Perempuan yang Mencoba Bertahan

 Perempuan yang Mencoba Bertahan

Ilustrasi (Pixabay/Quangpraha)

Saya menyampaikan salut dan hormat setinggi-tingginya kepada para perempuan yang mencoba bertahan di tengah kesulitan ekonomi. Terutama kepada para single parent yang harus seorang diri memenuhi kebutuhan keluarga.

Saya melihat sendiri perjuangan seorang perempuan, kawan saya sendiri, yang berpisah dengan suaminya untuk menyelamatkan diri dari berbagai bentuk KDRT yang dialaminya. Ia kemudian mencoba bertahan hidup dengan membuat makanan kecil yang dititipkan di warung-warung sekitar tempat tinggalnya. Di sela waktunya yang lain, ia juga mencari nafkah dalam berbagai aktivitas: pengasuh bayi panggilan, mencuci dan menyetrika, menjadi infal penjaga toko, dan berbagai pekerjaan tidak rutin lainnya.

Jangan tanya deh apakah suaminya, eh mantan suami, tetap memberikan nafkah untuk anak-anak yang diasuhnya. Kalau ngasih ya bagus, kalau tidak ngasih ya susah juga untuk dipaksa. Hmmm, bisa ya seorang ayah itu cuek untuk mensejahterakan buah hatinya sendiri?

Yang ia lakukan kemudian mengatur sedemikian rupa kebutuhan rutin rumah tangga agar tidak terlalu membebani pengeluaran rutin setiap bulan. Kuantitas dan (bahkan) kualitas pangan sehari-hari juga dikurangi. Tidak sampai terjadi kelaparan. Namun cara itu harus ia lakukan demi memperpanjang ketersediaan pangan sampai tiba penghasilan berikutnya yang juga tidak seberapa.

Seorang perempuan lainnya yang saya kenal melalui seorang rekan juga mencoba bertahan dengan membuat aneka kue. Ia menitipkan produknya ke warung di dekat rumah. Hasilnya memang tidak terlalu besar, namun mencukupi untuk membeli susu putranya yang masih balita dan memutar modal untuk produksi kue setiap harinya.

Suatu ketika, tabungannya makin menipis. Untuk membeli beras pun tidak mencukupi. Ia sempat mengontak rekan saya, menawarkan beberapa perkakas untuk digadaikan, atau dijual sekalian. Rekan tersebut menolak, karena perkakas itu sangat dibutuhkan untuk memproduksi kue yang biasanya ramai permintaannya jelang hari raya. Sebaliknya, ia mengirimkan uang kepada perempuan tersebut, sambil berpesan agar sebagiannya harus dialokasikan untuk modal membuat kue kembali.

Keesokan harinya, perempuan itu mengirimkan pesan bahwa ia telah membuat kue kembali dan hari itu sebagian besar sudah terjual. Ia juga menginfokan aneka sembako dan kebutuhan rumah tangga yang dibelinya dari bantuan rekan tersebut.

Rekan saya itu bercerita, ia sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk terus menerus memberikan bantuan karena posisinya sebagai pekerja kontrak tidak diperpanjang. Namun ia sendiri merasa tidak tega mengetahui perempuan itu mengalami kesulitan ekonomi. Saya pun kemudian mencoba mencari informasi penyediaan bantuan sosial. Saya berharap perempuan itu dapat mengakses bantuan tersebut.

Beruntung, saya menemukan donator yang baik hati membagikan bantuan bagi yang terdampak pandemi. Saya pun menghubungi rekan tersebut yang kemudian menghubungkan saya dengan rekannya itu. Ada kelegaan bagi saya sendiri dapat membantu -walaupun sekedar menyalurkan bantuan sosial- kepada seseorang yang berjuang untuk bertahan di tengah kesulitan.

Seorang perempuan lain yang juga single parent mencoba bertahan dengan menjadi pekerja rumah tangga. Sebenarnya, tidak mudah baginya untuk bertahan bekerja di majikan yang temperamen. Sampai akhirnya ia menyerah. Ia kemudian kembali melanjutkan berjualan jajanan anak-anak di rumah. Sesekali ia mendapatkan bantuan dari orang tuanya sebagai imbalan mengantar ke suatu tempat atau melakukan suatu pekerjaan. Ia juga membuka jasa pengantaran menggunakan motor tua pemberian kerabatnya. Kadang-kadang ia membantu tugas memasak dalam acara besar suatu lembaga di dekat rumahnya. Semua ia lakukan demi menutupi kebutuhan sehari-hari ia dan anak-anaknya.

Namun demikian, saya juga tahu tidak semua perempuan single parent harus berjibaku sedemikian rupa demi bertahan hidup. Saya menjumpai seorang tetangga dalam satu kelurahan yang juga merupakan single parent. Ia sendirian menghidupi tiga anak yang masih berusia sekolah dasar setelah suaminya meninggal dunia.

Saya sempat bertanya kepadanya, apa pekerjaan sehari-harinya untuk menutupi kebutuhan rutin? Ternyata, ia tidak bekerja. Juga tidak membuat kue atau sekedar jualan cemilan. Ia juga tidak mencuci gosok di rumah orang lain. Lalu bagaimana menutupi kebutuhan sehari-hari? Menurutnya, kadang ada saja orang yang memberikan tali asih kepadanya. Selain itu, ketersediaan jaminan perlindungan sosial dari pemerintah juga menjadi penopang rutin setiap bulan. Perangkat RT hingga kelurahan tidak luput memasukkannya sebagai penerima jaminan perlindungan sosial dari pemerintah.

Sementara  tiga perempuan yang saya ceritakan sebelumnya, tidak ada satupun yang menerima jaminan perlindungan sosial dari pemerintah yang rutin diturunkan setiap bulan. Seorang di antara mereka pernah menanyakan, bagaimana cara mengakses jaminan perlindungan sosial tersebut? Saya jawab, tergantung dari pendataan yang dilakukan di tingkat  RT. Saya pun menyarankan agar ia menghubungi RT setempat agar dapat mengakses bantuan sosial yang disediakan pemerintah.

Ketersediaan jaminan sosial dari pemerintah setidaknya akan membantu meringankan para perempuan yang harus berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.  Saya yakini mereka bukanlah tipe orang yang senang meminta-minta bantuan sosial, karena mereka tetap akan bergerak untuk menopang hidupnya dengan mandiri. Namun tentu saja, apabila bantuan sosial itu tersedia, setidaknya akan memberikan mereka ruang yang cukup untuk mengambil nafas di tengah tuntutan untuk terus bertahan dalam keterbatasan.[]

 

Sebagaimana diceritakan oleh IM kepada Redaksi

 

 

Digiqole ad