Hari Ibu, Momen Refleksi Cita-cita Kongres Perempuan Indonesia

 Hari Ibu, Momen Refleksi Cita-cita Kongres Perempuan Indonesia

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Setiap 22 Desember, Indonesia memperingati Hari Ibu. Sebagian masyarakat masih merayakannya dengan berbondong-bondong memberikan ucapan kepada sosok ibu lengkap dengan peran domestiknya. Padahal, membaca sejarah mengenai perayaan Hari Ibu, ada banyak cita-cita pemenuhan hak-hak perempuan yang mengacu pada Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Jogjakarta.

Saat itu, setidaknya 600 perempuan berkumpul di pendapa Dalem Jayadipuran. Beragam permasalahan yang menghambat kemajuan perempuan dibahas. Antara lain, perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, dan kawin paksa.

Dalam Kongres Perempuan III pada 22-27 Juli 1938, gagasan Hari Ibu muncul dan disepakati. Kongres menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu. Gagasan itu kemudian dikukuhkan Sukarno pada peringatan Kongres Perempuan ke-25. Melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 Sukarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional bukan hari libur.

Memperingati Hari Ibu tahun ini, saatnya merefleksikan kembali permasalahan yang dibahas dalam Kongres Perempuan Indonesia I. Seperti apa situasi perempuan Indonesia saat ini?

  1. Perkawinan Anak

Pemerintah Indonesia berkomitmen menghapus perkawinan anak pada 2030. Komitmen yang merupakan bagian dari pencapaian SDGs ini berkontribusi terhadap pencapaian visi Indonesia Emas 2045 untuk menjadi negara berdaulat, maju, adil, dan makmur.

Baca Juga: Ibu Sud: Laku Perempuan untuk Negeri

Dalam rilisnya (3/8/2021) Komnas Perempuan mengungkap selama pandemi Covid-19 perkawinan anak meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Ini ditandai dengan lonjakan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama dari sebelumnya 23 ribu menjadi 64 ribu (Badilag, 2020).

Komnas Perempuan mencatat ada 6 bahaya perkawinan anak mulai dari pendidikan, ekonomi, kekerasan dan perceraian, angka kematian ibu, dan angka kematian bayi.

  1. Pendidikan bagi Perempuan

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 menunjukkan Angka Melek Huruf (AMH) penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas sebesar 94,55 persen. Angka ini lebih rendah 2,9 persen dibandingkan AMH laki-laki sebesar 97,45 persen.

Mengacu pada tipe wilayah, AMH penduduk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. AMH penduduk perempuan di daerah perdesaan hanya 91,65 persen, lebih rendah dari angka nasional 96 persen. Sedangkan AMH perempuan di perkotaan sebanyak 96,86 persen, masih lebih rendah dari AMH laki-laki di perkotaan yakni 98,74 persen. AMH perempuan di perkotaan tercatat masih lebih rendah dari angka nasional yakni 97,81 persen. Dari sini menunjukkan masih adanya kesenjangan capaian pendidikan antara laki-laki dengan perempuan.

  1. Kawin Paksa

Pemaksaan perkawinan masih menjadi sorotan sampai hari ini. Gelaran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 pada 23-26 November 2022 bahkan menjadikannya sebagai salah satu fokus pembahasan. Dalam pandangan keagamannya, KUPI ke-2 menyatakan pemaksaan perkawinan terhadap perempuan berdampak secara fisik dan psikis, mental, sosial, ekonomi, politik, dan hukum.

Baca Juga: Mimi (2021): Kisah Ibu Pengganti

Sejak Mei 2022, pemaksaan perkawinan merupakan salah satu jenis pidana kekerasan seksual. Ketentuan pidana ini tercantum dalam Pasal 10 Ayat (1), “Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Adapun yang termasuk pemaksaan perkawinan menurut UU Nomor 12 Tahun 2022 yaitu perkawinan Anak, pemaksaan perkawinan mengatasnamakan praktik budaya, pun pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.

Selamat Hari Ibu. Saatnya bersama-sama mengakhiri praktik perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan, termasuk mewujudkan akses pendidikan bagi perempuan. [Nur Azizah]

 

Digiqole ad