Perempuan yang Bertaruh Nyawa Demi Korban Kekerasan

 Perempuan yang Bertaruh Nyawa Demi Korban Kekerasan

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Mendengar pengalaman perempuan pembela hak asasi manusia (PPHAM) membuat air muka saya berubah tegang. Menyimak penuturan mereka dalam mendampingi perempuan korban kekerasan menyulut rasa kagum saya kepada tiga perempuan yang sore itu hadir di ruang digital.

Tiga perempuan ini punya kisah yang khas, sesuai dengan wilayah pendampingan masing-masing. Ragam tantangan yang muncul bahkan tak menghentikan tekad mereka untuk terus mendampingi perempuan korban kekerasan.

Dari ketiganya saya jadi tahu betapa derita korban adalah lara sesama perempuan. Dari ketiganya saya jadi paham betapa self care bagi mereka adalah kebutuhan.

PPHAM Jombang Punya Cerita

Kisah pertama datang dari PPHAM Jombang, Jawa Timur. Kabupaten Jombang yang merupakan kota pesantren tercatat memiliki 150 lebih pesantren. Lima di antaranya adalah pondok pesantren besar yang salah satunya merupakan pondok pesantren pelaku kekerasan seksual. Kekhasan ini justru menjadi tantangan bagi PPHAM, berhadapan dengan sistem yang menjunjung tinggi norma keagamaan namun jauh dari dukungan terhadap korban dengan berlindung di balik nama baik institusi. Problematika ini tak jarang memicu intimidasi kepada PPHAM agar menghentikan proses advokasi.

Intervensi langsung bahkan dialami PPHAM. Agar PPHAM tidak mengartikulasikan persoalan penanganan kepada kawan-kawan jaringan, pun permasalahan struktural seperti menormalisasi perilaku kejahatan seksual. Ini ditandai dengan sambutan meriah oleh para simpatisan terhadap terdakwa yang menghalangi proses hukum tapi bebas dari penjara dan telah kembali ke kampung. Empat dari lima terdakwa itu disambut bak pahlawan. Acara sukuran digelar. Proses ceremony diselenggarakan. Ini menjadi catatan bahwa normalisasi perilaku kekerasan seksual masih berlanjut, termasuk di tingkat institusi.

Ancaman kepada PPHAM juga berasal dari ruang digital. Serangan ini kerap kali dialami PPHAM di Women Crisis Center di Jombang. Penyebaran foto dengan narasi sumpah serapah hingga hate speech, bahkan diserang sebagai perempuan perusak citra institusi. Serangan ini mengancam psikologis PPHAM dalam kerja-kerja layanan.

Baca Juga: Serangan KBGO Sasar Perempuan Pembela HAM

Di tengah tantangan dan ancaman, PPHAM di Jombang tak lantas berkecil hati. Bersiasat merilis emosi. Banyak cara yang dilakukan PPHAM Jombang dalam hal ini. Mulai dari menulis bersama hingga berdialog ringan dengan psikolog klinis, dan satu cara menarik lain yakni bernyanyi. Yang terakhir ini diyakini menjadi sarana rekreatif. Dilakukan bersama di kantor. Meski sesaat, namun menjadi kekuatan tersendiri bagi PPHAM di Jombang.

Situasi Keamanan Jadi Kedok Intimidasi PPHAM Jayapura

Di Jayapura, PPHAM punya tantangan berbeda. PPHAM yang merupakan warga pendatang sering menuai permasalahan tersendiri. Mencoba menjadi bagian dari masyarakat Jayapura namun terbentur situasi dan kondisi ras. Meski begitu, ini tak menciutkan nyali dan tekad PPHAM. Kepada sesama perempuan di sana, mereka tak henti mengingatkan tentang pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Rupanya ini menjadi ramuan yang cukup efektif untuk membangun kepercayaan para perempuan di sana.

Yang lebih berat lagi adalah kondisi geografis Papua yang sulit dijangkau. Upaya pendampingan terhadap korban kekerasan seringkali terlambat menjangkau daerah pegunungan. Butuh waktu berhari-hari untuk menemui korban. Butuh ongkos yang tidak murah untuk bisa menjumpai korban. Belum lagi sikap Polsek di Papua yang menolak laporan kekerasan terhadap perempuan, terlebih kekerasan seksual. Alur penanganan yang sebenarnya membawa korban dari Puskesmas menuju Polsek pun berubah. PPHAM harus menuruni pegunungan menuju Polres. Untuk proses ini butuh biaya tidak kurang dari satu juta rupiah.

Tantangan lain juga datang dari pelaku kekerasan terhadap perempuan. Pelaku dari kalangan pejabat seringkali memanfaatkan situasi keamanan di Papua sebagai intimidasi kepada PPHAM. Mengintervensi PPHAM agar mencabut proses hukum dengan dalih bahwa laporan tersebut membahayakan stabilitas di Papua. Ini terjadi pada kasus kekerasan terhadap empat korban di mana pelakunya adalah pejabat setempat. Di sini nyawa PPHAM terancam.

Menyadari hal ini, PPHAM di Jayapura membangun kepercayaan dengan warga di kampung tempatnya tinggal. Memperkenalkan pekerjaannya kepada mereka. Menceritakan kasus yang dalam dampingannya. Manakala PPHAM mengalami intimidasi, warga kampung itulah yang kemudian memasang mata mereka, melindungi PPHAM.

Baca Juga: Menjaga Estu dalam Hidup Perempuan Pembela HAM

Siasat menghadapi rasa takut pun disusun. Yakni membentuk koalisi selama proses pendampingan terhadap korban kekerasan. Sedangkan untuk mengatasi trauma, PPHAM di Jayapura lebih memilih untuk bercerita kepada keluarganya. Keluarga pula yang menguatkan kerja-kerjanya mendampingi dan menangani korban kekerasan. Satu yang jadi pesannya kepada sesama PPHAM di Jayapura untuk tidak menyebut tempat tinggal mereka demi keamanan selama melakukan kerja-kerja layanan.

Overload Beban Kasus Kekerasan PPHAM Semarang

Sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah, Semarang kini sangatlah ramai. Kota tujuan sekaligus transit bagi para pencari kerja baik dalam negeri maupun ke negeri seberang. Sebagai Kota Metropolitan,  Semarang juga memiliki sarana perhubungan yang lengkap seperti terminal, pelabuhan, bandara, dan stasiun.

Sebuah lembaga pengada layanan di Semarang mencatat sepanjang 6 tahun terakhir, 2016-2022, terdapat sekitar 1400an kasus kekerasan di Provinsi Jawa Tengah. Khusus di tahun 2022, terdapat 70-an kasus yang diadukan ke lembaga layanan. Di lembaga ini hanya terdapat satu pengacara, seorang konselor, dan 3 pendamping. Bisa dibayangkan, seorang pendamping menangani 20-23an kasus kekerasan terhadap perempuan.

Tantangan yang khas bagi pendamping sekaligus ibu yang memiliki balita adalah kebutuhan sarana prasarana laktasi yang sulit didapat. Dalam hal ini, tak jarang PPHAM harus menahan nyeri pada payudaranya lantaran kesulitan mencari ruangan untuk memompa ASI mereka.

Di lembaga pengada layanan ini, PPHAM pun tak luput dari ancaman. Mereka bahkan pernah dilaporkan dengan tuduhan penculikan terhadap korban. Telepon panggilan dari pihak kepolisian secara tidak langsung menguras psikis dan pikiran mereka dalam kerja-kerja layanan sebagai PPHAM.

Baca Juga: Selamat Hari Pelindungan Pembela HAM

Belum lagi ancaman dari pelaku kekerasan. Salah satu pendamping kasus KDRT bahkan pernah dikuntit hingga ke tempat kos oleh seorang laki-laki tak dikenal. Serangan di ruang digital  bahkan seringkali membuat PPHAM harus menutup sejumlah akun pribadi. Menghindari menampilkan foto pasangan dan anak menjadi salah satu cara agar semuanya aman dari ancaman.

Demi mengurai emosi dan trauma, PPHAM di Semarang punya cara melakukan self care. Meski dalam berjejaring tersedia rujukan psikolog bagi PPHAM, tapi mereka masih belum banyak mengakses layanan tersebut lantaran terganjal biaya. Mereka lebih memilih untuk mengurai trauma melalui ruang diskusi dengan rekan sesama pendamping. Saling mencurahkan isi hati juga emosi. Saling berbagi rasa senasib untuk saling menguatkan dan memberikan dukungan. [Nur Azizah]

 

Sumber:

Diolah dari Webinar “Perlindungan PPHAM sebagai Pemenuhan Hak Konsitusi Warga Negara,” Selasa (29/11/2022)

 

 

 

 

 

 

 

 

Digiqole ad