Menghapus Diskriminasi Berbasis SOGIESC di Kampus
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Sobat JalaStoria, pernahkah mendengar istilah SOGIESC? Dan mengapa SOGIESC perlu dipelajari?
Jaringan Muda Setara punya jawabannya nih, Sobat. Dalam acara bertajuk “Menyoal Diskriminasi Berbasis SOGIESC di Kampus,” yang diselenggarakan pada 17 Mei 2021 melalui IG TV, kita bakal dapet banyak informasi tentang SOGIESC. Dan gak cuma itu aja, lho! Tentu saja, hubungannya dengan penghapusan diskriminasi berbasis SOGIESC khususnya di kampus.
Yuk simak ulasannya berikut ini:
- Mengenali SOGIESC, Menghindarkan Kesalahpahaman
Tahukah kamu kalo di lingkungan sekitar kita mungkin menyimpan kebencian terhadap kelompok Lesbian, Biseksual, Gay, dan Transgender (LGBT)? Jangan salah, Sobat. Kebencian itu di antaranya berakar dari ketidaktahuan tentang SOGIESC. Makanya, muncullah homofobia, bifobia, dan transfobia.
Nah, menurut Ferena, pegiat SGRC UI, mempelajari SOGIESC adalah salah satu upaya mengedukasi diri agar tidak membenci kelompok LGBT. Konsep SOGIESC perlu dipelajari untuk melihat manusia melalui berbagai problem seksualitas di tengah kehidupan masyarakat. Konsep ini dapat membantu seseorang mengenali keragaman identitas seksual supaya menghindari kesalahpahaman terhadap LGBT.
Lantas, SOGIESC itu apa sih? SOGIESC merupakan singkatan dari Sex Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristic. SOGIESC seluruhnya dikendalikan oleh otak, hati, jenis kelamin, dan ekspresi gender.
Otak biasanya digunakan seseorang untuk berpikir dan memahami apa identitas gendernya (identity). Hati menentukan ketertarikan seseorang terhadap orang lain dari sisi fisik, emosional, dan spiritual berdasarkan gender (attraction). Jenis kelamin, mengacu pada organ seks dan hormon yang dimiliki sejak lahir (sex), dan ekspresi gender merupakan sesuatu yang terlihat dari perilaku seseorang saat berinteraksi dalam lingkungan (expression). Sedangkan Sex Characteristic dalam konsep SOGIESC merupakan otoritas penuh untuk tubuhnya dan tidak bisa diatur oleh orang lain.
Masalahnya nih Sobat, sebagian masyarakat masih mencampuradukkan antara gender, seks, identitas, dan orientasi seksual dalam satu definisi, yaitu dianggap identitas yang given atau pemberian Tuhan. Dengan demikian, muncul asumsi bahwa mengubah identitas seksual atau ekspresi gender berarti melawan kodrat Tuhan. Pandangan itulah yang mendasari bagaimana transpuan dan transman dipandang sebagai abnormalitas.
Oh iya, gender, identitas, dan orientasi seksual tidak bersifat kodrati ya. Artinya, bukan hal yang melekat sejak lahir dan dapat berubah serta berbeda sesuai ruang dan waktu. Sementara yang bersifat kodrati itu adalah seks, atau jenis kelamin, yang bersifat universal dan melekat sejak lahir. Misalnya, manusia dicirikan sebagai perempuan karena memiliki vagina dan organ reproduksi seperti sel telur, saluran sel telur, dan rahim. Sementara manusia yang terlahir dengan penis dan memiliki organ reproduksi yang menghasilkan sperma adalah laki-laki. Dengan mengetahui perbedaan antara seks dan gender, juga mengenai SOGIESC (Red-lihat lagi ke atas ya kepanjangannya apa..), kita akan semakin memahami diri kita sebagai manusia dengan berbagai kompleksitas terkait seksualitasnya.
Sayangnya, ada pandangan bahwa pemahaman SOGIESC dipandang eksklusif untuk kelompok LGBT saja. Tentu saja itu pandangan yang keliru. Queen (bukan nama sebenarnya), seorang anggota Jaringan Muda Setara, mengingatkan “Tidak seperti itu pemaknaan SOGIESC. Bagi kami SOGIESC itu bisa dipahami oleh semua orang, supaya tidak ada lagi diskriminasi di berbagai ruang publik.”
- Mengurai Diskriminasi Berbasis SOGIESC di Kampus
Menurut Ferena, penerapan konsep SOGIESC di kampus masih kurang karena akses pengetahuan yang terbatas. Akhirnya, muncul ketidaktahuan terhadap ekspresi dan orientasi gender yang berbeda. Ini menyebabkan kelompok LGBT di kampus semakin dipersekusi karena mereka dipandang tidak normal.
Nah, untuk membangun pemahaman SOGIESC, Ferena menekankan penting untuk membangun ruang aman terlebih dahulu di kampus. “Ruang aman ini penting. Kenapa? Supaya diskusinya bisa terbuka dan meminimalisir seksisme dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT di kampus,” tegasnya.
Selain itu, kebijakan dari institusi pendidikan dan kampus agar tidak bersifat heteronormatif atau hanya melihat gender dari dua jenis saja: laki-laki dan perempuan. Catat, gender ya!
Hal lainnya, perlu adanya tim advokasi terhadap kasus kekerasan seksual dan diskriminasi di kampus supaya ruang aman itu bisa tercipta. Ini senada dengan Queen yang menegaskan perlu ada security system atau sistem keamanan di kampus agar tidak ada lagi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT.
Oh iya, Keenan Abraham dari Cangkang Queer menjelaskan bahwa salah satu diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT didukung oleh lambatnya penanganan institusi pendidikan, dalam hal ini kampus. Ia mencontohkan kasus di Universitas Sumatera Utara yang memecat 18 anggota pers mahasiswa Suara USU karena salah satu anggotanya menulis cerpen tentang LGBT. Selain itu, ada kasus mahasiswa queer salah satu kampus swasta di Sumatera Utara yang memutuskan berhenti kuliah karena mengalami kekerasan dan diskriminasi oleh mahasiswa lain dan pihak kampus.
Bagi Keenan, kampus tersebut tidak membuka ruang diskusi terhadap pemikiran dan ekspresi mahasiswanya sendiri. “Apakah ruang pendidikan tempat yang aman untuk bisa belajar? Itu masih dipertanyakan. Bahkan ada ujaran kebencian kepada LGBT,” tuturnya.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah terkait nama baik kampus. Hmm, bukan sesuatu yang asing kah bagi Sobat?
Mengenai hal ini, Ferena mengingatkan, nama baik kampus dapat tercipta apabila kampus sudah memiliki kebijakan yang tidak bias gender. “Ini bisa dibangun pemahaman SOGIESC mulai dari kebijakan di kampus. Kenapa? Kalau mau menjaga nama baik, tentunya kampus harus terbuka atas permasalahan yang terjadi. Kampus harus menangani isu-isu diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Jangan ditutup-tutupi,” tegasnya.
- Mengayun Langkah Menghapus Diskriminasi Berbasis SOGIESC di Kampus
Walaupun diskriminasi berbasis SOGIESC masih saja terjadi di kampus, upaya untuk mengeleminasinya juga sudah mulai dibangun. Misalnya, di Universitas Indonesia, SGRC bergerak mengupayakan advokasi dan pemahaman kepada mahasiswa. Menurut Ferena, hal ini didasarkan pada banyak ketidaktahuan soal konsep SOGIESC dan kebutuhan atas ruang aman bagi semua orang apapun ekspresi dan orientasi gendernya. Upaya yang dilakukan antara lain melalui diskusi dalam rangka membangun pemahaman terkait SOGIESC.
Upaya lainnya seperti yang dilakukan oleh jejaring dari Jaringan Muda Setara di Solo, Jawa Tengah yaitu menyelenggarakan pelatihan mengenai SOGIESC. Demikian pula dengan Cangkang Queer bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum serta organisasi pergerakan di kampus dan luar kampus untuk advokasi.
==
Sobat JalaStoria, supaya pengetahuan tentang SOGIESC gak sepotong-sepotong, simak langsung acaranya ya! Oh ya, satu lagi, baca juga buku-buku tentang SOGIESC yang otoritatif dari ahlinya. [ANHS]