Menempuhi Ketidakpastian: Suamiku Menghormati Konsep Poligini

 Menempuhi Ketidakpastian: Suamiku Menghormati Konsep Poligini

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Malam ini, menuju setahun, sejak suamiku jatuh sayang pada mitra kerjanya dan berpikir untuk menjalankan poligini. Bila aku masih bersamanya malam ini, itu indikasi dia tidak bisa atau belum bisa mewujudkan kehendaknya.

Kami makan malam di warung tenda mie Jawa langganan di kota kecil tempat kami bermukim. Aroma bawang putih khas masakan Jawa membuat badanku merasa lebih sehat, juga teh panas dengan aroma melati. Ia memesan kesukaannya, mie Jawa nyemek dilengkapi brutu ayam kampung. Aku memilih nasi putih dan babat gongso. Hari ini suamiku bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam. Aku mengamati wajahnya yang menua dan lelah. Aku kasihan sekaligus heran, apa yang ia harapkan dari sistem poligini? Padahal ia sendiri masih sering harus bekerja keras bahkan melampaui jam kerja yang sehat untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari. Aku terkenang wajahnya di masa muda yang ceria, rupawan dan open mind. Sebuah kenikmatan masa muda yang cukup menjadi kenangan manis dan kusyukuri sebagai era gemilang dalam pernikahan kami.

Bagiku, setahun terakhir ini, setahun tersulit dalam relasi kami. Perdebatan-perdebatan di tingkat interpretasi ajaran agama Islam tentang poligini, kami lakukan berbulan-bulan, sejak aku berjumpa dengan calon isteri ke-2nya. Tetapi kegelisahanku tentang mengapa ia ‘mengimani’ doktrin poligini, masih sering menggoda pikiranku hingga saat ini. Barangkali itu menjadi isu yang tak akan pernah selesai di antara kami.

Aku menahan satu pertanyaan, menunggu suamiku melepas lelah dan menikmati santapannya. Aku sendiri mencari-cari kenikmatan babat gongso ala Semarang karena orang Semaranglah yang pertama kali memperkenalkanku dengan masakan pedas, wangi bawang putih, dan manis ini.  Ketika kenikmatan yang kucari tak kutemukan, baru kubaca tulisan di tenda “Mie Jawa Jogjakarta”.  Aku semacam terkerangkai oleh cita rasa babat gongso ala Semarang. Tapi tak apa, makan malamku kali ini, cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sedang pikiranku lebih lapar untuk mengetahui pikiran suamiku, setelah melalui bulan-bulan yang rumit ini.

Baca Juga: Kejahatan Perkawinan: Ketika Monogami Dikhianati

Usai saling berbagi kabar tentang harinya dan hariku, aku mulai masuk pada pertanyaan yang menggelisahkan.

“Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan tentang kita, setelah bulan-bulan yang sulit ini?”

“Aku ingin kita tinggal di rumah yang sedang kita bangun. Dengan mobil klasik sesuai dengan gaya rumah klasik yang kamu suka. Aku ingin masa tua kita berkecukupan.”

“Berkecukupan? He..he…aku tertawa karena ada dua pikiran. Pikiran pertama, bila makna berkecukupan dalam versi mewah itu tak pernah kubayangkan, itu yang bikin aku ketawa. Kedua, berkecukupan karena kami hidup sederhana seperti membangun rumah yang mandiri energi dan sebisa mungkin makan dari hasil kebun.

Begitulah, obrolan semakin asyik mempertemukan mimpi kecilku dan mimpi kecilnya tentang masa tua kami. Iya, tapi konsep ‘kami’ itu hanya ada bila aku dan dia masih memutuskan untuk tidak bercerai. Sejak ia menanyakan kesediaanku untuk dipoligini aku kehilangan keyakinan bahwa kami akan hidup bersama hingga kematian memisahkan.

Kehilangan keyakinan seperti itu bukan perkara mudah, ada banyak air mata dan kengerian perasaan yang kulalui. Tapi sekarang aku sudah mendapatkan insightnya, aku memang tidak perlu meyakini hal-hal yang pasti di dunia ini. Manusia terus berubah, pikiran, perasaan, dan cara beragamanya, dan tentu akan mengubah juga relasi antar manusia, termasuk relasi suami isteri. Aku sedang belajar naik kelas menjadi pribadi yang mulai menikmati ketidakpastian.

Baca Juga: Tersebab Permintaan Poligami

“Lalu apa pandanganmu tentang poligini, setelah apa yang kita jalani hampir setahun ini?” Aku menanyakan ini untuk mengelola ketidakpastian yang sepertinya akan menjadi hidup baruku. Aku perlu mengetahui dinamika pikiran suamiku. Terakhir kali kami membincang ini, ia memilih untuk tidak melanjutkan kehendaknya karena ia berefleksi saat ia berniat poligini ia menemukan kesombongan dalam dirinya, tidak sesuci poligini yang diteladani nabi Muhammad, katanya. Dan ia tidak mau kami bercerai. Aku sering sinis dengan pernyataan “tidak mau bercerai”. Waktu itu kukatakan pada suamiku, “tentu saja kamu tidak mau bercerai denganku. Karena perceraian akan menggagalkan cita-cita beristeri lebih dari satu. Tapi kamu bahkan bisa memiliki isteri tiga atau empat, bila kamu bertemu lagi dengan perempuan-perempuan yang mengimani poligini dengan lebih dulu bercerai denganku.”  Hingga saat ini, ia memang memilih untuk membatalkan kehendaknya beristeri dua daripada bercerai denganku. Entah esok hari, entah lusa nanti, entah (mengutip lagu karya Iwan Fals). Pandangan periodiknya tentang poligini kuperlukan agar aku dapat mengelola ketidakpastian ini dengan lebih mudah.

“Aku menghormati poligini. Maksudku aku menghormati poligini dengan syarat memberikan kebahagiaan pada setiap pihak yang terlibat dalam poligini.”

Andai aku tidak memiliki kesadaran untuk menghormati kebebasan berpikirnya, jawaban demikian dapat serta merta menjadi belati yang mengiris-iris lukaku yang belum sembuh betul. Aku mengelola rasa sedikit terluka lagi itu dengan menyelidiki lebih lanjut jawabannya. Bagiku, poligini tidak akan memberikan ruang untuk mengkreasi bahagia. Artinya konsep itu tidak akan pernah bekerja baik dalam pikiranku maupun dalam praksis hidupku.

“Apakah maksudmu, bila aku menceraikanmu. Lalu kamu bertemu dengan perempuan-perempuan yang berbahagia dipoligini, maka kamu akan menjalaninya?”

“Bila kamu menceraikanku, maka kamu tidak bahagia dan aku tidak dapat menjalankan poligini karena tidak memenuhi syarat bahagia itu.”

Baca Juga: Di Tahun Kelima Perkawinanku

Penjelasan yang kedua tidak serta merta menenangkanku atau mungkin aku sudah tidak memerlukan ketenangan atau segala macam kepastian. Bisa jadi ia memang terobsesi mempoligini aku. Seolah praksis poligini tak mungkin dijalankan bila tak melibatkanku. Bila itu yang ada dalam pikirannya, itu terlalu bermimpi atau mimpi yang terlalu. Dari peristiwa ini, aku belajar bahwa mempersiapkan diri mengelola hidup yang tidak pasti lebih realistis daripada termakan kata-kata. Entah kata-kata suamiku atau kata-kataku sendiri.

Keterbukaan pada ketidakpastian ini begitu menggentarkan pada awalnya. Tapi aku mulai menjadi pembelajar yang mengarungi samudera ketidakpastian.

Pemilik warung tenda mulai merapihkan kursi-kursi, memberi kode warung akan segera tutup. Suamiku membayar makan malam kami. Kami menuju area parkir, bersiap pulang ke rumah. Iya, rumah ketidakpastian sebagai bagian dari perjalanan hidupku saat ini.[]

 

Dewi Nova senang belajar hidup bersama semesta,  menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian  Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan,  Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi  dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.

 

 

 

Digiqole ad