Perempuan dan Hak atas Identitas

 Perempuan dan Hak atas Identitas

(Ilustrasi: JalaStoria.id)

Perempuan dan Indentitas

Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk sebanyak  267 juta jiwa, dan dari jumlah tersebut, jumlah perempuan sebanyak 131,88 juta. Jadi dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk perempuan dan laki-laki hampir sama. Namun dari segi jumlah yang sama tersebut ada sebuah pertanyaan apakah perempuan memiliki hak identitas yang sama dengan laki-laki?

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan pijakan dasar untuk memberikan perlindungan hukum yang sama bagi perempuan dan laki-laki, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan  pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. UUD 1945 ini menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tidak terkecuali perempuan dan prinsip ini yang sering disebut dengan prinsip equality before the law.

Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal ini seolah menunjukan hal yang bertolak belakang di saat warga negaranya meminta pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum atas identitasnya.

Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. CEDAW mengatur kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan salah satunya adalah mengenai identitas perempuan Hal ini termuat dalam Pasal 16 yang melarang “diskriminasi terhadap perempuan dalam semua hal yang berkaitan dengan pernikahan dan hubungan keluarga.”  Pasal ini memberikan penjelasan secara khusus, untuk memberi hak yang sama antara pria dan wanita, hak untuk menikah, hak yang sama dengan bebas memilih pasangan, hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan saat pembubaran, hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak anak, hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan dan hak-hak perempuan lainnya dalam keluarga.

Perkawinan dan Perubahan Identitas Perempuan

Indonesia juga telah memiliki Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan dalam Undang-undang ini mengatur mengenai Identitas warga negaranya. UU ini menegaskan bahwa Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak berupa identitas bagi warga negaranya.

Namun yang menjadi persoalan adalah banyak perempuan yang mengubah identitas, khususnya yang berkaitan dengan nama, setelah melakukan perkawinan. Perubahan nama tersebut dilakukan melalui permohonan penetapan ke Pengadilan, di daerah domisili tempat tinggal pemohon, dan kecenderungan pada umumnya perempuan mengubah namanya dengan menggunakan nama dari keluarga suaminya. Dalam pengajuan permohonan perubahan nama, ada beberapa hakim yang mengabulkan permohonan perubahan nama tersebut, namun ada juga hakim yang tidak menerima permohonan tersebut.

Konsekuensi Hukum

Perubahan nama perempuan dengan menambahkan nama keluarga suaminya, tentu memiliki dampak hukum, sebagaimana yang diatur dalam CEDAW bahwa perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan saat pembubaran. Selain itu, hal yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi yang beragama Islam.

Perlu untuk diketahui, bahwa semua orang yang memilih untuk melakukan perkawinan tidak mengharapkan untuk mengakhirinya ikatan perkawinannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena mengakhiri perkawinan dan pada akhirnya terjadinya perceraian merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh individu yang terikat dalam perkawinan. Fakta perceraian pada tahun 2018 sebagaimana dikutip dari laman Mahkamah Agung menunjukkan  angka perceraian yang sangat tinggi yaitu sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Data yang tersaji itu juga menunjukan bahwa perempuan memiliki tingkat insiatiatif lebih banyak untuk mengajukan perceraian dibandingkan laki-laki yaitu 307.778 perempuan dan tingkat insiatif laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Perubahan nama setelah melakukan perkawinan tentu memiliki konsekuensi hukum dan ini akan berdampak pada persoalan hukum, yaitu pertama, adalah secara dokumen hukum, perempuan tidak memiliki identitas gender sesuai dengan fakta, dan ini akan mengaburkan asal usul perempuan yang sebenarnya. Hal ini akan menciptakan konstruksi sosial yang baru bagi perempuan yang pada akhirnya identitas yang sebenarnya akan menghilang dengan sendirinya.

Kedua, perubahan identitas perempuan akan berdampak pada identitas sosial, dan ini biasa dilakukan oleh masyarakat kita, di mana penyebutan nama perempuan setelah menikah dengan tidak menggunakan nama perempuan, namun lebih cenderung untuk menggunakan nama keluarga suaminya.

Ketiga, perubahan nama perempuan terkait dengan kelas atau status sosial. Biasanya perempuan yang melakukan perubahan nama adalah perempuan yang menikah dengan keluarga yang memiliki pengaruh dan kelebihan secara status sosial dan ekonomi. Ini digunakan untuk meengaruhi kelompok dalam lingkup kehidupan keluarga tersebut, sehingga tidak ada tindakan yang diskriminatif terhadap perempuan.

Namun yang perlu direfleksikan adalah bahwa perempuan memiliki hak atas identitas personalnya, artinya perubahan identitas perempuan harus berlandaskan pada kesadaran perempuan itu sendiri. Perubahan nama perempuan setelah menikah dan mengikuti nama keluarga suaminya merupakan satu bentuk tindakan dominan dan kontrol yang dilakukan oleh laki-laki atas perempuan dan dikuatirkan ini akan menjadi kebiasaan serta dijadikan sebagai konstruksi yang akan terus berkembang di masyarakat yang pada akhirnya akan membuat perempuan kehilangan identitas dirinya.[]

 

Ermelina Singereta

Advokat Publik (Dike Nomia Law Firm)

Mahasiswa pada Program Pasca Sarjana, Magister Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta

 

Digiqole ad