Meneropong Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Negeri Paman Sam

 Meneropong Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Negeri Paman Sam

Foto: Istimewa

Judul      : Mampir ke New York, Catatan-Catatan Perjalanan tentang Kekerasan terhadap Perempuan

Penulis  : Siti Aminah Tardi

Ukuran  : 14,8×21 cm, x+177 halaman

Terbit    : Agustus 2020

 

Selalu ada situasi tertentu yang membuat penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan perlu direspons dengan regulasi yang menyasar secara langsung situasi tersebut. Misalnya dalam perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), faktor dominan yang membuat korban memilih untuk terus bertahan merupakan persoalan serius yang harus direspons oleh negara. Tanpa intervensi spesifik, korban akan kesulitan melepaskan diri dari lingkaran kekerasan yang dialaminya.

Itulah kesan yang saya dapatkan setelah membaca kisah Kasandra, dalam “Mengenal VAWA Visa untuk Korban KDRT”. Penulis menceritakan kembali penuturan Kasandra, seorang imigran asal Meksiko yang menikah dengan warga negara Amerika Serikat. Kasandra mengalami KDRT, termasuk ancaman pelaku untuk membunuh hewan peliharaan mereka apabila Kasandra tidak menuruti keinginan pelaku. Berbagai bentuk kekerasan dilakukan pelaku, termasuk kekerasan seksual, namun Kasandra mengalami kesulitan untuk melapor karena pelaku mengancam akan melaporkan status keimigrasiannya. Di Amerika Serikat, persoalan  keimigrasian merupakan persoalan yang sangat krusial mengingat pertambahan jumlah imigran ke negara paman Sam ini setiap tahunnya.

Kisah Kasandra tadi mengisi suatu tulisan dari delapan tulisan penulis  yang tertuang dalam buku ini. Pada 2011, penulis mendapatkan beasiswa studi ke Universitas Columbia, Amerika Serikat. Bersama peserta dari tujuh negara lainnya, penulis mengikuti program peningkatan kapasitas bagi pengacara publik di kampus ini. Pendidikan yang diperoleh selama studi dan kesempatan magang di lembaga penyedia layanan setempat sebagiannya ia ramu ke dalam catatan-catatan di laman Facebooknya dan kemudian diterbitkan dalam buku ini.

**

Melalui buku ini, penulis memberi gambaran bagaimana suasana pengadilan keluarga di negara bagian New York, Amerika Serikat. Ada sejumlah detail yang mungkin terluput dari sorotan kamera film-film Hollywood. Seperti ketatnya pemeriksaan masuk, antrian pengunjung pengadilan yang cukup panjang, sampai penyediaan tisu dan air minum oleh petugas keamanan bagi korban KDRT yang akan diperiksa oleh pengadilan. Gambaran ini mungkin dapat memberi inspirasi bagi pengadilan di Indonesia untuk penyediaan sarana prasarana dan fasilitas yang membuat para pihak yang berperkara  merasa aman dan nyaman.

Tidak hanya itu, buku ini juga menguraikan proses pemeriksaan perkara yang bisa jadi mewujudkan prinsip peradilan yang cepat dan berbiaya murah. Dalam tulisan tentang “Mengunjungi Pengadilan Terpadu Kekerasan dalam Rumah Tangga,” penulis menceritakan pemeriksaan perkara menjadi lebih singkat apabila pelaku mengakui bersalah (hal. 10-11). Hakim pun dapat menjatuhkan hukuman yang lebih ringan kepada pelaku. Dalam perkara yang sedang diamati oleh penulis, hakim memerintahkan pelaku untuk mengikuti konseling selama 90 hari. Selain itu, hakim juga memerintahkan pelaku untuk tidak mendekati kediaman istri dan anak-anaknya. Mungkin hakim paham bahwa penjara tidak selamanya tepat dijatuhkan kepada pelaku KDRT.  Justru perubahan perspektif pelakulah yang menentukan dapat tidaknya pelaku membuktikan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.

Dalam buku ini, penulis juga menggambarkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ada di Amerika Serikat sambil menyandingkannya dengan sistem dan praktik hukum di Indonesia. Demikian pula sebaliknya, penulis memberikan catatan terhadap praktik hukum di Indonesia kemudian memberi penjelasan bagaimana hukum di Amerika Serikat mengatur persoalan tersebut.

Walaupun demikian, tidak setiap tulisan dalam buku ini berpretensi menyandingkan dua sistem dan praktik hukum yang berbeda itu. Hal itu hanya dijumpai ketika penulis membahas tentang hak asuh pasca perceraian (hal. 137-154) dan tentang juri (hal. 125-136) yang secara konseptual telah diadopsi secara terbatas dalam Rancangan Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Tulisan pertama di buku ini menyajikan saran bagaimana langkah mewujudkan pengadilan keluarga terintegrasi di Indonesia. Tulisan ini bahkan tidak dalam kerangka menyandingkan, mengingat dalam konteks ini tidaklah apple to apple. Berbeda halnya dengan tulisan tentang suatu aksi protes terhadap statement pejabat yang menyalahkan busana perempuan, di mana yang ditekankan adalah respons masyarakat sipil khususnya gerakan perempuan atas diskriminasi terhadap perempuan.

Adanya perbedaan titik tekan dari setiap tulisan ini di satu sisi mungkin menimbulkan kesan lompatan penulisan dan mengalirnya tulisan ke muara yang berbeda. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak mengurangi kekayaan informasi yang disajikan oleh penulis yang mengecap pengetahuan langsung dari sumbernya mengenai suatu topik yang diangkat.

Di sisi lain, terdapat tulisan yang  memaparkan suatu perkara kekerasan terhadap perempuan namun tidak ada informasi lebih lanjut dari penulis mengenai penyelesaian perkara itu. Yang saya maksud tentu selain kasus-kasus yang diamati penulis di pengadilan keluarga, di mana penulis  secara eksplisit menyampaikan posisi pengetahuannya terhadap keberlanjutan tiap kasus tersebut. Juga bukan tentang korban tindak pidana perdagangan orang, sebagaimana penulis uraikan dengan apik dalam tulisan berjudul “Perlindungan Korban Perdagangan Manusia: Belajar Trafficking Visa di Amerika Serikat” (hal. 58-84).

Saya menuntaskan membaca buku ini hanya dalam tiga jam, dengan menyisakan pertanyaan, lantas apa yang kemudian terjadi dengan Kasandra? Setelah sebelumnya mengisahkan peristiwa yang dialami Kasandra, penulis lanjut menguraikan jaminan perlindungan yang disediakan oleh negara, termasuk di antaranya hak untuk mendapatkan peningkatan status keimigrasian tanpa kewajiban disponsori oleh pasangan yang merupakan pelaku KDRT. Artinya, UU di negara ini menjamin Kasandra untuk mendapatkan haknya sebagai korban KDRT sekaligus terlindungi dari ancaman deportasi -hal yang paling dihindari oleh para imigran.

Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang keputusan yang diambil Kasandra yang sebelumnya sempat mencabut laporan setelah pelaku benar-benar melakukan pelaporan atas status keimigrasiannya. Serta bagaimana lembaga penyedia layanan setempat bekerja untuk memastikan agar Kasandra tidak mengalami deportasi atas pelaporan pelaku.

**

Tulisan dalam buku ini sekalipun sarat istilah hukum, namun penyajiannya tidaklah berat.  Ia jauh dari kesan menggurui sehingga buku ini mampu melepaskan diri dari umumnya karakter tulisan terkait hukum yang terkesan serius. Sebagai catatan sebuah perjalanan, hal itu barangkali wajar adanya, karena sedari awal tulisan-tulisan ini memang tidak dimaksudkan sebagai tulisan akademik yang harus berada dalam koridor penulisan ilmiah yang sarat dengan berbagai pakemnya. Itu pula barangkali yang membuat sejumlah imbuhan belum dituliskan sesuai kaidah yang berlaku, atau demikian halnya dengan pengulangan sejumlah kata yang sepertinya terlewat dalam proses penyuntingan.

Namun demikian, saya pribadi berpendapat bahwa penambahan nuansa akademik dalam tulisan ini, misalnya pencantuman referensi atau tautan sumber bacaan sejumlah pasal atau UU terkait, niscaya akan memberikan bobot nilai tersendiri. Dengan demikian, tulisan-tulisan dalam buku ini dapat menjadi rujukan alternatif mengenai sejumlah persoalan hukum terkait kekerasan terhadap perempuan di tanah air dengan pengayaan informasi dinamika penegakan hukum di negeri Paman Sam.[]

 

 

Ema Mukarramah

Senang menulis terkait pemberdayaan perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan

 

 

 

Digiqole ad