Nasib Komnas Lansia : Potret Subordinasi dalam Pembangunan?

 Nasib Komnas Lansia : Potret Subordinasi dalam Pembangunan?

Oleh: Khotimun Sutanti

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyampaikan bahwa permerintah berencana membubarkan beberapa lembaga negara, dan yang paling santer disebut sebagai kandidat utama adalah Komnas Lansia (Kompas 16/07). Salah satu alasan yang sempat dilontarkan adalah bahwa lembaga tersebut sudah tidak pernah terdengar lagi kiprahnya. Meskipun pada akhirnya Presiden tidak membubarkan lembaga ini, namun pertanyaan  mendasar yang masih perlu adalah apakah lembaga ini memang tidak menjalankan fungsinya atau menghadapi kendala struktural sehingga tidak berfungsi?

 

Posisi Kelompok Lanjut Usia

Kelompok lanjut usia bukanlah kelompok yang sedikit di Indonesia, bahkan diprediksi semakin meningkat jumlahnya di masa mendatang. Dalam waktu hampir lima dekade (1971-2019), jumlah penduduk lansia meningkat sekitar dua kali lipat, yaitu 9,6 persen  atau sekitar 25 juta dari 269,6 juta jiwa penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut  lansia perempuan sekitar satu persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (10,10 persen dibanding 9,10 atau selisih sekitar 2,6 juta jiwa). Jumlah tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 57,0 juta jiwa atau 17,9% pada tahun 2045 (BPS, Bappenas, UNFPA, 2018). Jumlah ini bukanlah sekedar angka, namun penting untuk menjadi pijakan rencana pembangunan yang tidak lepas dari hak-hak lansia.

Indonesia telah memiliki regulasi untuk menjamin pemenuhan hak-hak lansia, yaitu UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia beserta berbagai Peratuan Pemerintah sebagai turunannya.  Dalam regulasi tersebut, yang dimaksud lansia adalah kelompok masyarakat yang telah berusia 60 tahun ke atas. Berbagai hak lansia telah dijamin di dalamnya, diantaranya dalam Pasal 5 ayat (2), yaitu : hak atas pelayanan spiritual dan keagamaan, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pelayanan kesempatan kerja, hak atas pelayanan pendidikan dan pelatihan, kemudahan menggunakan fasilitas, sarana dan prasarana publik, kemudahan dalam layanan bantuan hukum, perlindungan sosial, dan hak atas bantuan sosial. Namun, pemenuhan hak-hak lansia tersebut masih belum menyentuh beberapa persoalan mendasar, diantaranya adalah pemenuhan hak partisipasi lansia sebagai aktor dalam pengambilan kebijakan, dan perlindungan dari kekerasan.

 

Masih Tereksklusi dan Mengalami Kekerasan

Tidak dipungkiri telah banyak program untuk lansia mulai dari kesehatan hingga privilege di sektor transportasi di beberapa Provinsi. Namun ekslusi terhadap lansia masih terjadi di berbagai sektor. Eksklusi ini tidak lepas dari situasi relasi sosial yang timpang dalam masyarakat, termasuk di dalamnya relasi gender. Data Susenas 2019 menunjukkan bahwa 9,38 persen lansia tinggal sendiri (sekitar 2,4 juta lansia) di mana persentase lansia perempuan yang tinggal sendiri hampir tiga kali lipat dari lansia laki-laki (13,39 persen berbanding 4,98 persen). Kerentanan terjadi pada lansia-lansia yang tinggal sendiri, seperti kerentanan tidak tertolong saat mengalami sakit, ditelantarkan dalam kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya.  Sedangkan bagi lansia yang bekerja,  sebagian besar merupakan pekerja informal (84,29 persen atau sekitar 21 juta lansia).

Mayoritas diantaranya kurang memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, ataupun imbalan kerja yang layak. Dari seluruh lansia yang bekerja, 74,15 persen diantaranya memiliki risiko tinggi mengalami kerentanan ekonomi karena tidak memiliki kesempatan kerja yang cukup, perlindungan sosial yang tidak memadai, tidak terpenuhi hak-hak di tempat kerjanya, serta tidak memiliki kesempatan mengekspresikan pendapat mengenai pekerjaan yang mereka lakukan (BPS, 2018).

Bentuk-bentuk eksklusi sosial lainnya masih kerap terjadi dalam berbagai sektor, antara lain akses kepada keadilan, akses partisipasi dalam pengambilan kebijakan dan  beberapa implementasi akses layanan publik yang masih belum ramah lansia. Eksklusi ini berjalan berkelindan dengan situasi kekerasan terhadap lansia yang hingga saat ini belum tersaji datanya dengan komprehenship. Data BPS tahun 2019 menunjukkan bahwa data kekerasan terhadap lansia tertinggi adalah pencurian yaitu 89,12%(BPS, Maret 2019), disebutkan pula bahwa lansia menjadi korban pelecehan seksual dan kejahatan lainnya namun belum dirincikan secara mendetail. Sayangnya, dari data-data mengenai kekerasan terhadap lansia, belum terdapat data jumlah dan kategori kekerasan yang memadai untuk menjadi rujukan bentuk dan trend kekerasan yang dialami lansia.

Dari pengalaman kantor-kantor LBH APIK dalam menangani kasus kekerasan terhadap lansia, diantaranya LBH APIK Bali, Medan, dan Yogyakarta, mayoritas kekerasan terhadap lansia adalah penelantaran. Sebagian dibarengi dengan eksploitasi atau perampasan ekonomi oleh kerabatnya sendiri. Lansia juga rentan mengalami KDRT, tak jarang kekerasan psikis seperti perselingkuhan, poligami, perendahan martabat, atau didiamkan. Dalam proses penanganan kasus-kasus tersebut, LBH APIK mencatat bahwa kekerasan terhadap lansia seringkali dianggap sebagai urusan privat keluarga sehingga orang lain menolak untuk campur tangan.

Lansia juga seringkali diragukan apabila melaporkan dirinya mengalami kekerasan seksual karena cara pandang mayoritas masyarakat  menganggap bahwa lansia tidak mungkin mengalami kekerasan seksual. Situasi ini menjadikan hak lansia atas keadilan, persamaan di muka hukum, dan hak atas perlindungan terhadap kekerasan serta diskiriminasi belum terpenuhi dengan baik. Lansia miskin juga rentan terlibat dalam tindak pidana karena kemiskinannya seperti dalam kasus-kasus pencurian bahan makanan dan dipenjarakan karena mekanisme KUHAP belum memadai dalam konsep restorative justice terhadap kasus tertentu yang dialami lansia.

 

Nasib Komnas Lansia dan Cermin Hak Partisipasi

Dari setumpuk persoalan yang dialami lansia di atas, suara lansia tidak memiliki wadah yang nyata untuk  dilibatkan dalam pembangunan. Komnas Lansia yang dianggap sebagai salah satu wadah, memang masih terdengar asing bagi sebagian masyarakat Indonesia, bahkan mungkin tidak dikenal sama sekali. Komisi ini dibentuk berdasarkan Keppress No. 52 tahun 2004 tentang Komnas Lansia, atau sekitar 16 tahun yang lalu pada era Presiden Megawati Soekarno Putri. Menurut Pasal 3 dalam Keppres tersebut, komisi ini memiliki tugas yaitu membantu presiden dalam mengkoordinasikan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan lansia serta memberikan saran dan pertimbangan presiden dalam penyusunan kebijakan peningkatan kesejahteraan lansia. Komposisi anggota Komnas Lansia sejumlah 25 orang yang terdiri dari unsur perwakilan pemerintah, dan masyarakat sipil.

Lalu dimana Komnas Lansia selama ini? Sebelum buru-buru dibubarkan, perlu dilihat lebih mendasar faktor yang menyebabkan vakumnya Komnas Lansia. Diantaranya kita perlu menengok Pasal 11 Keppress No. 25 tahun 2004 tersebut, yang menyebutkan bahwa keanggotaan Komnas Lansia diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Artinya, perlu adanya pembaharuan dalam payung hukum penetapan keanggotaan Komnas Lansia apakah perlu diperpanjang setelah habis masa jabatannya, atau membentuk struktur yang baru. Apabila memang tidak terdapat payung hukum untuk memperpanjang masa jabatan atau membentuk struktur baru, artinya anggota Komnas Lansia tidak dapat melakukan lagi tugasnya.

Ini menjadi cukup menggelitik ketika  DPR menyatakan bahwa Kementrian Sosial sebagai kementrian yang menggawangi Komnas Lansia, tidak pernah menyampaikan keberadaan Komnas Lansia selama rapat dengan DPR, yang seolah tidak pernah ada. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan apakah keberadaan Komnas Lansia memang telah dilupakan atau tidak menjadi perhatian untuk digiatkan. Komnas Lansia juga belum ditempatkan sebagai lembaga negara yang setara seperti Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, maupun Komnas Perempuan.

Lepas dari peliknya persoalan payung hukum di atas, hak partisipasi lansia dalam pembangunan memang perlu lebih serius dipikirkan bersama. Lansia belum secara terstruktur memiliki wakil dari kelompoknya secara khusus yang dilibatkan dalam rapat-rapat RT, musyawarah desa, maupun perwakilan lainnya untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhannya dalam perencanaan pembangunan.  Dari refleksi program advokasi akses hak dasar lansia yang dilakukan oleh LBH APIK  di 6 desa percontohan yaitu di Bali, Sumatera Utara, dan Yogyakarta dukungan salah satu lembaga PBB yaitu UNDEF, ditemukan desa-desa belum membentuk wadah yang diupayakan menjadi wakil lansia dalam perumusan kebijakan desa.

Memang telah terdapat program-program seperti Posyandu Lansia, pemberdayaan ekonomi lansia dan sebagainya termasuk terintegrasi dengan Program Keluarga Harapan (PKH), namun belum menempatkan lansia sebagai aktor utama sebagai aktor perubahan. LBH APIK mendorong adanya wadah self-help dengan nama Kelompok Lansia Berdaya (KLB) yang didorong nantinya menjadi wadah partisipasi lansia secara aktif yang diterima dalam forum-forum pengambil kebijakan di tingkat desa.

 

Memastikan Pemenuhan Hak

Pelibatan kelompok lansia memang seringkali disalah pahami dengan cara pandang yang kurang tepat terhadap lansia. Pandangan yang kurang tepat adalah menempatkan lansia sebagai objek dari sebuah program, dianggap lemah, alih-alih ditempatkan sebagai aktor. Oleh karena itu, untuk memastikan pemenuhan hak lansia, perlu menjadi perhatian pada hal-hal berikut: pertama, pendekatan berbasis hak. Bahwa  program-program lansia harus berdasarkan pada hak, bukan charity, sehingga pola yang dilakukan adalah pola-pola pemberdayaan. Kedua, memastikan lansia dilibatkan sebagai aktor dalam penentuan kebijakan pembangunan mulai tingkat nasional hingga akar rumput.

Ketiga, peran serta lintas sektoral. Tidak hanya kementrian sosial apalagi Kementrian Pemberdayaan Perempuan saja, karena persoalan lansia tidak hanya lansia perempuan saja, namun kementrian yang lain seperti yang  membidangi desa, layanan publik, bantuan hukum, peradilan, bahkan politik perlu juga menjadi bagian dalam memberdayakan lansia. Keempat, pemerintah perlu menyusun rencana jangka panjang pemberdayaan lansia sehingga situasi vakumnya Komnas Lansia tidak terjadi lagi. Alih-alih berpikir untuk dibubarkan, justru perlu direvitalisasi. Kita harus ingat, sebagian dari kita akan menikmati menjadi lansia suatu saat nanti. Tunggulah waktu.

 

Penulis adalah Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia/Anggota Koalisi Masyarakat Peduli Keberlanjutusiaan (KuMPuL*)

 

KuMPul terdiri dari beberapa lembaga-lembaga yang merupakan kelompok Lanjut Usia atau lembaga-lembaga yang dalam kegiatannya berkaitan dengan isu kelanjutusiaan. Keanggotaan saat ini terdiri dari :
1. Alzheimer Indonesia
2. Center for Aging Society (CAS) Universitas Indonesia
3. Komunitas Rahmat Pemulihan, beserta cabang di Jakarta dan Yogyakarta yang memperjuangkan perlindungan terhadap Lansia yang mengalami gangguan jiwa
4. Women in Science Technology Innovation (WISTI)
5. The Prakarsa
6. Asosiasi LBH APIK Indonesia, beserta LBH APIK Medan, LBH APIK Bali, dan LBH APIK Yogyakarta
7. Perempuan Kepala Keluarga (Pekka)
8. Koalisi Perempuan Indonesia
9. Ragam Institute
10. Yayasan Emong Lansia
11. ALPHA-I (Asosiasi Alumni Program Beasiswa Amerika -Indonesia

 

 

Digiqole ad