Kenapa Harus Jadi Misoginis kepada Korban Kekerasan Seksual?
Oleh: Ria Qamariyah
Tahun 2018 berakhir dengan menyisakan luka dalam sederet peristiwa. Setidaknya itu dirasakan secara personal oleh saya, seorang perempuan.
Dalam beberapa bulan sebelum pergantian tahun, kabar kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual berembus kencang. Dua kabar terakhir menyita perhatian publik.
Ada Ibu berinisial BN yang mengalami pelecehan seksual secara verbal dari atasannya dan satu lagi seorang perempuan berinisial AR yang juga mengalami perkosaan dari atasannya seperti pengakuannya sendiri.
Dua embusan kabar dari kasus di atas memang melesat secara viral. Tetapi perlu dicatat, keduanya bisa dibilang cuma puncak gunung es.
Perempuan memang lebih rentan mengalami kekerasan, sebagaimana budaya patriarki yang berakar di Indonesia. Sebuah kultur yang mempersepsikan perempuan sebagai objek di segala lini tanpa melihat perempuan, yang sama halnya dengan laki-laki, adalah manusia utuh dengan hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum dan negara.
Kembali kepada dua kasus kekerasan seksual di atas. Lepas dari penegakan hukum yang menyetainya, ada hal lain, dan ini sangat menyedihkan, yang terselip dalam perbincangan mengenai kasus tersebut, yakni komentar yang misoginis terhadap korban.
Kenapa harus misogini? Sepintas, menurut Lorraine Code dalam Encyclopedia of Feminist Theories (2000), misogini adalah kebencian atau rasa tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan.
Misogini dapat mewujud ke dalam berbagai bentuk, termasuk diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan. Pelaku misogini yang disebut misoginis bisa laki-laki ataupun perempuan.
Untuk kasus ibu BN saja, bila kita mau melacak sejumlah produk pemberitaan ataupun serangkaian diskusi di stasiun televisi yang mengulas topik tersebut, ibu BN malah dipersepsikan sebagai orang yang bersalah.
Ibu BN disalahkan karena mengungkapkan aib atasannya tanpa melihat tindakan itu adalah upaya untuk melindungi diri dari pelecehan seksual secara verbal yang belum dikenal oleh hukum di Indonesia.
Lebih parahnya lagi, muncul kesan kuat bahwa ada penegak hukum yang terkait langsung dengan kasusnya malah mengamini ketiadaan pelecehan seksual secara verbal.
Komnas Perempuan berdasarkan temuannya telah mendefinisikan pelecehan seksual sebagai tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.
Definisi itu meliputi penggunaan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
Dari batasan pengertian itu saja, sebenarnya sudah bisa dinyatakan bahwa Ibu BN adalah korban.
Berlanjut pada kasus yang terkuak beberapa hari menjelang pergantian tahun 2018, yakni AR yang mengungkapkan tindak perkosaan yang dilakukan oleh atasannya.
Atas kasus tersebut, aneka komentar yang tidak kalah sadis dilontarkan oleh pembaca sebuah berita daring. Ia menanyakan “sama-sama merasakan kenikmatan surga dunia kok lapor.. yang anehnya sudah 2 tahun lamanya ada apa sebenarnya ni…”.
Sadis dan tidak ada empatinya.
Dan masih banyak lagi komentar sejenis yang malah memojokkan AR, perempuan korban kekerasan seksual.
Dari dua kasus itu saja terlihat bagaimana reviktimisasi korban terjadi. Korban yang sudah menderita akibat kekerasan yang dialaminya kemudian kembali dijadikan korban dengan tudingan-tudingan yang menyalahkan.
Bila menilik kembali dua kasus di atas. Ada pola relasi yang sama di antara keduanya. Dua kasus itu menunjukkan kepada kita adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku. Dan pelaku adalah orang dekat yang berinteraksi dengan korban dalam kesehariannya.
Mengapa harus menjadi misoginis?
Coba luangkan waktu lebih banyak dan berselancarlah lebih jauh. Gunakan rasa empati yang ada untuk melihat fakta bahwa ada perempuan yang puluhan tahun tetap bungkam atas kekerasan yang dialaminya karena berbagai alasan.
Dan mengungkapkan kebenaran itu memerlukan mental yang kuat apalagi di tengah hantaman komentar misogini yang menyalahkan korban dan melihat korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual yang dialaminya.
Belum lagi alasan ancaman yang diberikan pelaku atas kuasa yang dimilikinya yang akan mempengaruhi kehidupan (baca: mata pencaharian) korban.
Di era keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat memang sah saja menyampaikan pikiran. Tetapi akan lebih bijak jika pendapat itu disertai empati dan tidak menghakimi.
Beri dukungan pada proses hukum yang dipilih korban (jika korban memilih) agar korban mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan. Mulailah berpikir dengan perspektif korban.
Atas dasar itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang saat ini sedang diadvokasi oleh gerakan perempuan mendesak untuk segera disahkan karena RUU P-KS ini dibuat berlandaskan pengalaman korban, penyintas, dan pendamping korban yang mengalaminya langsung.
RUU P-KS ini tidak hanya berfokus untuk menghukum pelaku namun juga memfasilitasi pemulihan korban dan mengandung upaya pencegahan tindak kekerasan seksual.
Siapapun bisa menjadi korban seperti siappun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.[]
Pegiat isu perempuan. Sehari-hari berkegiatan di Komnas Perempuan
*sumber gambar: David Servant