Mengenal Toxic Positivity Korban Kekerasan

 Mengenal Toxic Positivity Korban Kekerasan

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Uung Hasanah

Istilah toxic positivity mulai populer beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, ada istilah lain yang dikenal lebih dulu, yaitu toxic relationship. Kata toxic diambil dari bahaga Inggris yang berarti racun. Toxic relationship artinya adalah hubungan yang beracun. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan yang memiliki relasi tidak sehat, baik dalam hubungan suami istri, pertemanan maupun hubungan kerja. Toxic positivity dan toxic relationship memiliki garis merah di mana seseorang yang memilih bertahan dalam hubungan toxic biasanya memiliki mindset toxic positivity. Lalu, apa arti dari toxic positivity?

Dikutip dari CNN Indonesia (13/12/2021), psikolog dari Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim menyebut istilah toxic belum masuk sebagai istilah psikologi di buku textbook, tapi menjadi bahasa psikologi populer. Dilansir dari positivepsychology.com, toxic positivity adalah mempertahankan bahwa seseorang harus memiliki pola pikir positif dan hanya memancarkan emosi dan pikiran positif setiap saat, terutama ketika situasi sulit., Pendekatan ini dinilai dapat merusak karena mengabaikan dan mendiskreditkan emosi yang negatif.

Sederhananya, toxic positivity adalah memiliki pemikiran positif yang berlebihan. Contohnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), korban tidak melapor karena dia selalu berpikiran positif bahwa pelaku pasti akan berubah di kemudian hari. Padahal seharusnya dalam kondisi demikian, korban berhak mendapat perlindungan karena yang dilakukan pelaku adalah salah satu bentuk kekerasan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM). Begitupun dalam kondisi sulit lainnya, korban akan cenderung melihat sisi positif dan menegasikan hal negatif yang dialaminya, “Dia melakukan itu karena dia sayang sama aku” atau “Kalau aku tetap bersikap baik, aku yakin suatu saat dia akan berubah.”

Baca Juga: Derita Tak Berujung

Dampak dari toxic positivity akan membuat seseorang menghindari emosi yang sesungguhnya dan cenderung tidak bisa berpikir kritis atas situasi yang terjadi. Seperti pada contoh kasus KDRT di atas, karena korban berpikiran positif yang berlebih mengakibatkan hilangnya daya kritis sehingga korban mengabaikan bahaya yang ada. Seperti kecatatan fisik dan mental karena sering mengalami kekerasan. Itulah yang menjadi salah satu sebab seseorang bertahan dalam hubungan toxic.

Umumnya orang melihat toxic positivity hanya dialami oleh korban hubungan toxic, padahal bisa jadi orang terdekat korbanlah yang toxic positivity. Loh, kok bisa? Dalam sebuah jurnal berjudul Toxic Positivity: Sisi Lain dari Konsep untuk Selalu Positif dalam Segala Kondisi, menemukan bahwa seseorang mendapat toxic positivity saat menceritakan situasi sulit yang dialami. Pengalaman itu berupa ucapan kurang bersyukur atau membandingkan situasi, seperti “Aku bukannya gimana-gimana sih, cuma tuh di luar sana masih ada yang lebih parah dari kamu…, tapi mereka tuh masih tetep kuat aja. Loh kamu tuh kayak gitu aja, kayak merasa paling korban…”

Hal tersebut disebabkan karena kurangnya pemahaman tentang toxic positivity, pengalaman yang tidak sama, dan motivasi yang tidak sesuai. Kalau ditarik dalam sebuah kasus kekerasan seksual, seseorang yang berniat menolong korban ternyata justru membuat korban merasa tidak nyaman. Ditandai dengan melaporkan kasus tersebut tanpa persetujuan korban atau langsung memberikan solusi sementara korban hanya ingin didengarkan.

Baca Juga: Ketika Laki-Laki Bicara Perempuan Korban Kekerasan

Dalam penelitian yang sama ditemukan bahwa pelaku toxic positivity adalah mereka yang tidak mampu berempati. Ciri perilaku yang menunjukkan empati di antaranya membantu dengan tawaran bantuan, mau mendengarkan, dan tidak terburu-buru memberikan kalimat positif. Korban perlu divalidasi perasaannya, karena menyangkal perasaan negatif korban justru akan membuat emosi terpendam dan tidak stabil.

Toxic positivity adalah perilaku yang bisa dilakukan semua orang, perlu pemahaman terkait hal ini supaya tidak terjebak pada perilaku nirempati. Dalam hal ini, korban kekerasan dinilai mendapat toxic positivity dua arah. Toxic positivity dari dirinya sendiri dan orang di dekatnya. Tindakan yang tepat adalah berupaya memberikan tawaran bantuan sesuai kebutuhan korban.[]

 

Mahasiswa pascasarjana ini menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy

 

Digiqole ad