Kekerasan terhadap Perempuan Lansia: Tidak Terlihat dan Terperhatikan
Oleh: Siti Aminah Tardi
Setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Lanjut Usia (lansia) Internasional. Hari penting ini ditetapkan PBB dengan tujuan untuk meningkatkan layanan kesehatan, produktivitas, dan kesejahteraan kelompok lansia.
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih. Perhatian terhadap lansia tidak dapat dilepaskan dari jumlah kelompok lansia yang antara 2019 dan 2030 diproyeksikan tumbuh sebesar 38%, dari 1 miliar menjadi 1,4 miliar. Angka ini akan melebihi jumlah generasi muda secara global. Di Indonesia, menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil tercatat 30,16 juta jiwa penduduk lansia pada 2021 dari 273,88 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia. Jumlah dan situasi lansia ini akan menjadi tantangan termasuk di bidang hak asasi manusia, di antaranya penghapusan kekerasan terhadap perempuan lansia.
Menurut WHO kekerasan terhadap lansia diartikan sebagai an intentional act, or failure to act, by a caregiver or another person in a relationship involving an expectation of trust that causes harm to an adult 60 years and older. Lansia berpotensi mendapatkan serangan yang bersifat tunggal, berulang, atau berlapis oleh pengasuh atau caregiver atau orang lain dalam suatu hubungan yang melibatkan harapan atau kepercayaan yang menyebabkan kerugian pada orang dewasa 60 tahun ke atas.
Sedangkan kekerasan terhadap perempuan adalah “kekerasan yang langsung ditujukan pada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan yang memengaruhi perempuan secara tidak proporsional.” Dengan demikian kekerasan terhadap perempuan lansia merupakan bentuk diskriminasi berdasarkan usia dan berdasarkan gender (gendered ageism) yang seringkali hampir tidak terlihat. Tulisan singkat ini mencoba mengenali kekerasan terhadap perempuan lansia di Indonesia.
Kekerasan terhadap Lansia Perempuan
Sama halnya dengan bentuk-bentuk kekerasan pada kelompok lain, kekerasan terhadap perempuan lansia dapat berbentuk dalam lima hal. Pertama, kekerasan fisik, seperti; memukul, menendang, mendorong, sampai memberi obat-obatan yang salah. Kedua, kekerasan psikis atau kekerasan emosional, seperti: menghina, mengancam, memperlakukan dengan tidak hormat, mengatur perilaku, dan mengisolasi. Ketiga, kekerasan seksual, seperti menyentuh alat kelamin dan bagian tubuh yang sensitif, sampai kekerasan seksual seperti perkosaan.
Baca Juga: Mengapa Generasi Muda Perlu Memahami Isu Lansia?
Keempat, eksploitasi finansial, seperti: menyalahgunakan dan mencuri uang atau properti dari lansia, sampai memaksa untuk mengemis. Kelima, penelantaran, seperti tidak memberi makan, tempat tinggal, dan perawatan medis. Beragam bentuk kekerasan tersebut dapat terjadi baik di ranah personal dan publik maupun negara. Namun sayangnya, kekerasan terhadap lansia, khususnya perempuan lansia, sangat jarang dilaporkan. Secara global, menurut WHO hanya 4% kekerasan terhadap lansia yang dilaporkan.
Sementara menurut Kelompok Ahli PBB, termasuk Claudia Mahler, Ahli Independen untuk Penikmatan Hak Orang Lanjut Usia, di seluruh dunia ribuan perempuan lansia terus dibungkam oleh sikap masyarakat yang diskriminatif dan kurangnya perhatian terhadap pelecehan dan kekerasan. Pada 2020, setidaknya satu dari enam orang berusia 60 tahun ke atas mengalami beberapa bentuk kekerasan di lingkungan masyarakat.
Selama pandemi COVID-19, tingkat kekerasan terhadap lansia, termasuk perempuan dan kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat pesat. Menurut UN Women, 34% perempuan berusia 60 tahun ke atas melaporkan mengalami kekerasan atau mengenal seseorang yang pernah mengalaminya, sejak awal pandemi.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dalam Catahu 2022 karakteristik korban atau pelaku telah dibagi berdasarkan usia sampai dengan usia pre lansia dan lansia. Pengaduan kekerasan terhadap perempuan lansia pada 2021 berjumlah 143 kasus, atau 3,72% dari 3.838 kasus yang diterima Komnas Perempuan. Jumlah yang dilaporkan ini bukanlah angka kekerasan yang sebenarnya terjadi. Angka ini menunjukkan bahwa perempuan tidak aman dari kekerasan di usia lanjutnya dan mengonfirmasi laporan WHO maupun UN Women. Bahwa kekerasan terhadap perempuan lansia adalah kekerasan yang tidak terlihat dan terperhatikan.
Di mana kekerasan terhadap perempuan lansia terjadi? Dari data yang terbatas di atas, diketahui bahwa kekerasan terjadi di ranah personal (114 kasus), ranah publik (27 kasus) dan ranah negara (2 kasus). Dari data di atas, nampak bahwa 79,7 % terjadi dalam lingkup rumah tangga/personal. Tingginya kekerasan terhadap perempuan lansia di ranah rumah tangga/personal tidak terlepas dari ketergantungan lansia terhadap anggota keluarganya.
Baca Juga: Nasib Komnas Lansia : Potret Subordinasi dalam Pembangunan?
Kekerasan terhadap perempuan lansia di ranah rumah tangga dapat dilakukan oleh anggota keluarga ataupun oleh perawat lansia yang bekerja di rumah. Sementara pada ranah publik, dapat dilakukan oleh petugas fasilitas perawatan lansia ataupun oleh orang lain dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Kelompok Ahli PBB menemukan seringkali perempuan lansia ditolak hak atas tanah dan warisan setelah kematian suami. Beberapa komunitas menggunakan kekerasan, ancaman, dan intimidasi untuk mengusir lansia dari properti mereka, di antaranya dengan tuduhan melakukan sihir.
Selain itu, krisis kemanusiaan dan konflik bersenjata serta segala bentuk kekerasan komunal juga berdampak tidak proporsional pada perempuan lansia. Demikian halnya kekerasan seksual terhadap perempuan lansia dianggap lazim dan diabaikan karena asumsi salah bahwa seksualitas dan kekerasan seksual hilang seiring fase menoupause perempuan.
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Perempuan Lansia
Norma-norma sosial dan budaya termasuk di Indonesia mengharapkan perempuan lansia untuk dihormati dan dirawat oleh keluarga dan masyarakat. Secara sosial –sama halnya dengan kekerasan dalam rumah tangga lainnya- berbicara atau melaporkan kekerasan dan penelantaran terhadap lansia tidak dapat diterima karena akan membuka aib dan tuduhan anak durhaka. Data yang terbatas juga bisa terjadi karena keterbatasan lansia atau sistem sosial dalam melaporkan kekerasan. Oleh karena itu perempuan lansia berada dalam posisi rentan.
Selain peran gender yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi, kekerasan terhadap perempuan lansia juga tidak dapat dilepaskan dari kemunduran kemampuan fisik dan psikis yang dialami. Kondisi ini mengakibatkan lansia menjadi sangat bergantung pada orang lain dalam kehidupannya. Potensi ini diperburuk jika seseorang yang diharapkan merawatnya memiliki perilaku beresiko seperti senang menyelesaikan permasalahan dengan cara yang agresif, kecanduan alkohol, depresi, atau tidak mampu mengendalikan stress. Kondisi tersebut juga dapat dipicu karena kemiskinan, tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk merawat lansia.
Baik WHO dan UN Women maupun Kelompok Pakar PBB mengakui bahwa tidak adanya penelitian dan data yang mencukupi menjadikan kekerasan terhadap perempuan lansia tidak cukup dikenali. Hal ini membuat penderitaan korban perempuan lansia tidak terlihat dan terperhatikan. Maka, menjadi penting untuk mengakui dan mendokumentasikan kekerasan terhadap perempuan lansia. Termasuk mulai mengintegrasikan kepentingan perempuan lansia dalam strategi pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Selamat Hari Lansia Internasional. Lindungi perempuan lansia karena pada waktunya kita akan seperti mereka. []
Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024