Pengalamanku di Organisasi Patriarkis Berkedok Progresif

 Pengalamanku di Organisasi Patriarkis Berkedok Progresif

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

Oleh: S.T

 

Beberapa tahun lalu, aku adalah seorang mahasiswa baru yang belum mengenal organisasi dan dunia aktivisme. Tak tahu apa itu politik kiri di Indonesia, ataupun politik sayap kanan, sampai suatu ketika, aku penasaran dan berusaha menelusurinya.

Pada suatu waktu, ada aksi di ibukota yang menarik perhatianku. Aku datang sebagai bagian dari massa aksi. Di sana, aku mendengarkan berbagai orasi.

Aku kagum dengan apa yang kulihat dan kudengar dari para orator, yang sebagiannya ternyata merupakan ketua dan anggota organisasi X. Mereka memiliki pandangan yang kupikir, sangat mewakiliku. Hal yang tak bisa ku ucapkan pada saat itu, dapat mereka ungkapkan dengan epik. Mereka berbicara  soal kemanusiaan dan dunia yang berpihak pada perempuan. Yaitu dunia yang setara tanpa kekerasan dan diskriminasi gender.

Aku merasa, mereka adalah teman-teman berjuangku.

Dengan berbagai pertimbangan yang cenderung positif, aku memutuskan untuk bergabung ke dalam organisasi progresif itu, yang sampai kini masih bisa kutemui acap kali ada demonstrasi di ibukota.

 

Dinamika Berorganisasi

Saat baru bergabung dalam organisasi tersebut, mereka menyebutku bunga revolusi. Tidak hanya aku, melainkan pada kawan-kawan perempuan lainnya yang juga bergabung. Sebutan yang membuatku sedikit menyerngitkan dahi.

Belakangan, seiring aku belajar soal teori gender dan feminisme, aku menyadari bahwa sebutan ini membuatku tidak nyaman. Menurutku, penyebutan itu termasuk dalam objektifikasi perempuan.

Di masa-masa awal bergabung, sebenarnya aku merasa organisasi ini cukup maskulin. Terutama dilihat dari komposisi anggota yang lebih banyak laki-laki. Sehingga pandangan organisasi selama ini sarat dengan perspektif, kebutuhan, serta kepentingan laki-laki.

Namun aku tetap memilih bertahan dengan harapan mampu mengisi kekurangan, serta membawa perubahan dalam organisasi. Sayangnya, semakin lama, harapanku semakin pupus.

Dalam organisasi X ini, perempuan kerap kali tidak diperhitungkan suaranya dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Suara perempuan kerap kali hanya dijadikan opsi semata tanpa diakomodasi, sedangkan suara laki-laki selalu diutamakan.

Sebenarnya aku sudah pernah mencoba untuk membuka ruang diskusi mengenai kesetaraan gender dan kekerasan seksual. Beberapa kali aku coba masukkan muatan gender ke dalam materi saat ada pendidikan dasar, atau saat ada agenda aksi mengenai isu perempuan. Namun tidak berjalan lancar pula karena isu perempuan tidak dianggap sebagai isu prioritas.

 

Isu Kekerasan Seksual dalam Organisasi

Tantangan terberat dalam menyuarakan isu perempuan dalam organisasi adalah hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Dalam pengelolaan isu kekerasan seksual, hanya perempuan yang disuruh untuk mengurusnya. Sedangkan anggota laki-laki seperti abai dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi.

Konteksnya, mereka tidak memaknai ini sebagai pembelajaran bersama dan pembagian tugas yang setara, melainkan pelimpahan tanggungjawab kepada gender tertentu saja, tanpa mewajibkan anggota lain mempelajari pula soal isu kekerasan seksual dan pentingnya memiliki perspektif korban.

Sikap abai dan tidak sensitif isu kekerasan seksual ini dinormalisasikan dan dilanggengkan oleh mereka. Hal ini membuatku muak dan marah dengan keadaan organisasi. Mereka tidak benar-benar belajar soal kekerasan seksual, relasi kuasa gender dan perspektif korban.

Baca Juga: Kenapa Harus Dipakai Dulu

Hal ini terlihat jelas dari kasus yang coba kudampingi bersama kawan perempuanku, M. Posisinya, korban melapor bahwa pelaku merupakan salah satu anggota organisasi X. Namun sikap organisasi hanya sibuk membersihkan nama organisasi dari isu tersebut. Permasalahannya, cara mereka menjaga nama baik organisasi bukan dengan mengakomodasi kepentingan korban, melainkan dengan meminggirkan isu kekerasan seksual dan membungkam korban secara otoriter.

Mereka menaruh stigma pada korban, mengintimidasi korban, dan merasa tidak pantas apabila korban mengaitkan anggota organisasi (pelaku kekerasan seksual tersebut) dengan organisasinya. Menurut mereka, kekerasan seksual yang dilakukan anggotanya adalah permasalahan personal, bukan permasalahan bersama di organisasi. Bukan permasalahan struktural dan sistemik.

Tak hanya kepada korban, stigma pun ditujukan padaku dan kawanku, M. Kami dicap sebagai anarko yang membangkang terhadap organisasi, serta dikeluarkan dari organisasi tanpa surat peringatan apapun. Lucunya, banyak anggota organisasi X yang juga tidak tahu kenapa aku dikeluarkan sepihak.

Melalui isu kekerasan seksual ini, akhirnya aku bisa melihat wajah mereka yang sebenarnya. Tidak ada keberpihakan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, yang ada hanyalah organisasi patriarkis berkedok progresif.

 

Organisasi yang Inklusif

Berada di organisasi patriarkis itu memberikanku pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam memilih lingkar perkawanan. Hal yang kuharapkan tidak terjadi kepada perempuan lain pula; masuk dalam organisasi patriarkis yang berkedok progresif. Eksistensi perempuan hanya sebatas pemenuh kuota dan hiasan organisasi. Tidak benar-benar diakomodasi suaranya.

Sementara itu, aku masih percaya dengan kekuatan gerakan sosial, termasuk organisasi. Aku berharap, organisasi yang ada berjalan ke arah yang lebih inklusif dan sensitif gender. Memposisikan perempuan setara dengan laki-laki, pro korban kekerasan, menjadi ruang aman bagi anggota, serta menindak tegas pelaku kekerasan. Tentunya, tidak sebatas verbal dan tulisan, melainkan dicerminkan lewat keseharian berorganisasinya.

Pada akhirnya pun, aku memasuki sebuah kolektif dimana aku bisa menemukan ruang mengenai kesetaraan gender. Hingga saat ini, aku terus mengupayakan pengarusutamaan gender di ruang-ruang yang kudatangi.

 

 

*Sebagaimana yang diceritakan penyintas (23/8/21), identitas penyintas ada pada redaksi.

Digiqole ad