Difabel dalam Rekrutmen CPNS
Oleh: Ninik Rahayu
PUBLIK dibuat terhenyak ketika status penyandang disabilitas dijadikan alasan untuk menggugurkan pengangkatan sebagai calon aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan pemerintahan. Perekrutan pegawai merupakan salah satu bentuk layanan publik yang akan selalu mendapat perhatian masyarakat, terutama jika tidak sesuai dengan prosedur.
Karena itu, sudah tidak pada tempatnya jika pemerintah masih kurang menjadikan isu tersebut sebagai bagian reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Pemerintah melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga menjamin kelangsungan hidup difabel untuk maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Penyandang disabilitas juga mempunyai kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara Indonesia. Mereka bagian tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia yang merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Pada Februari 2019, Saudari drg RSI mendatangi Ombudsman RI (ORI) perwakilan Sumatera Barat untuk melaporkan dugaan maladministrasi yang berupa penyimpangan prosedur oleh Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Solok Selatan, Sumbar, dalam proses seleksi CPNS 2018 di pemkab setempat. Bagaimana tidak, pelapor telah dinyatakan lulus seleksi CPNS berdasar hasil integrasi nilai tertinggi seleksi kompetensi dasar (SKD) dan nilai seleksi kompetensi bidang (SKB) dari kepegawaian untuk formasi dokter gigi di unit penempatan kerja (UPK) Puskesmas Talunan. Tetapi, dia tidak diusulkan mendapat NIP ke BKN Regional XII Pekanbaru. Dengan demikian, nama pelapor tidak muncul pada daftar CPNS yang telah melakukan pemberkasan.
ORI Perwakilan Sumbar telah mengirimkan surat dan menyarankan kepada BKPSDM Solok Selatan agar mengusulkan peserta CPNS 2018 yang telah dinyatakan lulus seleksi berdasar hasil integrasi nilai SKD dan SKB. Pengusulan berpedoman pada Peraturan BKN RI Nomor 14 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
ORI juga meminta BKPSDM Solok Selatan untuk segera menyampaikan hasil tindak lanjut saran tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama, mengingat jangka waktu seleksi CPNS 2018 cukup singkat. Karena terlalu lama menunggu jawaban dari Pemkab Solok Selatan, ORI Mei lalu melalui kantor perwakilan berinisiatif menanyakan persoalan itu secara langsung.
Hasilnya, ORI membuat kesimpulan awal bahwa memang ada kekeliruan yang dilakukan oleh Panitia Seleksi Daerah (Panselda) Solok Selatan dalam membuat keputusan pembatalan CPNS Saudari drg RSI. Kekeliruan tersebut dibuktikan dengan tidak adanya dasar yang kuat dan jelas dari panselda dalam menetapkan drg RSI sebagai peserta CPNS yang tidak memenuhi persyaratan jasmani dan rohani.
Juli lalu tim ombudsman kembali menegaskan kepada Pemkab Solok Selatan tentang kekeliruan tersebut. Namun, pemkab melalui Sekda dan Kabag Hukum tetap berpegang teguh pada keputusan yang telah dibuat. Sebab, pembatalan dan penerimaan CPNS 2018 di Solok Selatan merupakan kewenangan pemkab. Perekrutan tersebut sarat unsur diskriminatif karena bermuatan pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak penyandang disabilitas. Itu jelas bertentangan dengan pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 2016.
Dalam menyusun standard operating procedure (SOP) penerimaan CPNS, pemkab seharusnya menyesuaikan kebutuhan para penyandang disabilitas. Bahkan, secara afirmatif dibuatkan pola khusus untuk memastikan tercapainya persamaan hak atas pekerjaan yang layak.
Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan jaminan bagi difabel untuk memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemda, atau pihak swasta tanpa diskriminasi; memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan penyandang disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama; memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan; tidak diberhentikan karena alasan disabilitas; mendapatkan program kembali bekerja; mendapatkan penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat; memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karir; serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya.
Kementerian PAN-RB dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) punya peran penting untuk segera menyelesaikan ketidakmampuan daerah menuntaskan kasus sensitif tersebut. Caranya, memastikan pejabat daerah memenuhi kewajiban agar tidak menambah panjang daftar buruknya layanan publik pada sektor lain bagi difabel. Pasal 6 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengatur, kebijakan pemerintah pusat menjadi dasar dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, termasuk pemda.
Karena itulah, pemerintah pusat (pasal 7) wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dimaksud adalah pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan publik.
Kemendagri memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan otonomi daerah. Juga, presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah agar layanan publik dapat berjalan optimal sebagaimana cita-cita bangsa ini.[]
Anggota Ombudsman RI
===
Tulisan ini telah terbit di Koran Jawa Pos pada 31 Juli 2019, dan dapat diakses melalui link berikut:
Difabel dalam Rekrutmen CPNS
Sumber foto: Pixabay.com