Ubah Strategi Pendidikan Kespro bagi Disabilitas Tuli

 Ubah Strategi Pendidikan Kespro bagi Disabilitas Tuli

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Ada yang berbeda dalam workshop kolaborasi Komunitas Dokter Tanpa Stigma dengan Komunitas Sehatara. Seorang narasumber berbicara dengan nada terjeda sekitar 2-4 detik dalam setiap kalimatnya.

“Nama saya Eva. E v a. Nama panggilan saya seperti ini. Saya ada dalam kelompok tim Sehatara. Saya adalah disabilitas tuli asal Jakarta.” Demikian Eva Ariyani.

Eva lalu menuturkan di mana dia mendapat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi.

“Dulu, saya sudah belajar dari sekolah tentang reproduksi,” kata Eva.

Di bangku sekolah, Eva belajar tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mengenal pertumbuhan atau perkembangan tubuh menurut usia mulai dari bayi, balita, remaja, hingga dewasa. Di sana Eva juga diperkenalkan dengan HIV AIDS, menstruasi, mimpi basah, serta tentang kesehatan bayi. Tapi, masih ada yang belum Eva dapatkan saat bersekolah dulu.

“Dulu guru belum ajar tentang kekerasan seksual, belum ada. Tapi tidak apa-apa,” katanya dengan nada yang terdengar gemetar.

Baca Juga: FeminisThemis: Komunitas Tuli yang Memperjuangkan Kesetaraan Gender

Hingga pada 28-31 Maret 2022 Eva mendapat undangan acara perempuan tuli nasional yang diselenggarakan oleh Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin). Ini bukan kali pertama Eva mengikuti acara seputar isu perempuan.

“Biasanya bulan Maret ada festival hari perempuan internasional tanggal 8 Maret. Itu saya ikut acara itu. Ada presentasi beberapa menurut saya lumayan bagus dan lengkap,” katanya.

Salah satu tema yang mengesankan bagi Eva adalah paparan materi narasumber bernama Lovenia. Dalam materinya Lovenia menerangkan tentang aku dan tubuhku. Isi materinya tentang hak kesehatan seksual, tubuh perempuan berbeda, menstruasi lengkap dengan tata cara membersihkan vagina. Termasuk tentang penyakit pada payudara dan tips merawat kesehatannya.

“Itu menurut saya jelas kemarin. Saya mengikuti acara itu dan semakin paham,” aku Eva dalam sebuah workshop “Menjadi Edukator Kespro untuk Teman Tuli pada 28 Juli 2022.

Pengetahuan Eva tentang kesehatan reproduksi bisa jadi telah melampaui temen-temannya yang lain. Kendati begitu, ada yang menurut Eva masih kurang.

“Hmm.. Menurut aku yang masih kurang atau yang masih tidak tahu tentang suntik KB, terus kanker serviks, HPV (human papillomavirus), suntik imun anak, juga cara mencegah kekerasan seksual, berani lapor bila terjadi kasus kekerasan atau pelecehan seksual, bagaimana caranya?” ungkap Eva.

Akses Pengetahuan Kespro Terbatas

Setiap penyandang disabilitas memiliki kebutuhan khas. Bagi penyandang disabilitas tuli, misalnya, ada ragam cara yang bisa digunakan untuk memudahkan mereka mengakses informasi, termasuk tentang kesehatan reproduksi.  Ini menjadi salah satu harapan Eva.

Baca Juga: 5 Tantangan Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual

“Harapan saya. Hmmm.. Apa ya? Sadar. Jadilah kesadaran akses perkembangan belajar kesehatan reproduksi itu berkembang sehingga semakin paham. Kemudian juga akses (agar) isinya lebih jelas. Misalnya menggunakan gambar, tulisan, bicara, itu sesuai dengan juru bahasa isyarat,” ungkap Eva.

Tapi, menurut Eva, keberadaan juru bahasa isyarat perlu diimbangi dengan tempo bicara para pemateri. Sebab jika tidak sesuai, informasinya akan menjadi tidak lengkap. Adakah cara lain?

“Atau mungkin bisa juga ditambahkan juru ketik dalam bahasa Indonesia. Apa sebab? Mungkin tergantung teman-teman tuli. Ada teman-teman tuli yang belum tahu bahasa isyarat atau bahasa isyaratnya variasi, bisa dibantu dengan adanya tulisan seperti di acara seperti ini ada juru ketik,” terang Eva.

Tips Menjadi Edukator Teman Tuli

Di acara itu Eva membagikan tips kepada semua yang hadir tentang bagaimana cara yang mudah dipahami oleh teman tuli. Ada dua cara yang bisa menjadi panduan.

“Dulu, di sekolah bahasa isyarat itu belum ada, belum pakai. Semuanya guru masih berbicara pelan-pelan dan secara jelas. Lebar-lebar,” terang Eva.

Lalu, apa tips yang kedua? Masih dengan nada terjeda, Eva menjelaskan.

“Memberi materi gambar kesehatan reproduksi. Contohnya pertumbuhan janin di dalam kandungan. Bayi masih kecil, kalau usianya masih 0 bulan, 1 bulan, sampai perkembangannya di usia 9 bulan. Itu visual gambarnya jelas dan juga ada tulisan. Tulisannya singkat, visualnya jelas,” ungkap Eva.

Baca Juga: Kolaborasi Mendukung Peserta Tuli untuk Berdiskusi

Tips yang dibagikan Eva bukan berarti pengajar tidak memberikan penjelasan loh ya. Teman tuli juga memerlukan penjelasan atas informasi yang disampaikan.

“Supaya teman-teman tuli bisa paham, penjelasannya jangan yang panjang-panjang. Singkat saja, tapi visualnya yang jelas. Kemampuan bahasa indonesia teman-teman tuli variatif juga sehingga harus didukung dengan gambar-gambar yang jelas,” kata Eva.

***

Penyandang disabilitas merupakan kelompok rentan yang seringkali luput dalam pemenuhan layanan kesehatan reproduksi. Hal ini tentunya dapat diatasi jika saja pemerintah, petugas layanan, maupun keluarga memahami aksesibilitas yang dibutuhkan, termasuk pada disabilitas tuli. [Nur Azizah]

Digiqole ad