Survei: Dunia Kerja di Indonesia Rawan Kekerasan dan Pelecehan

 Survei: Dunia Kerja di Indonesia Rawan Kekerasan dan Pelecehan

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Di Indonesia kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja angkanya masih terbilang tinggi. Dalam “Diskusi dan Peluncuran Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia Tahun 2022,” pada Rabu, 28 September 2022, 70,93% atau 852 dari 1.173 responden pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Parahnya, 69,35% korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan. Survei Never Okay Project ini melibatkan 1.173 responden yang tersebar di semua pulau di Indonesia termasuk luar negeri.

Bekerja sama dengan kantor Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Never Okay Project memetakan pengalaman pekerja di Indonesia terkait kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Dengan menggunakan perspektif korban dan saksi dalam periode survei 2020-2022, Never Okay Project mengungkap lima temuan.

  1. Pekerja Dapat Mengidentifikasi Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Survei dilakukan dengan memberikan enam contoh kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Hasilnya, 89,51% responden pernah disentuh, dicium atau dipeluk tanpa persetujuan; 80,39% pernah mengalami perundungan/bullying. Kemudian 80,39% mendapat kedipan, gestur seksual; 79,37% mendapat makian, teriakan, dan olokan. Sementara 75,36% pernah mengalami dipukul, ditendang, ditampar dan 73,49% disebarkan rumor/gosip tidak benar secara daring.

Pengetahuan pekerja dalam mengenali kekerasan dan pelecehan menjadi hal positif yang dapat memutus upaya normalisasi.

“Ketika banyak yang bisa mengidentifikasi kekerasan dan pelecehan harapannya tidak akan banyak lagi insiden victim blaming atau menyalahkan korban karena seringkali ketika korban berbicara malah disalahkan. Dibilang baper, dibilang itu kayaknya bukan pelecehan dan kekerasan,” ungkap Imelda Riris, Project Lead Never Okay Project.

2. Semua Pekerja Bisa Kena Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Di sini Never Okay Project mengklasifikasi kerentanan berdasarkan tiga hal. Pertama identitas gender, yaitu 95,45% responden non biner/queer; 75,93% perempuan; 54,01% laki-laki. Kedua, kerentanan pada  pekerja dengan disabilitas, yakni, 86,21% dengan disabilitas pernah menjadi korban dan 70,54% pekerja tanpa disabilitas pernah menjadi korban.

Ketiga, berdasarkan karakteristik tempat kerja. Hasilnya, 74,21% responden pernah menjadi korban di tempat kerja yang didominasi laki-laki; 69,37% responden yang bekerja di tempat kerja yang jumlah perempuan dan laki-laki seimbang; dan 69,33% di tempat kerja yang mayoritas adalah perempuan.

Baca Juga: Masihkah Ada Ruang Aman Bagi Perempuan di Indonesia?

“Tempat kerja mayoritas pekerja laki-laki banyak ditemukan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Sehingga ada korelasi positif tentang representasi perempuan di dunia kerja dengan menurunnya kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Representasi perempuan di dunia kerja dapat menekan angka kekerasan dan pelecehan di dunia kerja,” kata Imelda.

Never Okay Project juga memetakan tempat kerja menjadi sektor swasta, publik, lainnya. Temuannya, hampir di semua sektor angkanya di atas 58%. Angka tertinggi ditemukan pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan (84,62%). Sedangkan temuan kekerasan dan pelecehan terendah terjadi di perusahaan berbasis digital, start up digital yaitu 58,06%.

“Kesimpulannya satu karena angka di industri yang paling sedikit aja kejadiannya 58,06% artinya semua bisa kena. Kebijakan di sektor apapun penting dan ini mengingatkan kita pentingnya Konvensi ILO 190 yang mencakup semua sektor kerja formal dan informal, di daerah urban atau rural,” terang Imelda.

3. Pengalaman Responden dari Segi Saksi

Melawan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja penting dilakukan karena prevalensi responden menjadi saksi lebih besar daripada menjadi korban. Yaitu 72,89% atau 85 orang yang pernah menyaksikan, mendengar, dan membaca perilaku pelecehan di dunia kerja.

“Ini mengingatkan pentingnya peraturan di level nasional dan perusahaan tentang bystander intervention bahwa semua orang bisa melakukan sesuatu, terutama jika kamu menjadi saksi,” kata Imelda.

4. Respons, Dampak, dan Hasil Penanganan Dari Sisi Korban

Tiga jawaban teratas responden adalah korban bercerita pada teman atau keluarga di luar tempat kerja (47,27%), korban memilih diam dan tidak tahu harus berbuat apa (42,55%). Kemudian 21,88% korban ingin keluar dari perusahaan atau institusi.

Baca Juga:Hasil Survei: Selama Pandemi Pelecehan Seksual Meningkat

Dari persentasenya ditemukan masih sedikit korban yang melapor kepada SDM/HR/manajemen (10,94%) apalagi lapor kepada pihak kepolisian (1,80%). Minimnya kepercayaan korban kepada kepolisian diantaranya karena pesimis kepolisian tidak akan menindaklanjuti laporan (50,08%) dan takut harus mengeluarkan banyak uang (34,88%).

Salah satu dampak yang dialami korban adalah dampak personal. Dua tertinggi adalah marah dan tidak nyaman (63,22%), gangguan kesehatan mental seperti depresi, gelisah, ketakutan (55,05%). Yang paling parah adalah terpikir untuk bunuh diri (12,86%).

Adapun hasil penanganan kasus tiga teratas secara berurutan adalah pelaku meminta maaf (14,30%), pelaku mendapat sanksi berupa mutasi, skors, teguran (5,65%), dan korban mendapatkan pendampingan pemulihan psikologis dan fisik (3,25%).

5. Respons, Dampak, dan Hasil Penanganan Dari Saksi

Respons/tindakan yang dilakukan saksi saat melihat kekerasan atau pelecehan di dunia kerja adalah menyelamatkan korban (35,56%). Dalam hal tindakan yang dilakukan saksi setelah kejadian, 54,74% responden menjawab memastikan keadaan korban dan membantu korban (37,66%).

Baca Juga: Lawan Pelecehan di Kendaraan Umum

Alasan saksi tidak melapor kepada SDM/manajemen ditemukan adanya rasa khawatir dituduh ikut campur (37,03%), kemudian saksi tidak mengerti alur pelaporan (13,37%), dan saksi tidak ingin pelaku mendapat masalah (4,55%).

Dalam hal dampak personal yang dialami  saksi, 41,64% responden mengungkap takut menjadi korban selanjutnya. Sedangkan dampak profesinal yang terjadi pada saksi adalah 38,60% responden menjawab kehilangan rasa aman dalam bekerja.

Adapun hasil penanganan kasus berdasarkan pengalaman saksi ditemukan 27,37% diselesaikan secara musyawarah/kekeluargaan di lingkungan perusahaan/institusi.

***

Survei ini setidaknya bisa menjadi salah satu temuan informasi bagi pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Bagi masyarakat, survei ini bisa menjadi peringatan bahwa semua bisa kena kasus kekerasan dan pelecehan di ruang kerja. [Nur Azizah]

 

Digiqole ad