Bolehkah Perempuan Melakukan Pelecehan Seksual?
Oleh: Siti Aminah Tardi
“Bu, apakah feminisme memperbolehkan perempuan melecehkan lelaki?”
Tiba tiba anak budjangku bertanya demikian. Pertanyaannya muncul terkait dengan komentar-komentar yang ditujukan kepada Pangeran Abdul Mateen, putra keempat Sultan Hassanal Bolkiah Brunei Darussalam di akun instagramnya. Umumnya komentar-komentar terhadap ‘ketampanan’ dan kegagahannya diberikan oleh netizen perempuan. Sebagai lelaki, anakku merasa tidak nyaman terhadap komentar-komentar tersebut.
Selama ini terdapat anggapan bahwa korban pelecehan seksual selalu perempuan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai patriarkhi yang menempatkan tubuh perempuan sebagai obyek seksual. Superioritas lelaki menjadikan lelaki lebih memiliki kuasa dan kontrol terhadap perempuan. Oleh karenanya, pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Lantas, apakah perempuan tidak dapat melakukan pelecehan seksual terhadap lelaki?
Pengertian dan Bentuk Pelecehan Seksual
Sistem hukum kita sampai saat ini belum mengenal istilah pelecehan seksual. Istilah ini adalah istilah sosial dan baru muncul pada tahun 1988 ketika Kalyanamitra, LBH Jakarta, dan FISIP UI menyelenggarakan seminar pelecehan seksual sebagai bentuk kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini diterjemahkan dari sexual harrasment. Ada usaha untuk mengusulkan penerjemahan istilah menjadi ”perundungan seksual” atau “pengratilan seksual”, namun kemudian istilah pelecehan seksual telah umum dipakai dan diterima oleh masyarakat.
Istilah ini menggambarkan perbuatan dan pandangan si peleceh kepada yang dilecehkannya. Karena kata leceh sendiri berarti memandang rendah (tidak berharga), menghinakan, atau mengabaikan. Jika mengacu pada pengertian aslinya maka istilah ini diartikan sebagai “unwelcome attention“, perhatian bersifat seksual yang tidak diinginkan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (2017) menawarkan definisi yaitu: “kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan”.
Dari definisi di atas, terdapat dua bentuk pelecehan seksual yaitu fisik dan nonfisik. Bentuk pelecehan seksual secara fisik misalkan menyentuh bagian tubuh, khususnya organ seksual, memeluk, atau mencium yang tidak dikehendaki oleh korban. Sedangkan pelecehan seksual nonfisik misalnya catcalling, komentar seksual, canda seksual, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dan memperlihatkan organ seksual baik secara langsung atau menggunakan teknologi.
Korban Pelecehan Seksual
Dari berbagai perbuatan di atas, maka korban pelecehan seksual tidak hanya perempuan, laki-laki dan transpuan dapat menjadi korbannya. Film Disclosure mendeskripsikan dengan baik bagaimana pelecehan seksual di tempat kerja menimpa lelaki karena adanya relasi kuasa terkait kepentingan bisnis. Namun, karena adanya ideologi gender dan nilai-nilai patriarkhi yang menyebabkan perempuan disubordinasikan, mengalami streotype, dan diskriminasi, maka korban pelecehan seksual lebih banyak perempuan.
Tidak ada data pasti tentang berapa banyak lelaki yang dilecehkan secara seksual, dan berapa banyak dari lelaki ini yang mengajukan klaim keadilan atas pelecehan seksual yang menimpanya. Salah satu sebab mengapa lelaki tidak melaporkan adalah nilai-nilai maskulinitas yang diharapkan kepada lelaki.
Lelaki mungkin akan takut dipermalukan jika detail pelecehannya bocor, dianggap lemah, dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah, dan tidak dipercaya bahwa lelaki benar-benar dilecehkan secara seksual oleh seorang perempuan atau oleh lelaki lain. Mereka menangani masalah itu sendiri.
Antikekerasan
Kembali kepada pertanyaan si budjang. Bahwa tujuan feminisme adalah keseimbangan, interelasi antargender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminisme adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Gerakan feminisme tidak boleh lepas dari gerakan untuk mencapai keadilan sosial. Dengan memahami tujuan tersebut, maka etika feminis adalah antikekerasan, termasuk tidak melakukan kekerasan seksual dalam bentuk apapun terhadap siapapun menjadi etika yang harus dijunjung tinggi.
“Tidak boleh boy…prinsipnya sederhana, jika ingin otonomi tubuh kita dihormati, maka hormati pula otonomi tubuh orang lain”
“Ok…it’s clear !”[]
Penulis adalah seorang feminis, saat ini menjadi Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga.