpangan seksual LGBT. Meski tidak ada ditemukan satupun ketentuan di dalam Permendikbud yang mengatur masalah kebebasan seks di kampus.

Argumen yang dikemukakan melalui penafsiran a contrario tersebut memuat logika berpikir yang keliru. Seolah-olah “jika dengan persetujuan korban berarti dibenarkan tindakan/aktivitas seksual di lingkungan kampus”

Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa di masyarakat termasuk dunia kampus bukanlah situasi tanpa norma yang berlaku di masyarakat. Norma etika dan moralitas yang bersumber dari nilai-nilai ajaran agama universal memiliki kedudukan lebih tinggi dari aturan hukum pidana positif yang sifatnya “ultimum remedium”.

Etika dan moralitas menjadi panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku atau menjadi norma yang mengikat warga masyarakat dalam pergaulan sosial yang terus dihidupi oleh berbagai institusi terutama institusi agama, pendidikan, dan keluarga. Khususnya di lingkungan kampus sudah ada Kode Etik Perguruan Tinggi yang mengatur perilaku warga kampus agar sejalan dengan etika dan moralitas/kesusilaan. Maka dari itu, anggapan bahwa Permendikbud PPKS ini membuat kampus akan membiarkan seks bebas menjadi tidak mendasar.

Baca Juga: Permen PPKS: Respons terhadap Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Permendikbud PPKS harus dilihat sebagai aturan tambahan dari kode etik Perguruan Tinggi yang sudah ada untuk secara khusus merespon situasi kekerasan seksual di kampus. Faktanya, kasus kekerasan seksual marak terjadi, akan tetapi di sisi lain belum mendapat penanganan yang tepat oleh Perguruan Tinggi. Hal ini terjadi karena belum ada peraturan/mekanisme internal untuk merespon kekerasan seksual tersebut. Selain itu, banyak korban yang enggan melapor karena khawatir akan berdampak pada keberlanjutan studinya.

 

  1. Frasa “Tanpa Persetujuan Korban” Harus Dihapus, sehingga Permendikbud Dapat Menjangkau Perbuatan Amoral yang Tidak Menggunakan Kekerasan

Tuntutan ini tidak relevan dengan latarbelakang dan tujuan diterbitkannya Permendikbud PPKS. Aturan ini berfokus untuk mencegah, menangani serta memulihkan korban terkait kekerasan seksual di lingkungan kampus/Perguruan Tinggi. Ia tidak diperuntukkan untuk menyikapi masalah kesusilaan secara umum.

Selain itu, dalam konteks kekerasan seksual, isu persetujuan/consent merupakan hal penting (unsur utama) untuk mengidentifikasi apakah perbuatan tertentu merupakan kekerasan seksual atau tidak. Apakah ia dilakukan dengan persetujuan (suka sama suka) antara kedua belah pihak yang berarti bukan suatu paksaan atau kekerasan, atau sebaliknya. Yaitu merupakan paksaan atau kekerasan, karena dilakukan di luar kehendak salah satu pihak.

Dalam perspektif korban, di mana umumnya perempuan menjadi korban kekerasan seksual, isu consent merupakan wujud kontrol perempuan atas integritas tubuhnya. Dia berhak tidak setuju atau menolak  atas apapun bentuk perhatian, ajakan hubungan seksual atau aktifitas seksual lain yang tidak diinginkan atau tidak ia kehendaki. Bahkan dalam relasi perkawinan pun, bila ada paksaan hubungan seksual itu termasuk bentuk kekerasan yang dapat dilaporkan (Lihat UU PKDRT).

 

  1. Isu “Persetujuan”/Consent dalam Kekerasan Seksual Merupakan Isu Universal

Isu consent dalam kekerasan seksual merupakan isu universal, bukan berasal atau milik negara-negara Barat sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak penolak. Berbicara soal kekerasan seksual adalah berbicara isu kemanusiaan yang melampaui batas-batas wilayah negara dan bangsa.

Pada tahun 1993, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan, dimana salah satu bentuknya adalah Kekerasan Seksual. Jadi istilah “kekerasan seksual” telah diakui oleh dunia.

Berbagai negara yang merumuskan bentuk perbuatan kekerasan seksual seperti perkosaan atau pelecehan seksual, tidak lepas dari unsur yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak disetujui korban. Yaitu menggunakan paksaan, ancaman, kekerasan dan seterusnya, atau cukup menyatakan bahwa perbuatan tersebut tanpa persetujuan atau tidak dikehendaki korban.

Salah satu negara muslim, seperti Tunisia, perkosaan didefinisikan sebagai perbuatan yang menyerang perempuan atau laki-laki tanpa persetujuan (consent) dari perempuan atau laki-laki tersebut. Dalam Malaysia Penal Code, perkosaan didefinisikan sebagai tindakan laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan bertentangan dengan kehendak perempuan atau tanpa persetujuannya, memasukkan benda ke dalam vagina atau anus orang lain tanpa persetujuannya.

Malaysia juga mengatur berbagai kondisi yang membuat persetujuan menjadi tidak sah atau tetap dimasukkan sebagai perkosaan, antara lain persetujuan seorang anak; bila persetujuan yang diberikan dalam situasi perempuan itu tidak mampu memahami sifat dan akibat dari persetujuannya; atau persetujuan diperoleh laki-laki melalui penggunaan posisi otoritasnya atas diri perempuan atau karena hubungan profesional atau hubungan kepercayaan lainnya.

Sementara itu di Lebanon, mengatur pelecehan seksual sebagai perbuatan buruk yang tidak dikehendaki oleh korban, disertai konotasi seksual yang mengandung pelanggaran terhadap tubuh, privasi, dan perasaan.

Untuk kekerasan seksual berbasis siber, Filipina telah mengatur larangan mengunggah atau berbagi foto, audio, atau video seseorang tanpa persetujuannya. Selain Filipina, Singapura, dan Ekuador juga telah mempidanakan pelecehan seksual melalui siber. (bersambung)

 

Sumber:

Kumparan, PKS.id, Hasil Kajian  Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual di 17 Negara oleh Koalisi Bantuan Hukum untuk Keadilan, Oktober 2021.

 

Penulis saat ini adalah Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Bidang Advokasi Kebijakan Nasional dan Direktur LBH APIK Jawa Barat

 

Digiqole ad