Derita Tak Berujung

 Derita Tak Berujung

Ilustrasi (Sumber: Free-photo/Freepik.com)

Oleh: RPI

Masih segar dalam ingatanku, tepat tiga tahun lalu, anak yang begitu aku sayangi melangkah ke depan altar untuk mengucapkan janji suci perkawinan. Momen yang seharusnya membahagiakan, tetapi saat itu, aku sebagai seorang ibu, belum ikhlas dan tulus menerima kenyataan bahwa anak kebanggaanku, akan menikah dengan seorang pria yang sangat pencemburu.

Sebagai seorang ibu, aku sudah punya firasat buruk tentang hubungan mereka yang akan ada banyak konflik dan percekcokan. Dan firasat seorang ibu biasanya benar.

Beberapa bulan sebelum pernikahan aku sempat meminta kepadanya untuk tidak melanjutkan hubungan mereka ke jenjang itu. Tetapi anakku tidak mau dengan alasan karena sudah terlanjur hamil dan memikirkan nasib anaknya kelak jika tanpa sosok ayah di sampingnya.

Akhirnya, terjadilah pernikahan yang menurutku sedikit dipaksakan. Hatiku kecewa dan sedih, memikirkan bagaimana nasib rumah tangga anakku nanti?

Sehari sebelum pernikahan, kusaksikan sendiri bagaimana calon menantuku memperlakukan anakku. Ditarik tangannya, diteriaki, dan dibentak hanya karena anakku mau bercerita dengan teman-temannya waktu sekolah dulu.

Sehari setelah pernikahan, mulai terjadi percekcokan hebat antara mereka. Dan sejak saat itulah kehidupan neraka mulai dijalani anakku.

Kekerasan Terus Terjadi

Sejak menikah mereka tinggal bersama besanku. Dan sejak saat itulah anakku  mengalami penderitaan. Di saat mengandung, tekanan yang luar biasa datang bertubi-tubi. Setiap hari mertua perempuan dan mertua laki-lakinya mengusik anakku. Di mana menantuku? Dia menjadi penonton terbaik.

Semua yang dia alami, selalu dia ceritakan kepadaku. Apalagi ketika mertua laki-laki membentaknya dan mengatakan kalau perempuan tidak berhak bicara. Karena perempuan sudah dibayar maharnya jadi perempuan harus tunduk kepada suami, menuruti semua keinginan suami.

Baca Juga: Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku

Mendengar cerita anakku, sebagai seorang ibu tentu aku terlarut emosi. Aku tidak terima anak yang sangat kusayangi diperlakukan tak manusiawi.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kandungan semakin besar, badan semakin kurus. Selama menjalani proses kehamilannya, kebutuhan gizi ibu dan jabang bayi tidak terpenuhi. Bahkan, di saat anakku ngidam sepotong semangka, mantuku tidak membelikannya dengan alasan harus hidup hemat.

Mengingat kondisinya yang semakin memprihatinkan, akhirnya anakku meminta pulang kepada kami orang tuanya. Mempersiapkan persalinan bersama orang tuanya sendiri. Untuk hal ini, butuh proses panjang mendapat izin dari suaminya.

Akhirnya, anakku kembali kepada kami, kedua orang tuanya. Suasana hatiku campur aduk saat itu. Aku senang karena bisa melihat anakku lagi setelah sebelumnya dia dan suaminya tinggal di kota bersama mertuanya. Di sisi lain aku juga sedih melihat kondisi anakku yang begitu kurus.

Hari itu juga aku langsung mengajak anakku memeriksakan kandungannya pada bidan. Bidan bilang anakku dan janinnya mengalami kekurangan gizi. Ini terjadi karena selama mengandung menu makanan anakku selalu di batasi oleh suami dan mertuanya.

Sebagai ibu tentu aku khawatir pada kondisi anak dan calon cucuku. Akhirnya aku pun mulai berusaha  menyediakan berbagai makanan yang bergizi. Kupenuhi semua keinginan ngidamnya.

Sebulan kemudian cucuku lahir dengan selamat dan sehat. Begitu pun kondisi anakku.

Kekerasan Tak Berkesudahan

Empat bulan setelah melahirkan, anak dan cucuku kembali ke rumah mertua. Tapi,  kehadiran seorang anak tidak menghilangkan konflik di antara mereka. Sikap suami yang terlalu cemburu adalah masalah utama mereka.

Anakku dilarang dan dikekang terus. Tidak bisa bertegur sapa dengan orang lain walaupun anggota keluarga. Tidak boleh berhubungan dengan siapapun terutama teman-teman sekolah. Jika anakku melanggar, pasti diganjar kata-kata kasar. Disebut pelacur, perempuan gatal, bahkan perempuan murahan. Sungguh kata-kata yang telah menginjak-injak harga dirinya sebagai manusia, terlebih lagi sebagai perempuan.

Bahkan setiap terjadi pertengkaran, anak dan cucuku diusir berkali-kali oleh suami dan mertuanya. Di saat itulah tekanan dan caci maki semakin sering dia terima. Di saat anakku dihina, disiksa secara psikis, lagi-lagi suaminya hanya jadi penonton.

Baca Juga: Korban KDRT, Kenyang Dipukuli dan Disalahkan

Setiap kali bertengkar suami anakku pergi mencari ibunya. Mertuanya kemudian menyalahkan menantunya. Hal paling menyakitkan ketika anakku sakit parah. Menantuku tak mengurus istrinya, memilih menemani ibunya.

Hingga pada akhirnya anakku tidak sanggup lagi. Dia minta dikembalikan kepada orang tuanya. Permintaanya dipenuhi. Hari itu, menantuku datang mengantar langsung anak dan cucuku kepada kami, kembali ke rumah orang tuanya sendiri .

Akhirnya anakku mengambil keputusan untuk berpisah. Dia merasa tidak sanggup lagi menahan penderitaan secara psikis dan juga ekonomi. Dia bahkan beberapa kali mencoba bunuh diri. Tetapi suaminya tidak pernah peduli.

Keinginan anakku untuk berpisah tak bisa dibantah. Kami pun lalu menemui tokoh adat, membicarakan konflik rumah tangga yang dialami. Ini adalah suatu kebiasaan yang ada di desa kami ini. Yang mengharuskan tokoh adat terlibat menyelesaikan kasus seperti ini.  Sayangnya saat itu, para tokoh adat tidak mau perceraian menjadi solusi persoalan anak kami. Mereka meminta anakku untuk berpikir dan saling introspeksi diri masing-masing. Akhirnya disepakati bersama bahwa untuk sementara mereka berpisah. Mereka diperbolehkan bersama dengan sarat harus terpisah dari mertua. Saat itu pula sebagai orang tua, aku meminta menantuku agar segera mencari kost untuk tempat tinggal mereka. Jika sudah ada, aku dengan ikhlas akan datang mengantar anak dan cucuku untuk tinggal bersamanya.

Dua bulan kemudian, aku pun dihubungi kalau sudah ada rumah kost untuk tempat tinggal mereka. Aku langsung mengantar anak dan cucuku ke kota. Menempuh perjalanan satu hari untuk tiba di sana. Aku melepas anak dan cucuku dengan sejuta harapan agar mereka bahagia di tempat barunya.

Tapi, yang terjadi saat itu, pada malam harinya, entah apa musababnya anakku ditendang saat menyusui. Anakku teriak ketakutan dan meminta pertolongan tetangga. Dia merasa kehidupan diri dan anaknya terancam oleh perilaku kasar suaminya. Kami pun meminta tolong pamannya untuk menolong dan menegur suaminya agar tidak berbuat kasar lagi pada istrinya. Jika hal itu terulang, maka kami akan laporkan polisi. Nyatanya peringatan kami tak dihiraukan. Anakku tetap jadi korban kekerasan.

Baca Juga: Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KDRT

Singkatnya, selama tiga tahun perkawinannya, selama itu pula kehidupan anakku menderita. Meski sudah tiga kali pisah ranjang dan tiga kali rujuk lagi, tapi sampai sekarang anakku memilih bertahan dengan segala macam perlakuan kasar suaminya.

Aku sebagai ibu merasa telah gagal menjadi orang tua. Aku merasa telah gagal mengeluarkan anakku dari lubang penderitaan. Selama ini anakku bertahan dan rela menderita, rela disiksa, rela dihina, katanya semua itu dilakukan demi anaknya. Menurutku itu pemikiran “bodoh!” Bagaimana tidak, dia bertahan walaupun harkat dan martabatnya sudah diinjak-injak, harga dirinya sebagai perempuan telah dihancurkan.

Satu harapanku sebagai seorang ibu dan juga orang tua, semoga suatu saat nanti, ada kebahagiaan dalam rumah tangga anakku. Karena ketika anak menderita, ibunya pun turut merasakan deritanya. Sebaliknya, ketika ibu melihat anaknya bahagia, aku pastikan orang tuanya akan lebih bahagia.[]

***

Tulisan ini disampaikan oleh penulis kepada JalaStoria pada Selasa, 21 Juni 2022. Untuk menjaga kerahasiaan identitas korban, nama dan alamat penulis ada pada JalaStoria.

Digiqole ad