Kontrasepsi Bukan Urusan Perempuan Saja

 Kontrasepsi Bukan Urusan Perempuan Saja

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Seorang ibu dua anak bercerita tentang pengalamannya menggunakan alat kontrasepsi. Sebut saja namanya Yunita. Selesai masa ASI eksklusif anak keduanya, Yunita memilih menggunakan suntik KB sebagai cara untuk mencegah kehamilan. Selama kurang lebih tiga tahun, dia lalu menghentikan menggunakannya.

“Aku berhenti KB suntik karena badan aku kok tambah gede. Terus di muka itu tambah banyak bintik-bintik hitam,” katanya.

Sejak saat itu Yunita bersama suaminya memilih menggunakan kontrasepsi secara kombinasi; alami dan penghalang/kondom.

Ini bukan kali pertama Yunita menggunakan kontrasepsi. Sebelum anak keduanya lahir, dia sudah lebih dulu mencegah kehamilan secara manual. Kepada suaminya dia bangun komunikasi. Menyatakan keinginannya untuk memiliki anak kedua setelah 4 tahun bayi pertamanya lahir.

“Tapi aku engga mau KB, terus suamiku yang inisiatif bilang ya udah nanti pas mau ke luar aku pakai kondom. Dia juga yang beli kondomnya,” terang Yunita.

Baca Juga: Pemaksaan Sterilisasi dan Kontrasepsi Melanggar UU TPKS

Pengalaman lain datang dari Margaretha. Sejak serius mau menikah, jumlah anak menjadi kesepakatan bersama antara Margaretha dan suami.

“Waktu udah ada anak pertama itu suami sempat pakai pengaman. Terus udah ada anak kedua maka aku yang KB karena pakai kondom itu menurutku juga masih riskan kalau buat kami,” terang Margaretha.

Kini Margaretha dan suami telah memiliki 3 orang anak. Sama seperti jumlah yang dikehendaki keduanya. Lantas, bagaimana cara Margaretha dan pasangan mencegah kehamilan berikutnya?

“Setelah anak ketiga lahir, rencana pasang KB tapi malas karena prosesnya lalu suamiku bilang kalau dia bersedia untuk KB. Tapi aku ga tega dan akhirnya pakai IUD,” kata Margaretha.

Margaretha memilih menggunakan IUD karena lebih banyak nilai plusnya. Menurut Margaretha, dengan IUD haid teratur seperti biasa, tidak mengganggu hormon. Jika ada kendala IUD bisa lepas sewaktu-waktu dan kontrol dilakukan sekali setahun bila terdapat masalah.

“Minusnya haid lebih banyak dan deg-degan kalau pas lepas pasang,” ucap Margaretha.

Dalam hal memilih alat kontrasepsi, keduanya punya jawaban serupa. Yunita dan Margaretha memilih alat kontrasepsinya sendiri setelah menerima informasi dari bidan atau dokter.

Baca Juga: Ngobrolin Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Yunita dan Margaretha beruntung memiliki pasangan yang mau terlibat dalam mencegah kehamilan. Ini berbeda dengan yang dialami Septi. Suami Septi tidak peduli apakah istrinya menggunakan kontrasepsi atau tidak. Bagi suami Septi, yang terpenting adalah saat dia ingin berhubungan seksual istrinya ada.

Mengetahui itu, Septi memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi. Septi pernah memberitahu suami tentang kontrasepsi yang dia gunakan. Tapi tetap saja suami seolah tak mau tahu jenis kontrasepsi apa yang digunakan istrinya dan bagaimana prosesnya. Bahkan untuk pengecekan rutin tentang kontrasepsinya pun suami Septi tak pernah mendampingi. Kalau sudah begini, pertanyaan lalu muncul, apakah kontrasepsi hanya jadi urusan perempuan? Yunita dan Margaretha punya jawabannya.

Alhamdulillah suami saya terlibat dalam segala hal, urusan KB misalnya, jadi obrolan bersama tapi keputusan kembali ke aku. Kalau menurut aku baik, lanjut. Tapi kalau menurut aku engga baik dan aku berhenti, suamiku manggut,” terang Yunita.

“Kontrasepsi itu urusan suami istri karena dilakukan berdua dan konsekuensi ditanggung berdua. Jadi, ya harus kompak dan sepakat antara suami dan istri,” ungkap Margaretha mengakhiri obrolan. [Nur Azizah]

 

 

 

 

Digiqole ad