Aktivis Gender yang Dilecehkan
Oleh: Uung Hasanah
Malam itu menjadi malam paling kelam sepanjang hidupku. Sesuatu yang tidak aku kehendaki terjadi. Aku dilecehkan oleh orang yang aku percayai. Dia adalah ketua umum dari organisasiku di tingkat nasional. Jabatan yang aku pikir akan memberiku ruang aman, nyatanya justru memanfaatkan relasi kuasa untuk mengambil keuntungan dari tubuhku.
Panggil saja aku Neni (nama samaran). Kejadian itu terjadi pada tahun 2018 saat aku hendak mengikuti kegiatan gender equality di salah satu kota di Jawa Timur. Di kota itu aku tidak mengenal banyak orang, lebih tepatnya tidak memiliki orang kepercayaan yang bersedia menampungku, kecuali Roki (nama samaran). Dia memenuhi kriteria sebagai orang kepercayaan. Selain berasal dari desa dan lulusan pesantren yang sama, ia juga menjabat sebagai ketua umum tingkat nasional dari organisasiku. Aku pikir, apa lagi yang perlu aku khawatirkan dari seorang laki-laki lulusan pesantren.
Aku tiba di kota itu pukul 02:00 WIB dini hari, sementara acaranya akan dimulai pukul 06:00 WIB. Dia bersedia bahkan menawarkanku untuk istirahat sejenak di kontrakannya. Tanpa berpikir panjang aku menyetujuinya karena sebelumnya kita memang sering nongkrong dan saling antar jemput di desa. Hanya butuh kurang lebih 15 menit dari terminal ke kontrakannya. Sesampainya di sana aku agak kaget karena banyak teman laki-lakinya yang masih terjaga sembari menonton bola di ruang tamu. Dia mengerti ekspresiku, “nanti kamu istirahatnya di kamarku saja, biar aku di luar bersama teman-teman,” katanya. Bodohnya, aku mengangguk dan masuk ke kamar yang ditunjukkannya.
Baca Juga: Pacarku yang Agamis, Ternyata Pelaku Pelecehan
Setelah meletakkan tas aku bergegas tidur di atas karpet karena di kamar ini tidak ada ranjang. Saking lelahnya, aku lupa mengunci pintu kamar. Di tengah lelapnya tidur, aku bermimpi sedang dipeluk seseorang. Dan saat aku terjaga, ada rasa hangat dari punggungku. Ya, dia memelukku saat aku tertidur! Entah berapa lamanya.
Sigap, aku langsung menepis lengannya yang melingkar di tubuhku. Aku bergeser menjauh darinya Bukannya berhenti dia malah semakin mendekat hendak memelukku lagi. Perasaanku tidak karuan, sedih, kecewa, marah, dan perasaan hina bercampur aduk. Tapi pikiranku masih bisa berpikir rasional, mencari tahu apa yang harus aku lakukan dalam situasi ini. Jika aku berteriak, itu justru akan mengundang teman-temannya ke dalam kamar, aku tidak yakin mereka akan menolongku, bisa jadi hal yang lebih buruk akan terjadi.
Akhirnya, aku memilih diam. Segera mengambil tas lalu berjalan cepat keluar dari kontrakannya. Saat itu sudah pukul 05:30 WIB, aku berinisiatif berdiri di tempat yang sekiranya bisa dilihat orang. Dia menghampiriku dengan wajah tanpa dosa. Aku mengingat betul dia berpura-pura seolah tidak terjadi hal buruk. Padahal bagiku, itu adalah momen di mana aku merasa sangat hina dan kotor. Dia bersikeras mengantarku ke lokasi acara, aku menyetujuinya karena tidak ada pilihan lain. Namun, setelah kejadian itu aku langsung memutus komunikasi dalam bentuk apapun, aku memblokir semua akun media komunikasinya.
Baca Juga: Ayo Cegah dan Lawan Pelecehan Seksual
Aku telah belajar banyak tentang kesetaraan gender dan kekerasan seksual, bahkan acara yang aku ikuti adalah acara kepemudaan chapter gender equality. Tapi faktanya aku tetap bisa menjadi korban. Dari acara yang aku ikuti, aku belajar bahwa siapapun bisa jadi korban. Sebaliknya, siapapun juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, tidak peduli apakah dia lulusan pesantren, menjabat ketua umum, teman dekat, atau kenalan biasa. Semua bergantung dari cara pandang seseorang agar tidak bertindak merugikan dan menghargai hak orang lain, termasuk hidup dengan rasa aman.
Dari kejadian itu aku terus belajar dan mencoba berdamai pada diri sendiri. Meski pernah menjadi korban, aku tetap berharga. Kejadian tragis itu tidak mengurangi nilaiku sebagai perempuan terhormat. Semua ini berkat bahan bacaan, dukungan orang terdekat dan acara-acara yang aku ikuti. []
Mahasiswa pascasarjana ini menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy
Cerita ini didasarkan pada kisah nyata yang dituturkan narasumber kepada penulis. Dalam hal ini penulis sudah mendapatkan izin dari narasumber untuk menceritakan kisahnya. Semua identitas dalam tulisan ini hanya penulis yang mengetahuinya