Abstrak
Sebelumnya, saya tidak tahu apakah hal itu benar atau salah. Saya tidak tahu apakah yang saya alami ini adalah sebuah tindak kekerasan seksual. Saya tidak tahu apakah yang pelaku lakukan adalah perbuatan bejat atau menolong. Saya tidak tahu hal ini hitam atau putih. Saya tidak tahu ini benar atau salah. Saya tidak tahu. Tidak tahu. Tidak.
Hal yang saya tahu hanyalah rasa takut setiap kali saya mengingat peristiwa tersebut. Rasa sakit yang menjalar di beberapa bagian tubuh saya. Rasa jijik pada setiap inci kulit saya. Namun, saya benar-benar tidak tahu apakah perasaan takut dan jijik saya ini adalah perasaan yang valid? Atau saya hanya bersikap berlebihan pada orang yang menolong saya? Rasanya semua ini seperti abu-abu. Rasanya saya dibuat bingung dan keder dengan semua hal yang saya alami. Semua terasa abstrak.
Hal ini terjadi beberapa tahun lalu, tepatnya ketika saya masih duduk di bangku SMA. Saya mengalami suatu fase yang sangat berat untuk anak remaja di usia itu. Saya stres rasanya mendapat tekanan dari banyak pihak, apalagi tekanan itu datang dari orang dewasa di mana dia adalah tokoh masyarakat terkenal. Kebenciannya pada saya turut mengundang kebencian dari banyak orang pada saya dan keluarga saya. Hal ini benar-benar membuat saya depresi.
Setiap malam yang saya pikirkan adalah hari esok yang menakutkan. Setiap pagi yang saya harapkan adalah sebuah kecelakaan ketika hendak berangkat sekolah. Ya, saya benar-benar mengharapkan sebuah kematian. Bisakah kalian bayangkan seorang remaja berusia 15 tahun setiap hari membayangkan dirinya kecelakaan saat hendak bersekolah supaya dia mati?
Permasalahan yang saya alami saat itu membuat saya kehilangan diri sendiri. Hanya dengan melihat wajah saya pun orang-orang akan tahu bahwa saya tengah putus asa. Sehebat itu lah dunia meremukkan saya waktu itu. Orang tua dan keluarga tentunya tak tinggal diam melihat saya hancur seperti itu. Mereka melakukan berbagai upaya yang justru membuat saya merasa semakin buruk. Saya merasa bersalah karena telah turut menempatkan mereka dalam situasi yang sulit. Saya merasa sangat tidak berguna dan menyulitkan banyak pihak.
Baca Juga: Pantek
Sampailah pada suatu hari paman saya atas perintah bapak yang berada di tanah rantau membawa saya ke tempat kawannya. Saat itu yang saya tahu, kawan bapak ini adalah orang yang baik, sangat baik. Ia banyak membantu keluarga besar saya, hampir semua permasalahan keluarga besar saya dapat ia bantu atasi. Tak ada pikiran buruk padanya saat itu. Saya sudah putus asa dan menggantungkan semuanya kepada dia. Saya pun mengikuti semua perkataannya dengan harapan Ia dapat membantu saya.
Awalnya dia mengajak kami berbincang, menanyakan permasalahan yang saya alami. Kami pun berbincang banyak hal, hingga pada suatu kesimpulan Ia mau membantu saya. Hal yang saya pikirkan saat itu hanyalah bantuan konseling agar saya merasa lebih baik, atau bantuan lain seperti mendoakan kehidupan saya yang lebih baik, atau barangkali ruqyah karena saya saat itu berpikir mungkin benar ada setan yang bersemayam di dalam diri saya. Ternyata semua hal yang saya pikirkan tersebut salah. Ia melakukan sesuatu yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya.
Awalnya ia pamit untuk mengambil wudu, setelahnya saya lihat ia pergi salat dan mengaji. Bacaan Al-Qur’annya sedikit asing, tapi saya tidak ingin menaruh kecurigaan apapun, yang saya pikirkan hanya kepercayaan bahwa dia dapat membantu saya.
Dia pun selesai dengan segala aktivitasnya. Ia kemudian memanggil saya untuk mengikuti dia ke kamar. Saat itu saya hanya merasakan sebuah kebingungan, tanpa mampu bertanya-tanya ‘untuk apa?’ tetapi lagi-lagi saya berusaha mempasrahkan diri padanya.
Saya pun sampai di kamarnya. Ia menutup pintu, setelahnya meminta saya membuka semua kain yang menempel di tubuh saya. Hal itu terjadi begitu saja, tanpa sempat saya cerna. Tanpa sempat saya pahami. Saya hanya mampu menuruti semua perkataannya, meski saya tahu ini adalah sesuatu yang salah. Sebelumnya, ia mengatakan perbuatannya dilakukan atas nama Tuhan, tapi setelah hal ini terjadi, saya tidak percaya itu.
Tuhan saya tidak sekeji ini menyiksa hambanya.
Saya tidak kuat menceritakan semua hal yang terjadi di kamarnya, yang bisa saya katakan adalah ia merenggut kesucian saya. Meski saya masih memiliki keperawanan saya. Namun, tetap saja perbuatan yang dilakukannya adalah tindakan keji. Bejat. Bangsat.
Baca Juga: Lelaki Bapak Rumah Tangga itu Adikku
Setelah pergi dari rumahnya, saya benar-benar merasa ketakutan. Saya bahkan takut untuk menoleh ke kanan dan ke kiri. Saya bahkan takut untuk menggerakan jari-jari saya.
Itulah awal saya merasakan sebuah kehancuran. Kehancuran yang 100x lipat membuat saya ingin mati lebih dari keinginan saya sebelumnya.
Setelah kejadian itu beberapa hari saya diam, saya jatuh sakit. Butuh beberapa bulan untuk mendapatkan kembali semangat hidup. Setiap hari saya berdo’a dan berharap Tuhan membantu saya melupakan setiap inci sentuhannya. Meskipun, hal itu tidak benar-benar bekerja secara nyata karena sampai saat ini pun saya tidak dapat melupakan kebejatannya. Hal yang membuat dada saya terasa lebih sesak adalah, orangtua saya lah yang mengantarkan saya pada pelaku tersebut. Kejamnya saya dibuat bingung akan tindakannya. Di masyarakat, ia menampilkan diri sebagai figur yang soleh, orang-orang percaya tindakannya didasari ajaran agama.
Bertahun-tahun saya justru menjadi seperti orang bejat yang menistakan pemuka agama sepertinya. Tindakannya yang belakangan saya sadari sebagai pelecehan seksual pun dibuat seperti sesuatu yang abstrak. Seolah-olah tindakannya adalah sebuah kebenaran.
Sebagaimana yang diceritakan penulis (07/08/21), identitas penulis ada pada redaksi.