Pacarku yang Agamis, Ternyata Pelaku Pelecehan

 Pacarku yang Agamis, Ternyata Pelaku Pelecehan

Ilustrasi (Sumber: Freepik.com)

 

Oleh: MD

 

Beberapa tahun lalu, aku masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku mengingat betul bagaimana diriku kala itu. Belum bisa membedakan mana orang yang memang layak ku perjuangkan dan tidak, serta belum bisa membedakan mana kasih sayang, dan mana manipulasi atas nama kasih sayang.

Layaknya Milea menyukai Dilan, dan siswi SMA pada umumnya, aku juga memiliki orang yang ku suka. Berbagai kebetulan cukup banyak hadir di antara diriku dan dia, sebut saja Arkhan. Mulai dari bertemu di lomba tausiyah tingkat SMA, bertemu di pertemuan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) tingkat kota, hingga pertemuan di berbagai seminar sekolah.

Hal ini membuatku menerka-nerka, apakah arti semua ini? Ternyata, dia pun sama. Mempertanyakan berbagai kemungkinan itu. Hingga akhirnya kami saling berinteraksi dan semakin intens komunikasi seiring waktu. Kami pun bersepakat untuk menjalani hubungan romantis; berpacaran.

Dengan tampilan Arkhan yang paham ilmu agama, kerap disebut ustadz, anak rohis, sekaligus anak OSIS, membuatku yakin bahwa ia akan memperlakukanku dengan baik.

 

Ternyata Ia Pemarah

Belum genap satu bulan kami pacaran, Arkhan berulang tahun. Aku sudah mengucapkan selamat untuknya di hari H. Aku juga sibuk menghubungi kawan-kawanku untuk mempersiapkan kejutan sederhana. Namun, Arkhan mengira bahwa aku tak peduli dengan dia. Ia mengganti status BlackBerry Messenger (BBM)-nya dengan nama perempuan lain, ditambah dengan emoji peluk. Deg. Sakit rasanya melihat itu.

Aku yang sudah selesai menyocokkan jadwal dengan kawan-kawanku, tetap datang ke rumah Arkhan untuk memberikan kue dan kado yang kusiapkan. Arkhan seperti mau tak mau. Namun besok-besoknya, ia baik lagi padaku dan meminta maaf. Katanya, ia menyesal. Aku percaya.

Ada suatu waktu di mana aku dikenalkan dengan kawannya Arkhan, sebut saja Denis. Beberapa waktu setelahnya, saat aku dan Arkhan sedang berjalan kaki untuk belanja di pasar, aku cerita kepada Arkhan bahwa Denis mirip dengan kaka kelasku di sekolah. Wajahnya familiar bagiku. Kalau senyum juga mirip, “lumayan manis”  kataku.

Arkhan langsung marah dan meninggalkanku begitu saja. Ia menyebrang jalan sendirian tanpa menungguku tanpa sepatah kata pun. Aku sampai di tempat parkir motornya, dan menemukannya begitu marah. Ia ngebut sepanjang jalan, tanpa menjawab kata-kataku dan permintaan maafku. Kami hampir menabrak kendaraan lain, namun ia tetap membawa motor dengan ngebut. Aku deg-degan sekali, sekaligus bertanya-tanya, “apakah sikapnya ini adalah respon yang tepat?”

Sampai di depan rumahku, ia langsung putar balik dan ngebut. Tanpa memedulikanku atau berpamitan.

Hal-hal ini membuatku sedih dan kepikiran. Namun sikapnya yang seperti itu tidak sampai di sini. Ia seringkali memutuskan hubungan karena apa pun yang menurutnya bermasalah. Lalu, ia meminta untuk balikan lagi. Aku menerima dengan keyakinan bahwa “ia akan berubah.”

 

Baca Juga: Predator Berkedok Terapis

 

Tak Mengizinkanku Berprestasi

Suatu hari aku mengunggah piala juara satu ku di instagram pribadiku. Arkhan memakiku di BBM. Ia, menuduhku riya. Ia mengatakan bahwa aku norak. Katanya, seharusnya aku tidak perlu mengunggah hal-hal seperti itu di media sosial. Di sisi lain, itu membuat dia merasa hina.

Aku dituduh sebagai penyebab dirinya merasa malu, rendah, bodoh dan hina. Aku bingung karena sama sekali bukan itu maksudku. Aku hanya ingin mengapresiasi diriku yang sudah berjuang dan bisa menjadi juara.

Piala itu tentangku, bukan tentang orang lain. Namun ia tak peduli dengan pendapatku dan terus saja memakiku dengan kata-kata yang menyudutkan.

Hal ini juga terjadi saat aku sibuk latihan untuk persiapan lomba. Ia memarahiku karena masih sibuk dengan urusan lomba-lomba. Menurutnya, seharusnya aku fokus belajar saja tanpa memikirkan lomba. Katanya aku akan naik kelas tiga, jadi tidak usah ikut lomba. Ia menuduhku serakah, tidak mau berbagi kesempatan dengan adik kelas, dan egois.

Rasanya sedih sekali karena ia tidak mendukung pilihanku untuk berprestasi di luar pelajaran akademik. Ia memutuskan hubungan, namun seperti biasa, ia meminta balikan. Aku lagi-lagi percaya, dengan keyakinan bahwa ia bisa berubah dan ia sayang padaku. Aku menyayanginya.

 

Sifatnya yang Abusif

Semakin lama aku bersamanya, semakin banyak hal yang membuatku gundah. Ia kerap kali menyudutkanku dengan membandingkan diriku dan mantan-mantan kekasihnya. Terkadang, ia bercerita bahwa dirinya pernah melakukan ini dan itu kepada mantannya.

Ia menceritakan bahwa mantannya melakukan itu karena sayang, tetapi ia menyebut mereka murahan.

Aku kerap dibandingkan juga dengan perempuan lain yang menurutnya lebih pintar dariku. Selain itu, perempuan tersebut memiliki tubuh yang bagus menurutnya. Semok, dan menggairahkan.

Ia kerap kali begitu marah padaku, mengatakan kata-kata kasar yang tak pernah kulakukan padanya. Seperti sebutan anjing, babi, pelacur dan murahan. Hanya karena aku bermain atau berinteraksi dengan kawan-kawan laki-lakiku, yang bahkan sudah kukenal lebih dulu dibanding dirinya.

Konteksnya, aku memang dari kecil tumbuh di lingkungan yang dominan laki-laki. Termasuk masa-masa sekolah. Selain itu, aku juga sudah menceritakan ini kepadanya.

Aku risih karena dia menuntutku agar membatasi interaksiku dengan kawan laki-lakiku. Tak peduli apakah itu memang hal yang urgent atau tidak. Pokoknya, ia tidak mau aku berkawan dengan laki-laki.

Ia memutuskan hubungan kami lagi, dan lagi, dan lagi. Aku menerimanya lagi, dan lagi, dan lagi.

Pada suatu hari, ia memintaku mengajarinya matematika. Kami pun belajar bersama. Di saat itu, ia mengaku padaku bahwa ia pernah selingkuh dengan beberapa perempuan lain. Aku kaget, tetapi aku memakluminya.

Ia minta maaf padaku dan memberitahu bahwa perempuan-perempuan selingkuhannya adalah perempuan-perempuan yang kerap kali ia bandingkan denganku. Aku bertanya, “kenapa ia melakukan itu?”. Ia menjawab, karena ia tidak bisa menyentuhku. “Soalnya kamu gak bisa diapa-apain, sih. Jadi, aku ke yang lain aja,” ujarnya sambal meminta maaf.

Aku mengangguk dan melanjutkan pembelajaran saja, mengingat ia sebentar lagi ulangan harian. “Meski begitu, yang penting ia tetap memilihku,” pikirku saat itu.

 

Baca Juga: Pemerkosaan Dalam Pacaran Kerap Terjadi dan Bukan Salah Korban

 

Selesai

Akhirnya sampailah pada titik di mana aku tidak menerimanya lagi. Ia benar-benar meruntuhkan pondasiku tentang figurnya yang agamis nan manis.

Suatu hari kami bermain, keliling daerah kami menggunakan motor. Lalu kami ke rumahku. Ternyata tidak ada orang di sana. Aku pun berusaha tenang dan mengobrol sewajarnya.

Namun ia meminta maaf dan memintaku untuk memegang kemaluannya. “Kocokin sayang, please” ucapnya. Ia mengatakan itu berulang-ulang dan sampai memohon-mohon padaku. Termasuk memegang tanganku erat.

Aku menolaknya, karena merasa jijik dan tabu. Tapi ia tidak mau mendengarku, ia masih memohon padaku. Aku mengatakan bahwa aku akan berteriak kalau ia memaksaku terus-menerus.

Untungnya dia tidak membuka celananya dan aku sengaja membiarkan pintu rumahku terbuka. Aku berhasil kabur darinya dan lari ke depan rumah. Tidak tinggal diam, ia lalu memanggilku dan mengejarku. Meminta maaf atas apa yang ia lakukan.

Biasanya, ia akan mengatakan bahwa ia khilaf dan aku akan memberinya kesempatan lagi. Namun, kali ini aku memaafkannya tanpa memberinya kesempatan untuk menjalin relasi denganku lagi.

 

Pentingnya Pendidikan Gender

Aku bersyukur dengan keputusanku di masa lalu. Aku dapat keluar dari lingkar hubungan beracun itu meski harus menahannya berulang kali dan menjadi bodoh berkali-kali. Setidaknya, aku masih mendapat kesempatan untuk belajar.

Sejak berakhirnya hubungan kami, memang tidak lantas aku memahami apa itu manipulasi, apa itu gaslighting, atau apa itu toxic relationship. Tidak. Beberapa kali aku masih menjadi seseorang yang mudah percaya atas nama kasih sayang.

Prosesku sebagai anak SMA yang jauh dari akses mendapatkan pendidikan gender, membuatku lebih lambat memahami fenomena Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Pendidikan gender inilah yang kuharapkan bisa diakses lebih banyak oleh anak-anak SMA dan remaja lainnya. Menurutku, perempuan remaja sangatlah rentan menjadi korban kekerasan dalam pacaran.

Mereka bisa saja menolak pasangannya berkali-kali dan diancam berkali-kali pula. Ia bisa saja dimanipulasi untuk melakukan segala macam atas nama cinta.

Dengan pendidikan gender yang komprehensif, mereka bisa berdaya dan melawan hal-hal yang membelenggunya. Mereka bisa mendefisikan cintanya sendiri, yaitu cinta yang setara dan adil, tanpa kekerasan. Mereka berhak mendapatkan relasi yang sehat.[]

 

Sebagaimana diceritakan penyintas pada 15/8/21, identitas penyintas ada pada redaksi.

Digiqole ad