Tubuh Perempuan dan Pergulatannya dengan “Ketidakwajaran”

 Tubuh Perempuan dan Pergulatannya dengan “Ketidakwajaran”

ilustrasi: Jalastoria

Judul     : Pada Sebuah Kapal

Penulis  : Nh. Dini

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Kesebelas, Oktober 2019

Tebal      : 350 halaman

 

Pada Sebuah Kapal menggambarkan tubuh perempuan sebagai subjek yang aktif, bukan sebatas tubuh dengan daging dan tulang untuk ditonton, dinikmati, dan diperintah. Melainkan tubuh dengan pikiran dan kesadarannya akan kebebasan.

Sri, seorang penari, dan Michel Dubanton, seorang pelaut, keduanya tokoh sentral dalam novel ini. Novel ini dinarasikan menjadi dua bagian, bagian “Penari” yang menjadikan Sri sebagai sang narator, dan bagian “Pelaut” yang menjadikan Michel Dubanton sebagai naratornya. Nh. Dini seolah ingin menunjukkan makna tubuh dan perbedaan seksualitas antara laki-laki dan perempuan. Walau memang saya merasa saat Nh. Dini berbicara sebagai laki-laki melalui tokoh Dubanton, tidak sebaik saat Nh. Dini sebagai perempuan melalui tokoh Sri dalam hal “kekuatan” karakter.

Sri dan Dubanton dipertemukan dalam kapal yang berlayar dari Saigon ke Marseille. Mereka sama-sama hidup dalam rumah tangga yang tidak membahagiakan. Dua manusia yang menginginkan cinta dan kelembutan dalam rumah tangga yang diarunginya. Sri dalam hari-harinya kerap mendapat perintah dan kata-kata kasar dari suaminya Charles. Charles memandang Sri sebagai sosok pesaingnya, sehingga kalimat-kalimat apresiasi tidak bisa terlontar dari mulut Charles,  sekalipun saat Sri menari dengan indah, dan itu diakui banyak orang.

Sama halnya dengan ketidakbahagiaan rumah tangga Sri, Dubanton pun mengalami hal serupa. Istri Dubanton, Nicole, disebut Dubanton cerewet dan kekanak-kanakan. Yang membedakan keduanya adalah pemaknaan seksualitas bagi masing-masing mereka. Ketidakbahagiaan Dubanton membuat ia menjadi liar, ia juga lebih menyukai menjadi komandan kapal yang berlayar berbulan yang baru dikenalnya di kapal. Berbeda dengan Sri, awalnya ia dihadapkan dengan keputusan yang sulit. Di satu sisi, ada perasaan untuk terus setia dengan suaminya walau dalam ketidakbahagiaan, di sisi lain separuh dirinya menghendaki kelembutan yang diharapkannya selama ini.

Kebimbangannya berakar dari apa yang diyakini Sri selama ini. Ia berujar, “Selama dua puluh empat tahun aku dijejali pemikiran bahwa seorang istri adalah bayangan suaminya. Bahwa suami adalah ratu dan wakil Tuhan yang harus dianut dan diikuti segala perintahnya. Aku telah mengharapkan menjadi seorang istri yang seperti itu” (halaman 130).  Di sini, digambarkan adanya pemikiran perempuan dianggap kanca wingking atau teman yang berada di belakang laki-laki. Keduanya tidak berada dalam posisi yang setara.

Sri dipaksa untuk tidak mengungkapkan apa yang dikehendakinya, perintah suami dilahapnya sehari-hari tanpa bantahan. Namun suatu hari, ia membebaskan dari tirani yang mengekangnya itu dengan penuh keraguan, seolah-olah tubuhnya terbagi menjadi dua. Yang sebagian menghendaki Dubanton dengan sangat kuat, yang lainnya ingin tetap setia dengan laki-laki kasar yang dinikahinya. Kebimbangan itu menyiratkan perempuan dilarang mengungkapkan seksualitasnya secara terbuka. Tidak seperti laki-laki yang bisa dengan bebas membicarakan dan menampilkan sesuatu yang dikehendakinya, ada stereotip yang membekukan kemanusiaan perempuan. Jangankan membicarakan kehendak seksualnya, saat membicarakan tubuhnya saja perasaan malu-malu segera menjalar karena dianggapnya tidak biasa. Apalagi membicarakan seksualitasnya, bisa-bisa dianggap sebagai perempuan jalang. Bukannya mendukung Sri untuk berhubungan secara bebas, namun yang patut kita soroti lebih pada ketimpangan yang terjadi di antara dua jenis kelamin.

Dari narasi Dubanton di bagian “Pelaut” ia bilang telah berhubungan dengan beberapa perempuan, tanpa rasa penuh keraguan seperti yang dialamami Sri. Ihwal seksualitas yang menjadi bagian penting dalam kemanusiaan perempuan dianggap “tidak wajar” saat dibicarakan, itu dianggap harus ditutupi serapat-rapatnya.

Seperti yang Aquarini Priyatna dalam buku Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop (2006) tulis, “Dan seksualitas saya, termasuk kehadiran atau ketidakhadiran hasrat serta heteroseksualitas saya adalah bagian penting dari Diri saya, atau juga monstrositas saya bukan semata-mata periferal terhadap seksualitas laki-laki melainkan bagian dari “kenormalan” saya” (halaman 87-88). Selanjutnya, Aquarini mengutip perkataan Simone de Beauvoir, menghilangkan femininitas (termasuk di dalamnya, seksualitas) perempuan berarti menghilangkan sebagian dari kemanusiaan perempuan.

Yang patut lebih dikagumi dari novel ini adalah tahun kelahirannya. Pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1972,  novel garapan Nh. Dini ini bisa dibilang sangat berani.  Salah satu agenda Orde Baru saat itu adalah membatasi ruang gerak perempuan untuk membawa isunya ke ranah publik. Di masa itu, objektivikasi perempuan sangat terasa sekali di beberapa ranah.

Objektivikasi perempuan yang kuat di tahun 70-an dibuktikan dengan banyaknya bermunculan film-film dengan judul yang merendahkan perempuan. Misalnya saja film Gadis Panggilan (1975), Tante Girang (1974), Inem Pelayan Seksi (1976), dan lain-lain. Judul-judul film amat mengeksploitasi tubuh perempuan, perempuan dalam judul film tersebut digambarkan dengan istilah yang tidak terhormat. Di masa seperti itulah Pada Sebuah Kapal hadir yang konon dianggap sebagai karya terbaik Nh. Dini lahir.

Saya tertarik dengan ungkapan Sapardi Djoko Damono yang ditulis di bagian belakang buku, katanya, “Dini telah menggoyang-goyangkan perahu yang berlayar dengan tenang, yang selama ini kita naiki.” Nh. Dini berusaha membuat kita kembali menghayati sesuatu yang selama ini kita anggap “normal”, bahwa pada kenyataannya, di bawahnya banyak sekali ketidakwajaran.  Dalam masa tubuh perempuan dihinakan berbagai macam rupa itu, alangkah hebatnya Nh. Dini memunculkan Sri. Sri, perempuan Jawa yang tumbuh dengan nilai-nilai tradisi yang menomorduakan perempuan, kemudian melewati sekat-sekat opresi itu. Ia secara tidak langsung menggambarkan dirinya sebagai subjek aktif yang menyadari kebebasannya sebagai manusia.

Aufa Hanifah,

Mahasiswa Sosiologi UNJ yang kadang-kadang menulis.

Digiqole ad