Mengenal Mekanisme Nasional Pemajuan Perempuan
Oleh: Rena Herdiyani
Salah satu isu yang menjadi perhatian Komite Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) adalah mekanisme nasional pemajuan perempuan. Pemerintah Indonesia sebagai Negara Pihak dalam CEDAW telah menyampaikan laporan periodik ke-8 kepada Komite CEDAW pada 2019. Isu ini ditanggapi Komite CEDAW dalam list of issues pada 2020 dan telah direspons oleh pemerintah Indonesia pada 2021.
Baca Juga: GPPI: Konsultasi CEDAW Review 37 Tahun Pasca Ratifikasi
Landasan Pembentukan
Berdasarkan penelusuran, isu mekanisme nasional pemajuan perempuan diketahui sudah menjadi perhatian dunia sejak 1975, empat tahun sebelum penetapan CEDAW. Konferensi perempuan pertama PBB pada 1975 di Kota Meksiko mencatat rencana aksi dunia yang menegaskan pentingnya pembentukan mekanisme pemerintah untuk pemajuan perempuan. Hal ini kembali ditegaskan dalam Konferensi PBB di Nairobi 1985 bertajuk “The Nairobi Conference on Forward Looking Strategies for the Advancement of Women.”
Konferensi Nairobi memandatkan agar mekanisme pemerintah yang memadai untuk pemantauan dan pemajuan kedudukan perempuan harus dibentuk jika belum tersedia. Agar efektif, mekanisme tersebut perlu dibentuk di tingkatan pemerintahan yang tertinggi. Selain itu, mekanisme tersebut harus memiliki sumber daya yang memadai, komitmen, dan otoritas untuk memberikan saran mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap perempuan.
Mekanisme tersebut juga harus memainkan peran yang penting dalam peningkatan kedudukan perempuan. Antara lain, melalui aksi kolaborasi dengan beragam kementerian dan lembaga pemerintahan serta dengan organisasi masyarakat sipil dan kelompok perempuan adat.
Pada 1995, The Beijing Platform for Action of the fourth World Conference on Women mengintegrasikan mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan sebagai satu di antara 12 isu kritis. Platform Aksi Beijing ini menegaskan bahwa terkait isu mekanisme pemajuan perempuan, pemerintah dan berbagai pihak harus mempromosikan kebijakan yang terukur dalam pengarusutamaan perspektif gender dalam setiap kebijakan dan program. Dengan demikian, sebelum proses pengambilan keputusan, terlebih dahulu harus dilakukan analisis dampak kebijakan terhadap perempuan dan laki-laki.
Adapun tujuan strategis pembentukan mekanisme nasional pemajuan perempuan ditetapkan sebagai berikut:
- Membentuk atau menguatkan mekanisme nasional atau badan pemerintahan lainnya.
- Mengintegrasikan perspektif gender dalam legislasi, kebijakan publik, program dan kegiatan.
- Membangun dan mendiseminasikan data dan informasi terpilah gender untuk perencanaan dan evaluasi pembangunan.
Selain itu, terdapat Rekomendasi Umum Komite CEDAW Nomor 6 Tahun 1988 tentang Effective National Machinery and Publicity. Dalam rekomendasi umum ini, Komite CEDAW merekomendasikan Negara Pihak untuk membentuk dan/atau memperkuat mekanisme nasional yang efektif, baik dari sisi kelembagaan maupun prosedural, di tingkatan tertinggi pemerintahan. Mekanisme nasional ini harus dilengkapi dengan sumber daya, komitmen, dan otoritas yang memadai untuk melaksanaan tugas.
Adapun tugas mekanisme nasional meliputi antara lain: pemberian saran atas dampak kebijakan pemerintah terhadap perempuan, pemantauan situasi perempuan secara menyeluruh, dan membantu pembentukan kebijakan baru dan menghadirkan strategi dan pendekatan yang efektif untuk menghapuskan diskriminasi.
Baca Juga: Problematika dan Pemberdayaan Perempuan dalam Masyarakat
Selain itu, Komite CEDAW menetapkan lima syarat dasar agar mekanisme nasional pemajuan perempuan berfungsi dengan kuat dan efektif. Yaitu, status dan posisi dalam hierarki struktur pemerintahan, ruang lingkup mandat dan fungsi, dasar hukum, sumber daya manusia dan dana. Demikian pula legitimasi politik, kekuasaan/kekuatan, visibilitas dan kewenangan di tingkat pusat dan daerah baik di tataran lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.
Perkembangan Indonesia
Dalam Concluding Comments Komite CEDAW 2007, perkembangan di Indonesia mendapatkan sambutan dari Komite CEDAW. Komite CEDAW menyatakan menyambut upaya-upaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam melakukan koordinasi, mendukung, memantau dan mendorong kesetaraan perempuan dan pengarusutamaan gender di semua tingkat pemerintahan. Namun demikian, Komite juga menyatakan keprihatinan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan kurang dikenal di masyarakat, kurang kewenangan dalam pengambilan keputusan atau kurang memiliki sumber daya manusia dan sumber dana untuk dapat secara efektif memajukan perempuan dan kesetaraan gender di seluruh bidang dan sektor Pemerintahan baik di tingkat nasional maupun daerah.
Oleh karena itu, Komite CEDAW memberikan rekomendasi kepada negara Indonesia untuk memperkuat mekanisme nasional, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dengan memberikan kepadanya wewenang yang diperlukan dan sumber daya manusia dan sumber dana yang mencukupi untuk meningkatkan efektivitas dalam menjalankan mandatnya di semua tingkatan. Komite selanjutnya mendesak negara untuk memperluas mandat dan wewenang Kementerian Pemberdayaan Perempuan sehingga dapat mengambil peran perencanaan dan penyusunan program secara lebih aktif. Komite juga mendesak negara untuk melakukan langkah-tindak kongkret guna memastikan agar mekanisme kesetaraan gender di semua tingkatan mendapat pendanaan penuh sehingga dapat menjalankan mandat masing-masing.
Selanjutnya dalam Concluding Observations Komite CEDAW 2012, Komite kembali menyatakan keprihatinan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sangat kekurangan sumber daya dan tidak memiliki pengaruh yang cukup. Komite juga menyoroti Negara Pihak yang tidak memiliki kebijakan nasional tentang gender. Selaini itu, Komite juga prihatin mengenai lambatnya disetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kesetaraan Gender dan dalam memastikan bahwa RUU Kesetaraan Gender ini akan secara penuh sesuai dengan pelaksanakan kewajiban Negara Pihak berdasarkan Konvensi.
Baca Juga: Mempercepat Pembangunan Kesetaraan Gender di Indonesia
Oleh karena itu, Komite merekomendasikan agar Negara Pihak:
- Meningkatkan kesadaran para pengambil keputusan tentang pemberdayaan perempuan sebagai suatu cara untuk memajukan demokrasi, nondiskriminasi, dan kesetaraan gender.
- Memperkuat mekanisme nasional untuk pemajuan perempuan di tingkat nasional, daerah dan lokal, dan untuk itu menyediakan sumber daya manusia, kemampuan teknis dan finansial yang dibutuhkan agar mekanisme tersebut berfungsi secara efektif dan menjamin bahwa kegiatan-kegiatannya didukung secara penuh oleh kekuasaan politik di semua tingkatan pelaksanaannya.
- Mempertimbangkan untuk mengembangkan suatu kebijakan gender nasional.
- Menyediakan sumber daya yang memadai untuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
- Menyetujui, tanpa penundaan, UU tentang Kesetaraan Gender dan memastikan bahwa Undang-Undang ini sesuai dan dilaksanakan secara penuh sebagai kewajiban Negara Pihak berdasar Konvensi.
Adapun dalam List of Issues Komite CEDAW pada 2020, Komite CEDAW mencatat adanya kemajuan di mana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah memperoleh peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan anggaran antara 2014 sampai 2018. Sumber daya ini selain digunakan untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan, juga diperuntukkan bagi upaya perlindungan anak.
Oleh karena itu, Komite meminta penjelasan lebih lanjut, di antaranya penyediaan informasi spesifik mengenai sumber daya manusia, teknis, dan keuangan di tingkat nasional, regional, dan lokal untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, Komite juga menanyakan kemungkinan pembentukan badan pemerintah yang permanen yang bertanggungjawab secara khusus terhadap pemajuan hak perempuan, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan. Komite juga meminta informasi atas perkembangan kebijakan nasional yang responsif gender.
Persoalan
Berdasarkan perkembangan situasi di Indonesia, CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) mencatat sejumlah persoalan yang dihadapi mekanisme nasional pemajuan perempuan di Indonesia. Antara lain, keterbatasan perspektif gender di kalangan aparatur pemerintahan baik di kementerian/lembaga maupun di lembaga legislatif pusat dan daerah.
Selain itu, pembentukan UU yang responsif gender mendapat tantangan adanya pengaruh interpretasi agama yang bias gender dari pembentuk legislasi, padahal penguatan kewenangan KPPPA untuk pengarusutamaan gender lintas kementerian/lembaga perlu dilakukan melalui UU. Sementara di tingkat daerah, kapasitas dan anggaran dinas yang menangani urusan pemberdayaan perempuan masih terbatas. Dalam hal ini, termasuk kapasitas untuk melakukan Perencanaan Dan Penganggaran Yang Responsif Gender (PPRG). []
Wakil Ketua Kalyanamitra dan Anggota CEDAW Working Group Indonesia (CWGI)
*Tulisan dinarasikan berdasarkan paparan penulis dalam “Konsultasi CEDAW Seri I” membahas National Women’s Machineries diselenggarakan oleh Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) pada 16 Oktober 2021.