Lelaki Bapak Rumah Tangga Itu Adikku
“Soal UTS English Legalnya udah kamu kerjain, Wan?”, ketik pesan di whatsapp untuk adik lelaki saya, di suatu malam usai hujan membasahi sebagian kota Jakarta.
Beberapa menit kemudian masuk pesan di ponsel saya: “Belum! Saya baru pulang kerja, ngurus anak dulu. Mana due datenya malam ini pula jam 22″, balas dia sambil memasang emoticon tawa.
Iya, dia adik lelaki saya. Kami memanggilnya “Iwan”.
Dia seorang suami, pegawai swasta, pemegang lisensi pengacara dari PERADI, dan juga bapak rumah tangga.
Iya betul, bapak rumah tangga!
Pagi harinya sebelum berangkat kerja ia awali dengan mengurus anak-anaknya dahulu. Memandikan mereka, menyuapi mereka makan, dan kadang-kadang memasak sarapan untuk keluarganya juga. Setelah usai semua pekerjaan tersebut, dia bersiap-siap berangkat kerja di sebuah perusahaan grup property ternama di Indonesia.
Kemana istrinya, kok yang memandikan dan menyiapkan sarapan adalah suaminya?
Mungkin akan seperti itu pertanyaan masyarakat patriakhi kita.
Istrinya ada kok! Dia juga melakukan tugas dan kewajibannya yang lain sebagai seorang istri dan juga ibu.
Mereka membagi peran dan beban yang sama untuk mengurus rumah tangganya. Apalagi mereka tidak punya pekerja rumah tangga. Anak-anak mereka masih berusia 2 tahun dan 1 tahun. Seperti lazimnya warga perkotaan, suami istri ini keduanya adalah pekerja karir di perusahaan milik orang lain.
“Kasihan istri saya kalau semua dikerjakan oleh dia”, itu alasan adik saya setiap kali jika ada teman kantor lelakinya keheranan bertanya ketika mendapati Iwan, adik saya melakukan pekerjaan domestik.
Jika akhir pekan, Iwan juga tak segan turun tangan mencuci pakaian satu rumah, memasak, mengepel dan pekerjaan domestik lainnya.
Tapi, jangan coba suruh dia betulkan atap yang bocor atau mengganti genteng yang pecah. Dia akan gemetar duluan sebelum naik ke atap rumah! Dia tidak berbakat dalam hal pertukangan.
Adik saya Iwan, mungkin tak paham apa itu feminisme dan teori-teorinya. Ia juga tak pernah menggenal tokoh-tokoh pejuang hak kesetaraan perempuan. Tapi cara dia memperlakukan istrinya, sebaik dia memperlakukan saya kakak perempuannya.
Dia juga memperhatikan dan mempersiapkan karir istrinya, mendukung istrinya untuk bersekolah lagi agar kelak dapat membuka kantor notaris sendiri. Meski dengan cara itu sebagai konsekuensinya dia harus menjaga anak-anak mereka secara penuh waktu selama dua tahun masa pendidikan istrinya.
Sebagai suami, ayah, dan lelaki pekerja karir, dia sudah mempraktikkan terlebih dahulu apa itu kesetaraan gender dan feminisme tanpa dia pernah tahu bahwa tindakan dia pada istri dan keluarganya adalah cerminan dari kedua hal tersebut.
And I am a proud sister! []
Wida Semito
Penikmat musik dan buku