Perempuan: Batasan dan Kebebasan

 Perempuan: Batasan dan Kebebasan

ilustrasi: Shree Venkatesh Films

Judul               : Begum Jaan
Genre              : Drama/Sejarah
Sutradara         : Srijit Mukherji
Rilis                 : 14 April 2017
Durasi              : 2 jam 8 menit

 

Tanggal 17 Agustus 1947, di bagian selatan benua Asia, perbatasan dibangun di antara dua daerah. Kita sekarang mengenali kedua daerah sebagai Pakistan dan India. Ketika itu, Sir Cyril Radcliffe membuat pembatas untuk memisahkan kekuasaan utuk keduanya. Kejadian menimbulkan makna bahwa pembatasan berarti kemerdekaan. Kemerdekaan negara Pakistan dan India. Kemerdekaan bagi para pengelola baru daerah tersebut.

Radcliffe mungkin tak membuat garis perbatasan berdasarkan jenis kelamin, tapi mungkin iyaa atas kepercayaan atau agama. Sebab ketika itu, huru-hara yang terjadi melibatkan antara dua kelompok agama besar: Islam dan Hindu. Delhi, Amritsar, dan Lahore diubahnya menjadi arena gulat antara dua kelompok. Pergulatan menampilkan adegan-adegan menyeramkan seperti pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, pembakaran, penghancuran, dsb.

Saat pembangunan garis pembatas memunculkan adegan-adegan sadis dari kedua kelompok,  Begum Jann (2017) menyuguhkan dari sudut yang lain. Bukan Islam, bukan juga Hindu, tapi perempuan. Kita lihat adegan awal film.  Perempuan dilecehkan oleh beberapa pria di bis saat malam jadi pilihan untuk membuka film. Ia tidak hanya disentuh, melainkan juga dipukuli dan mendapat tindakan pelecehan seksual lainnya. Kejadian mencoba memperlihatkan realitas bahwa perempuan memang perlu dibatasi jam aktivitasnya. Malam bukan waktu yang ramah bagi perempuan. Realitas bersepakat dengan apa yang dikatakan Radcliffe bahwa tindakan membatasi ialah benar untuk kemerdekaan. Persepsi Radcliffe ternyata tertafsir pula untuk perempuan.

Sepertinya, tindakan Radcliffe mengenai “membangun perbatasan ialah benar untuk kemerdekaan” juga disepakati oleh beberapa laki-laki. Kakek, ayah, kekasih, paman, pakde, dan kakak, ialah beberapa orang yang mungkin menyepakati ujaran Radcliffe. Kita bisa melihat ayah yang menyepakati hal itu dalam novel Midah (2003) yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Ayah Midah berpikir layaknya Radcliffe. Membatasi Midah dalam bernyanyi keroncong ialah bentuk kemerdekaan yang Midah harus rasakan. Keroncong dimaknai sebagai musik kotor, seks bebas, juga kenegatifan lainnya. Dengan membatasi Midah bernyanyi keroncong, Midah bisa merdeka atau bebas dari pergaulan buruk dengan para lelaki yang juga menggeluti musik yang sama.

Tindakan membatasi justru dikatakan baik karena individu tidak akan menerima yang buruk, hanya terlihat dalam persepsi si pembuat perbatasan. Orang-orang yang dibatasi tak sempat berpikir. Mereka keburu menyetujui persesi itu ketika belum sempat memikirkannya. Atau mungkin diam karena pembatasan dibarengi dengan kekuatan. Begitupun yang diperlihatkan dalam film. Para perempuan di rumah bordil akan merdeka dari sifilis, laki-laki pemburu seks,  dan keburukan lainnya. Mereka akan terbebas jika menuruti perintah untuk minggat dari sana. Pembatasan termaknai kemerdekaan untuk perempuan.

Kita mendapati kisah-kisah membatasi diperuntukkan kepada perempuan. Tindakan membatasi bisa muncul dalam balutan otoritatif peraturan negara, norma, persepsi ayah, juga bahkan di benak seorang kekasih. Persepsi ini coba diruntuhkan oleh Begum Jaan. Ia menolak cara pandang yang menyiratkan mengenai pembatasan merupakan kemerdekaan untuk perempuan. Begum justru berpikir bahwa pembebasan itu ialah hal yang dibatasi.

Kesia-siaan Perlawanan

Kita kembali melihat adegan di film Begum Jaan. Penyangkalan dan perlawanan terhadap sikap yang ingin membatasi tindakan selalu di hadirkan. Konflik dipicu saat Radcliffe Line atau garis pembatas buatan Radcliffe memotong rumah bordil Begum Jaan. Garis tak ingin kompromi dengan rumah bordil, begitu pun sebaliknya.

Di film, perlawanan bukan berarti kesejahteraan. Ia mencoba menghadirkan realitas yang menyedihkan. Perlawanan itu sedih, sengsara, malang, suram, nelangsa bagi perempuan. Sejak perempuan mengatakan kalimat perlawanan, sejak itu pula ia akan menerima air mata dan luka. Ini ditegaskan ketika Begum Jaan menolak perintah dari instruksi otoritatif ketika itu. Perintah untuk mengosongkan rumah bordil miliknya. Saat itu pula ia menerima kesedihan. Kesedihan berbentuk kiriman daging oleh penduduk, yang berasal dari anjing peliharaan milik Begum.

Nasib sama juga dirasakan Midah. Perlawanan atas perintah Bapak yang menolak Midah untuk bergabung ke dalam orkes keroncong. Ia justru menemui kemalangan sebab disetubuhi oleh kawan satu orkes. Perlawanan itu juga berarti sia-sia terharap perempuan. Film dan Midah memperlihatkan bahwa realitas tak ramah terhadap perempuan. Bukan hanya tidak ramah, namun juga membikin sengsara.

Kebebasan dalam realitas justru miris bagi perempuan. Kita kembali melihat film. Begum, Amba, Rani, Rubina, dan Lata terbebas dari pembatasan ketika ruh dan raga berpisah. Kebebasan tidak ada pada kata “hidup”. Sampai saat ini, kebebasan masih melekat pada kata “mati” bagi perempuan. Realitas tak kunjung membaik. Juga saat kata “kemerdekaan” talah hadir bagi India dan Pakistan. Justru, kata “penjajahan” terus tertancap pada perempuan.

Penulis: Nu’man Nafis Ridho

Digiqole ad