Jangan Lagi Ada “YY” yang Lain sebagai Korban
Oleh: Ninik Rahayu
Wajah kemiskinan “perempuan” terlihat dengan nyata, terutama terkait dengan infrastruktur. Lagi berulang korbannya, YY anak yang sedang menuntut ilmu harus meregang nyawa, salah satunya akibat infrastruktur yang belum mampu menjamin rasa aman. Saat ini semua pihak mengecam perilaku para pelaku sebagai perbuatan dan tindakan keji dan tidak bermoral, betapa tidak, para pelaku telah melakukan kekerasan fisik, memperkosa dan membunuh korban YY, tentu hanya satu kata BIADAB. Tapi adakah perubahan yang telah dilakukan, agar kasus yang sama tidak berulang? Sampai saat ini memang belum ada dukungan sistemik untuk menjamin rasa aman bagi siapapun, terutama terkait infrastruktur jalan-jalan tertentu, mari kita perhatikan gambaran situasi yang dihadapi si kecil YY, sebagaimana yang digambarkan oleh media “si kecil YY, yang biasa akrab dengan getah pohon dan debu, dengan seragam sekolah yang lusuh karena tidak punya banyak persediaan ganti, setiap sekolah harus melewati jalan panjang areal perkebunan”. Dengan jalan kaki, meski panas menyengat, si YY tetap semangat, rasa haus sudah pasti sangat dirasakan, karena hujan yang tidak kunjung datang. Tidak ada fasilitas antar jemput untuk memastikan rasa aman berangkat atau pulang kembali sampai tujuan.
Menelusuri jalan-jalan kecil di desa, harusnya menjadi hal yang menyenangkan bagi seorang gadis seperti YY, tapi nahas, hari itu, di area yang sepi, ia harus bertemu dengan beberapa teman laki-laki yang menghampiri. Meski sudah menolak untuk diajak bergabung karena ingin cepat pulang untuk berkumpul makan siang dengan keluarga. Tapi, kekuatan si kecil YY tentu tidak sama dengan lelaki yang selalu melihat kesempatan dan ditambah tidak adanya keamanan bagi siapapun, terutama anak-anak yang melewati. Tidak ada pos penjaga ditempat-tempat sepi, tidak ada penerangan, apalagi kendaraan jemputan.
Maka ini adalah gambaran berulang yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan yang dialami korban-korban lain sebelumnya YY, seperti yang pernah dialami korban anak F dan lainnya. Masih segar diingatan kita, bulan sepuluh tahun 2015 lalu si kecil F ditemukan sudah menjadi mayat, bocah cantik dan pintar ini harus meregang nyawa sepulang dari sekolah, di cegat di tempat yang sepi, ketika akan pulang ke rumah. Begitu juga sebelumnya, mayat bocah perempuan ditemukan warga di Jalan Sederhana, Tegal Alur, Kalideres, Jakarta. Mayat bocah malang murid kelas 3 SD 05 Pagi, Rawa Lele, Kalideres itu ditemukan di dalam kardus. Dari laporan media liputan.com lokasi penemuan mayat korban memang dikenal sebagai “daerah rawan tindak kejahatan”.
Kondisi diatas semakin menguatkan informasi sebelumnya sumber dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Indonesia yang menggambarkan bahwa memang masih ada diskriminasi gender dalam jaminan infrastruktur yang “aman dan nyaman”, bagi yang berkebutuhan khusus akibat masih melekatnya diskriminasi gender pada perempuan dan anak-anak. Meski selama ini yang berhasil dipotret soal infrastruktur seakan-akan hanya terkait isu sumber daya air, karena sudah sangat lama akses/pencapaian kebutuhan akan air baku umumnya jauh dan sulit dicapai sehingga habis waktu dan tenaga untuk mengambil air (terutama bagi kelompok perempuan & anak-anak); terbatasnya akses informasi dan partisipasi atas kualitas air baku sungai, waduk, embung; kurangnya Advokasi/sosialisasi Hidup Bersih Sehat (HBS) dalam OP sungai, pantai bagi ibu & anak; kurangnya partisipasi perempuan & anak dalam menjaga kelestarian lingkungan pemeliharaan sungai, waduk, embung (sumber air beku).
Juga banyak diungkap infrastruktur terkait Mitigasi bencana (kurangnya advokasi & info tentang bencana termasuk kepada kelompok perempuan dan anak-anak; Kurangnya Akses informasi dan partisipasi kelompok perempuan dan laki-laki saat Advokasi kepada masyarakat; Program Restorasi Sungai/Waduk/Danau. Terbatasnya pemanfaatan ruang publik/sepanjang kali yang dapat diakses untuk seluruh kelompok masyarakat; Pelaksanaan pembebasan lahan-terbatasnya akses informasi dan partisipasi pemilik lahan dan pasangannya dalam advokasi pembebasan lahan dan ganti rugi lahan.
Begitu juga soal kebinamargaan masih berkutat pada isu proses pembebasan lahan dalam sosialisasi dan pembayaran ganti rugi yang belum sepenuhnya melibatkan pemilik lahan beserta pasangan/keluarganya. Tetapi masih sangat terbatas pembahasan sekaligus upaya jalan keluar terkait bangunan pelengkap jalan yang menyediakan fasilitas yang aman dan nyaman untuk anak-anak, lansia dan kelompok disabilitas; Keterbatasan fasilitas berwawasan gender di lokasi kantor proyek. Persoalan diskriminasi gender, minim digunakan sebagai bahan analisis yang terintegrasi dalam dukungan infrastruktur.
Masalah akses masyarakat teruatama anak-anak untuk mendapatkan layanan prima dijalan menuju dan pulang sekolah, terutama diwilayah terpencil dan sepi di kota terutama di pedesaan, hampir tak tersentuh sebagai isu layanan publik. Demikian pula isu terkait perumahan Kurangnya Penyediaan Ruang Publik/RHT (terutama dirumah susun) untuk lansia, anak2, dilengkapi dengan wifi, taman bacaan; Pengelolaan hunian belum sepenuhnya melibatkan peran perempuan; Desain rumah belum memadai (dapur, kamar mandi, ruang kerja untuk kegiatan ekonomi rumahan misal jahit/kerajinan, warung, dll) dan terbatasnya akses dukungan pembiayaan bagi sektor ekonomi informal.
Layanan lain yang menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan rasa aman selain terkait infrastruktur jalan adalah soal rasa aman dari aparat keamanan, sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, “bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan keterlibatan masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Layanan Publik dan Nawacita
Empat (4) dari sembilan (9) Nawa Cita sebagai Agenda Prioritas Pembangunan Nasional Kabinet Kerja 2015-2019 yang relevan dengan isu kesetaraan gender dalam rangka pemenuhan hak perempuan, anak dan kelompok rentan adalah Nawa Cita nomor satu (1) yaitu negara hadir; Nawa Cita nomor tiga (3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”; Nawa Cita nomor lima (5) “Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia”; serta Nawa Cita nomor delapan (8) “Melakukan revolusi karakter bangsa”. Maka seharusnya kebijakan terkait infrastruktur menjadi prioritas, terutama terkait jaminan rasa aman dan nyaman infrastruktur ruang publik, agar negara hadir bisa terwujud. Hal ini karena soal rasa aman merupakan salah satu sub urusan dari urusan pemerintah bidang pekerjaan umum, yang ada bidang urusan tersebut merupakan salah satu urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang bersifat konkuren sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Bagaimanapun sebagaimana disebutkan dalam website PU, “Pembangunan infrastruktur mempunyai peran vital dalam mewujudkan pemenuhan Hak Dasar Rakyat seperti pangan, sandang, papan, rasa aman, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa keberadaan infrastruktur yang kurang berfungsi dengan baik mengakibatkan problem sosial dan lingkungan. Maka sudah seharusnya persoalan penyelenggaraan pelayanan di daerah tidak berdiri sendiri, melainkan senantiasa ada kontrol dari pemerintah dan melalui pembidangan pada kementerian yang menangani urusan infrastruktur, urusan kesehatan dan urusan keamanan melalui penetapan norma, standar, prosedur, dan kreteria (NSPK) untuk memandu penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang keamanan di daerah.
Sebagai bagian penting dari pelayanan publik terkait penyelenggaraan infrastruktur seharusnya pemerintah daerah seiring dengan otonomi daerah sesuai mandat dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Pemerintahan Daerah dapat memaksimalkan sumber daya yang tersedia, dan mulai segera melakukan pembenahan. Bagaimanapun meski secara umum, kebijakan infrastruktur bagi semua (infrastructur for all), tapi dalam relasi gender wajah perempuanlah yang paling menderita. Hampir dipastikan sampai dengan saat ini kebutuhan khusus rasa aman bagi perempuan dan anak sangat dibutuhkan.
Ini memang dikondisikan, dan KONDISI ini belum berubah, karena lambannya nilai indeks pemberdayaan gender, antara lain terlihat dari masih terbatasnya manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya pada tataran antar provinsi dan antar kabupaten/kota; Rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang pengambilan keputusan (politik, jabatan publik), ekonomi, dan pendidikan tinggi. Rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam, dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Gender gaps ini harus diminimalisir bahkan harus sampai pada zero tolerance.
Apalagi isu gender di tingkat struktur juga masih di-POSISIKAN berbeda dan lamban perkembangannya. Ini terlihat dari timpangnya angka partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan. Perempuan kurang terlibat karena masih tersubordasinasi, termarjinalisasi, dan masih terdiskriminasi dalam bidang pengambilan keputusan; kedua posisi ini juga terlihat dari struktur & sistem yang mengabaikan kekhususan pengalaman perempuan, sehingga terkait bentuk, kebijakan, mekanisme, infrastruktur, penganggaran jarang memperhatikan adanya kebutuhan spesifik perempuan serta masih banyak lagi berbagai bentuk diskriminasi struktural lainnya.
Maka lembaga-lembaga publik, khususnya pengelola infrastruktur dan sektor keamanan di pemerintahan pusat maupun daerah sudah harus bergegas untuk mewujudkan kebijakan infrastructure for all sebagaimana hasil riset Gender Impact Assessment, Puslitbang Sosekling, 2013 yaitu dengan digunakannya prinsip Universal Utilization, dengan tetap dapat dimanfaatkan oleh perempuan, laki-laki dan kelompok berkebutuhan khusus lainnya (Lansia, Difable,, Anak-anak) sesuai dengan kebutuhan; safety, security, convinience artinya dapat memberikan keamanan, keselamatan dan kenyamanan pengguna (misalnya: penerangan jalan, bebas banjir, desain bangunan yang aman, desain trotoar yang bebas halangan); Gender Equity for Basic Needs dengan memberikan kesetaraan aksesbilitas terhadap layanan dasar laki & perempuan, yaitu dengan memperhatikan kebutuhan khusus seperti Lansia, Difable, Anak-anak, Safety, Security, Health (human needs) serta yang tak kalah penting adalah prinsip Environmental Friendly yaitu dengan dilengkapi dengan fasilitas infrastruktur yang ramah lingkungan sesuai dengan kebutuhan perempuan, laki-laki dan kelompok berkebutuhan khusus lainnya.
Aparat keamanan juga penting untuk segera bergegas mengembangkan berbagai model yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga rasa aman di lingkungan masing-masing, mengingat terbatasnya jumlah dan sebaran petugas keamanan, tetapi sebagai pemangku kepentingan penting untuk memastikan di setiap wilayah dimanapun warga masyarakat berada, dijamin keamanannya. Bagaimanapun jaminan rasa aman adalah prasyarat utama terselenggaranya pembangunan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 UU Kepolisian RI, bahwa “keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat, yang dimana didalam pasal 2 nya menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah “salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, maka pengembangan peran masyarakat dengan “pengawalan” Kepolisian RI untuk membangun system yang efektif dan efisien menjadi urgen saat ini.
Optimalisasi Pengawasan Ombudsman Dalam Pemenuhan Infrastruktur Aman
Infrastruktur aman bagian dari jaminan hidup dan kehidupan, maka diperlukan pengawasan sistemik pengelolaannya. Dan setidaknya untuk konteks infrastruktur penting dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Kepolisian Republik Indonesia. Tidak bekerjanya dengan baik fungsi layanan ini sudah dapat dipastikan telah terjadi maladministrasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia yaitu “perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik dari rasa aman yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan”. Artinya, lembaga pengelola sangat rendah layanannya terhadap publik. Situasi ini bisa menyebabkan unifisiensi birokrasi bahkan perilaku koruptif jika pengawasan tidak optimal. Mencermati realitas diatas, maka selain pengawasan internal lembaga, dan Ombudsman, maka peran pengawasan internal lembaga, dan Ombudsman maka peran pengawasan masyarakat sangat penting terutama peran para tokoh agama, tokoh masyarakat atau tokoh adat.
Mengapa membutuhkan meraka dalam pengawasan dan advokasi perubahan?. Hal ini karena komunitas terutama komunitas agama, dan adat adalah salah satu mitra strategis pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan. Komunitas ini memiliki peran memajukan (memberdayakan) dan melindungi masyarakat dalam kerangka kemaslahatan ummatnya. Mereka juga tokoh panutan masyarakat, sehingga peran pengawasannya akan sangat efektif. Selain itu komunitas agama dan adat atau tokoh masyarakat ini sering kali menjadi pihak yang didatangi korban pertama kali untuk melaporkan kasusnya, sekaligus solusinya. Maka kerjasama pengawasan melekat dari masyarakat dan pengawasan Ombudsman diharapkan dapat membantu mewujudkan cita-cita negara hadir dalam pemenuhan hak warga negara.[]
Anggota Ombudsman RI 2016-2021
===
Tulisan ini dipublikasikan oleh Majalah Telstra (Telaah Strategis) Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas, Edisi 131, Maret-April 2016.