PANTEK

Ilustrasi: Pixabay.com
Oleh: Tuba Fallopi aka Cupay
(Penyintas Kekerasan Seksual)
Siang itu listrik padam, nenek dan kakek sedang ke pasar menjual hasil perkebunan. Jarak pasar dengan rumah kurang lebih setengah jam memakai angkutan desa. Seperti biasa sepulang sekolah aku langsung menaruh sepatu dan tas pada tempatnya serta mengganti pakaian dan menyangkutkan ke paku yang tertancap di belakang pintu. Selanjutnya,aku shalat dzuhur.
Setelah shalat, aku langsung menuju dapur mengambil piring, lauk dan nasi diletakkan nenek dalam tungkup tudung saji. Saat hendak membalikkan badan, aku terkaget mendapati pandang ke sosok pria. Kekagetanku itu hanya seketika karena beliau ialah Om Hendra, anak dari adik nenek yang rumahnya berseberangan dengan rumah yang kutempati.
“Eh, Om, terkejut Ai.” Ujarku.
“Apa kamu hendak makan, nak?” Tanya om Hendra.
“Iyo, Om.” Jawabku singkat sambil melahap makanan yang sudah kuambil.
Hari-hari selanjutnya, Om Hendra selalu datang ketika nenek dan kakek ke pasar. Terkadang Om Hendra membawakan hadiah-hadiah kecil seperti jepitan rambut atau membawakan permen coklat kesukaanku. Tak jarang juga ia mengajakku bermain kuda-kudaan. Om Hendra yang menjadi kudanya, sementara aku sebagai penunggangnya. Saat itu, aku merasa Om Hendra seperti seorang bapak. Terkadang ia juga menemaniku mandi dan menggantikan pakaianku. Aku sering tertidur dalam pelukannya. Semua perlakuannya lazim, karena setiap saat Om Hendra selalu mengucapkan menyayangiku sudah seperti anaknya sendiri. Ya, aku tahu dia dan istrinya sudah lama menikah tetapi belum mempunyai anak.
Hal-hal tersebut ternyata awal dari bencanaku. Semakin hari, Om Hendra memperlakukanku dengan aneh. Membuatku tidak nyaman. Saat aku mandi, ia menyentuh vaginaku sangat lama. Saat aku ingin bertanya, ia telah dulu mengatakan bahwa bagian ini harus dibersihkan lebih lama dengan alasan kesehatan. Saat akan tidur, aku dipaksa hanya memakai singlet dan memakai rok di atas lutut tanpa memakai dalaman. Saat aku setengah sadar antara tidur dengan bangun, ia mengusap-usap payudaraku yang belum tumbuh dan tangan satunya menusuk-nusuk vaginaku. Rasanya sangat sakit. Aku menahan eranganku, karena Om Hendra mengatakan untuk kesehatanku dan nikmati saja. Ia juga mengatakan, jika aku tidak mau, maka aku akan terkena penyakit yang mematikan.
Semakin hari perangai Om Hendra kian menjadi-jadi. Ia memaksaku untuk menyentuh penisnya dan memasukkannya ke dalam mulutku, jika aku menolaknya ia mengancam akan membunuhku, nenek dan kakek. Begitupun jika aku mengadukan semua tindakannya kepada siapapun. Aku hanya mampu menangis terisak-isak dan melakukan semua yang diminta oleh Om Hendra.
Om Hendra berubah, tidak lagi mengajakku untuk bercanda, memberiku hadiah-hadiah, bahkan ia berlaku sangat kasar, juga melarangku shalat dan tidak lagi memanggilku dengan sebutan nak. Ia selalu datang ketika rumah sepi, sepulang aku sekolah ia selalu sudah menungguku hanya menggunakan celana boxer bertelanjang dada.
Menjelang sore hujan turun sangat deras. Om Hendra datang dengan keadaan sempoyongan akibat pengaruh alkohol, sementara aku sedang berada di kamar mengerjakan PR yang akan dikumpulkan esok hari. Tak lama waktu berselang, ia menarik tanganku ke ruangan tengah. Ia memutar piring DVD porno, membuatku sangat jijik dan ingin muntah. Setiap kali aku menutup mata, ia menarik rambutku dan memaksaku untuk menonton. Tanganku dipaksanya untuk menyentuh penisnya. Sekitar lima belas menit tayangan itu terputar, tiba-tiba Om Hendra menggendong badanku ke atas badannya yang sedang terlentang. Aku didudukkan di atas penisnya yang keras. Kemudian ia merobek celana yang kupakai dan memasukkan penisnya ke dalam rongga vaginaku. Aku berteriak kesakitan. Ia menutup mulutku sembari tersenyum. Aku seperti melihat wajah iblis yang inginku serapahi dengan lantunan ayat-ayat suci.
Berkali-kali ia menyetubuhiku, tak hanya di kamar tidur, di ruang tengah, dapur, kamar mandi, ia juga menarikku ke dalam semak-semak. Semakin hari, tubuhku semakin kurus kering, selera makanku juga hilang. Malam harinya aku selalu menangis tersedu-sedu, aku juga merasa takut dengan cahaya matahari. Melihat perubahan ini, nenek dan kakek sangat bingung. Setiap kali beliau menanyakan ada apa, aku hanya menangis sekencang-kencangnya. Aku sangat takut Om Hendra membunuhku, kakek dan nenek.
Di tengah kebingungan itu, nenek memanggil dukun dari setiap pelosok kampung untuk mengobatiku. Namun, tidak satupun dukun berhasil mengembalikan keceriaanku seperti sedia kala.
***
Suatu ketika kampung kami kedatangan dokter dari kota. Dokter tersebut mendata kesehatan warga, termasuk nenek, kakek, juga aku. Ketika dokter menatapku, ia terkejut melihatku sangat ketakutan. Dokter bertanya-tanya kepada kakek dan nenek sejak kapan aku seperti ini. Dialog terakhir yang kudengar dokter tersebut mengatakan aku mengalami tekanan mental. Saat itu aku tidak mengerti apa maksudnya.
Malam harinya, adzan isya berkumandang.Terdengar nenek dan kakek mengetuk pintu kamar, membuyarkan lamunanku. Aku mengizinkan nenek dan kakek masuk ke kamarku. Mata nenek basah. Nenek hanya mengatakan bahwa ia tadi usai mengupas bawang. Beliau bercerita bahwa dokter itu sangat ramah. Dokter bermaksud untuk memeriksa kesehatanku. Nenek berkali-kali mengatakan rindu melihatku kembali ceria, kembali menjadi anak yang nakal. Hal yang membuatku sedikit tertawa ketika kakek bilang bahwa kakek rindu mengejarku ke sana-sini karena tidak mau shalat, atau memarahiku kalau aku merengek tidak mau makan sendiri.
Bujukan nenek dan kakek sungguh membuatku luluh, dan mau memeriksakan diri ke dokter itu dengan syarat nenek dan kakek harus di sampingku, dan ketika aku sudah tidak nyaman, dokter itu harus berhenti dan tidak memaksaku. Begitupun dengan obat-obatan, aku tidak mau dipaksa untuk menelan atau meminum jika aku tidak nyaman.
Keesokan harinya, dokter tersebut datang ke rumah. Awalnya aku selalu sembunyi di punggung kakek dan menggenggam tangan kakek kuat-kuat. Setelah bincang-bincang dengan nenek, dokter itu menanyakan banyak hal padaku. Tentang apa yang aku suka dan tidak suka, mata pelajaran yang kusenangi. Dia juga menyuruhku bercerita apa saja yang kulakukan saat di sekolah, sampai hal yang bikin aku jengkel kepada nenek dan kakek.
Setiap hari di jam yang sama dokter itu datang, mengajakku bercerita. Setelah dokter itu pergi, kakek selalu menanyakan kenyamananku. Bulan-bulan terakhir aku tidak lagi sembunyi di pungung kakek. Malahan beberapa kali kakek dan nenek meninggalkanku dengan dokter ramah itu berdua saja.
Hampir tiga bulan dokter ramah dan lucu itu, datang ke sini. Alhasil aku menceritakan teman rahasiaku bernama Bubu. Setiap hal yang terjadi, aku selalu bercerita dengan menuliskannya. Aku memperhatikan dokter ramah berkenalan dengan Bubu. Awalnya ia tersenyum, tapi tiba-tiba keningnya berkerut dan matanya basah seperti nenek yang sehabis mengupas bawang. Entah kenapa aku tidak berani menanyakan, kenapa dengan dokter ramah. Apakah Bubu menyakiti dokter ramah?
Pada hari yang sama sesudah maghrib, aku melihat nenek menangis histeris memukul-mukul Bubu ke dadanya sambil di peluk kakek. Melihatku datang, nenek langsung memelukku erat, sontak membuatku juga ikut menangis, disini juga ada dokter ramah ia hanya tertegun sembari meneteskan air mata. Sedangkan di luar rumah sangat ramai orang kampung. Entah apa yang terjadi.
“Kenapa orang-orang itu berbisik-bisik mengatakan nenek dan kakek tidak pandai menjagaku?” Besitku dalam hati.
***
“Apa yang mampu dipahami oleh anak berumur delapan tahun itu? Oh Tuhan, kini aku berumur dua puluh enam tahun, sedangkan ini tetap terasa seperti kemarin dan esok, dan sampai detik ini, pulang adalah cinta yang paling menyiksa, setiap kupulang aku masih melihat wajahnya. Walaupun orang baik, mengatakan “berdamailah” tapi tetap saja inginku ungkapkan “PANTEK”!
Nugusi Di Agam, 3 Februari 2020
PANTEK, Dalam Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia Balai Bahasa Padang (Pusat Bahasa Depdiknas, 2009), pantek (kata benda) adalah: Kemaluan perempuan; puki. Umpatan kasar; kata-kata kotor; carut.
Hanya saja, dalam keseharian pemakaian kata Pantek, bukan saja untuk umpatan kasar, terkadang juga dipakai untuk candaan, bisa juga ungkapan kerinduan yang dipakai oleh kawan sama besar. Tetapi, dalam tulisan ini kata Pantek sendiri, bagi penulis adalah sebagai implementasi ungkapan perlawanan.
Tuba Fallopi seorang Gadih Minang lahir pada tanggal 5 September. Tulisan PANTEK ini, dibuat dengan keadaan sadar, dan bertujuan agar siapapun yang menjadi Korban Kekerasan Seksual, kamu tidak sendiri. Instagram @tubafallopi_
