Zavilda TV: Memperkuat Kesenjangan Perempuan secara Simbolik

 Zavilda TV: Memperkuat Kesenjangan Perempuan secara Simbolik

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Uung Hasanah

Baru-baru ini kanal media sosial dihebohkan dengan sebuah kampanye untuk melaporkan akun Youtube Zavilda TV yang memproduksi konten yang dinilai sudah melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Kampanye bermula sejak Kalis Mardiasih, seorang influencer dan aktifis kesetaraan gender menyampaikan pendapatnya bahwa konten channel Youtube Zavilda TV cenderung mengobjektifikasi perempuan. Konten juga cenderung memaksa orang lain lantaran memproduksi dan mempublikasikannya tanpa izin talent dengan tujuan komersil. Kalis menyeru kepada Zavilda untuk menurunkan semua video yang diunggah.

Penasaran, saya langsung mengecek sendiri channel Youtube yang dimaksud. Dari sini barulah saya paham maksud dari perbuatan tidak menyenangkan yang dituduhkan kepada Zavilda. Zavilda membuat konten dengan konsep Islamic Social Eksperimen di mana ia mendatangi perempuan yang tidak berhijab lalu memintanya untuk mencoba menggunakan hijab yang ia bawa. Selain itu, Zavilda juga memberikan nasihat yang bahkan tidak diminta oleh perempuan yang jadi targetnya. Sekilas isi konten Zavilda seperti video hiburan pada umumya, namun yang menjadi ironi adalah thumbnail dan judul videonya. Seperti Cewek Sexy Murka Sampai Buang Hijabnya, Cewe Sexy Ngamuk Saat Kututupi Auratnya, Cewe Sexy Gagal Hijrah Karena Pergaulan, Cewek Sexy Malioboro Sexyku Popularitasku, dan masih banyak lagi. Inilah yang mengundang emosi banyak orang lantaran judul dan isi kontennya terkesan mengeksploitasi dan melecehkan perempuan.

Seiring terpusatnya perhatian banyak orang untuk mendukung gerakan ini, para korban dalam konten tersebut mulai speak up. Sebagian korban menghubungi komunitas Perempuan Berkisah, menceritakan kejadian sebenarnya. Banyak dari mereka dipaksa setuju membuat konten bahkan diminta untuk berpakaian lebih terbuka agar mengundang banyak viewers. Ada pula korban yang meminta videonya dihapus karena merasa dirugikan namun tim Zavilda menolaknya.

Sebenarnya, kasus Zavilda hanya salah satu contoh dari banyaknya kejadian merendahkan atau meremehkan orang lain karena menganggap dirinya lebih baik. Kebanyakan kejadian ini dialami perempuan. Dalam masyarakat patriarki banyak stigma negatif yang dilekatkan kepada perempuan. Contohnya perempuan seksi dianggap nakal atau perempuan bercadar dibilang eksklusif. Nah, bagi saya kasus Zavilda TV memperkuat stigma tersebut. Dalam sudut pandang yang lebih luas, ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam kasus ini.

Content Creator Social Responsibility

Content creator social responsibility adalah kesadaran pekerja kreatif atau content creator bahwa selain membuat konten, mereka juga memiliki tanggungjawab sosial. Artinya, kreasi yang mereka buat harus membentuk tatanan sosial di masyarakat menjadi lebih baik dengan mengarahkanya kepada hal-hal yang bersifat positif. Meskipun konten dimaksudkan sebagai hiburan, tapi tidak boleh keluar dari nilai kemanusiaan. Misalnya, tidak dengan sengaja membuat konten yang membuat orang merasa direndahkan, dikucilkan, atau diintimidasi. Sayangnya, tanggungjawab ini banyak diacuhkan konten kreator demi mengejar adsens. Semakin kontroversial sebuah konten dinilai akan lebih cepat populer. Tidak lain tujuannya adalah komersil, semata-mata karena cuan.

Baca Juga: Bijaklah dalam Menggunakan Media Sosial

Zavilda TV mengklaim kegiatan mereka untuk tujuan dakwah. Namun, alih-alih menunjukkan sifat dakwah yang membawa kedamaian dan ketentraman, konten tersebut malah mengundang keresahan masyarakat, menggangu ketertiban, mengusik kenyamanan pengguna fasilitas umum, serta memaksakan kehendak. Dengan demikian, apakah Zavilda sudah memenuhi kriteria sebagai content creator social responsibility? Apakah ia secara sosial ingin membuat masyarakat kita lebih baik atau justru sebaliknya? Mari kita cek.

Kesenjangan Perempuan secara Simbolik

Pernahkan kita mendengar kata Misogini? Ya, misogini adalah kebencian kepada seseorang karena berjenis kelamin perempuan. Perempuan dibenci hanya karena dia lahir sebagai perempuan. Akibat kebencian ini, perempuan tidak diberi kebebasan akses untuk bekerja, menjadi pemimpin atau mengenyam pendidikan. Lumrahnya, orang menyangka bahwa hal ini melibatkan subyek laki-laki kepada perempuan, yang membenci adalah laki-laki. Padahal, ada pula kebencian perempuan terhadap perempuan.

Kebencian antarperempuan bisa disebabkan banyak faktor. Bisa karena kompetisi, bisa pula karena stigma yang melekat di masyarakat. Perempuan yang memakai baju pink, misalnya, akan dianggap lemah dan lembek. Untuk menghindari stigma itu, perempuan memakai warna hitam agar dianggap kuat dan tidak sama dengan perempuan pada umumnya. Kebencian antar perempuan ini disebut internalized misogini. Tindakan untuk menghindari kebencian kepada perempuan dengan cara berbeda. Tindakan ini biasanya diawali dengan kata, “sorry, aku tidak seperti perempuan kebanyakan yang…””

Dalam kasus Zavilda TV, konten yang dipertontonkan adalah perempuan berpakaian terbuka yang diminta memakai hijab oleh perempuan bercadar. Seakan-akan, perempuan berhijab jauh lebih baik dibandingkan perempuan yang berpakaian terbuka. Apalagi, diksi yang mereka gunakan adalah kata seksi dan mengancam mereka atas murka Allah jika tidak menutup auratnya. Benarkah perempuan bercadar selalu baik? Dan benarkah perempuan berpakaian terbuka selalu nakal? Belum tentu! Kita tidak bisa menilai seseorang dari cara berpakaian saja.

Dampak buruknya, stigma negatif akan semakin melekat kepada perempuan. Perempuan seksi pasti nakal, terjerumus pergaulan bebas, tidak taat ibadah, atau bahkan suka membangkang. Perempuan bercadar sangat ekslusif, memaksakan kehendak kepada orang lain, tidak bisa dijadikan teman baik, cenderung membawa-bawa agama pada banyak hal dan lain sebagainya. Akibatnya akan timbul rasa benci dan prasangka buruk sesama perempuan. Kesenjangan akan semakin terlihat. Padahal hari ini perempuan sedang berusaha mengeratkan genggaman antarperempuan, antara lain yang berkulit putih dan hitam, yang kurus dan gemuk, yang berambut lurus dan keriting, yang berhijab dan tidak berhijab, untuk melawan kekerasan seksual dan ketidakadilan yang dialami perempuan.

Baca Juga: Memotret Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Radikalisme

Perempuan bebas menentukan pakaian apa yang ingin mereka kenakan. Zavilda TV sebagai akun dengan 212 ribu subscriber, seyogyanya mampu membaca hal yang jauh lebih esensial dibandingkan mengurusi pakaian. Misalnya tentang penghidupan yang aman dan layak bagi perempuan dari seluruh kalangan, baik yang berhijab maupun tidak.[]

 

Mahasiswa pascasarjana dan penulis buku Menggugat Feminisme

 

Digiqole ad