Berita Kasus Kekerasan Seksual berujung Serangan DDoS

 Berita Kasus Kekerasan Seksual berujung Serangan DDoS

Ilustrasi (Sumber: ProjectMultatuli.org)

 

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Rabu pukul 18.00 WIB (6/10/21), laman media ProjectMultatuli.org, sebuah Gerakan berbasis jurnalisme publik ini mendapat serangan siber berupa DDoS (Distributed Denial of Service).

Dilansir dari niagahoster, DDoS merupakan serangan siber yang dilakukan dengan cara meramaikan lalu lintas jaringan internet pada server, sistem, atau jaringan itu sendiri. Biasanya dilakukan melalui beberapa komputer host penyerang sampai komputer/laman target yang disasar tidak dapat diakses.

 

Serangan DDoS

Berdasarkan rilis Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) yang diterima JalaStoria (8/10/21), serangan DDoS ini berawal dari terbitnya berita ProjectMultatuli.org. Berita tersebut berjudul ‘“Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” dan tayang pada Rabu (6/10/21), dua jam sebelum serangan DDoS terjadi.

Dalam berita tersebut, ProjectMultatuli.org mengungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan suami Lydia (bukan nama sebenarnya) kepada ketiga anaknya. Para korban tersebut merupakan anak berusia di bawah 10 tahun. Sedangkan pelaku, yang merupakan ayah kandung ketiga korban adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di kantor dinas pemerintahan Luwu Timur.

Dalam upayanya mencari keadilan untuk anak-anaknya, Lydia telah mengadukan kasus tersebut kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur dan Polres Luwu Timur. Namun ia mengaku tidak mendapat keadilan melalui kedua institusi tersebut.

Kepala Bidang P2TP2A malah menghubungi pelaku melalui telpon sesaat setelah Lydia menceritakan kronologi kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anaknya. Sementara itu, Lydia juga dituduh memiliki gangguan kesehatan mental oleh Polres Luwu Timur. Tuduhan ini juga menyebar di masyarakat Luwu Timur.

Meskipun Lydia telah memberikan bukti-bukti berupa foto dan rekaman video, Polres Luwu Timur mengabaikannya dan menghentikan proses penyidikan kasus (10/12/19).

 

Klarifikasi

Berdasarkan pengamatan JalaStoria (6/10/21), kasus kekerasan seksual yang dituliskan ProjectMultatuli.org langsung dibanjiri berbagai reaksi dan komentar oleh masyarakat melalui media sosial. Hastag #PercumaLaporPolisi menjadi trending topic di Twitter karena ribuan cuitan masyarakat yang menggunakan hastag tersebut.

Sementara itu, ramainya masyarakat yang membagikan ulang berita ProjectMultatuli.org, memantik respons Polres Luwu Timur. Melalui akun Instagramnya, Humas Polres Luwu Timur melakukan klarifikasi di komentar postingan berita terkait. Namun ProjectMultatuli.org menghapus komentar tersebut karena mencantumkan identitas pelapor kekerasan seksual yang seharusnya dilindungi.

Selain itu, berdasarkan rilis KKJ, Polres Luwu Timur juga didapati mengirimkan pesan langsung berisi klarifikasi kepada berbagai akun Instagram yang membagikan ulang berita.

Hal ini diketahui dari pengakuan beberapa akun Instagram yang dikirimi pesan serupa oleh Humas Polres Luwu Timur. Hal serupa juga diamati JalaStoria berdasarkan pengakuan beberapa akun media sosial yang tersebar di Instagram dan Twitter. Beberapa akun media sosial tersebut menunjukkan bahwa klarifikasi itu mengandung identitas pelapor.

Pada pukul 21.00 WIB (6/10/21), selang beberapa jam berita kasus kekerasan seksual itu tayang, Polres Luwu Timur membuat Instagram Story. Dalam penayangan yang muncul selama 24 jam itu, akun Polres Luwu Timur melabeli berita ProjectMultatuli.org dengan stampel hoaks atau berita bohong.

 

Tanggapan

Baik kasus kekerasan seksual maupun sikap Polres Luwu Timur, mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat. Selain pengguna media sosial, beberapa lembaga juga menanggapi kasus ini, antara lain Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (7/10/21), dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) (8/10/21).

Menurut KKJ (8/10/21), pelabelan hoaks oleh Polres Luwu Timur terhadap karya jurnalistik dianggap sebagai bentuk pengabaian pada supremasi hukum. Seharusnya, Polres Luwu Timur menggunakan hak jawab atau hak koreksi sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sementara itu, AJI, dalam rilisnya (7/10/21) menyatakan pelabelan hoaks pada artikel terkait merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional yang telah menyusun informasi sesuai Kode Etik Jurnalistik.

 

Baca Juga: Pemberitaan Seksis Berbuah Kritik

 

AJI menyebut tindakan pelabelan ini masuk dalam kategori kekerasan terhadap jurnalis. “Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.”

Selain itu, AJI dan KOMPAKS, menuntut Polres Luwu Timur untuk segera mencabut label hoaks atas artikel ProjectMultatuli.org.

 

Penyebutan Identitas

Menurut KKJ, penyebutan identitas pelapor oleh admin Instagram Humas Polres Luwu Timur, merupakan tindakan yang tidak profesional dan mengabaikan hukum. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Khususnya Pasal 17 ayat (2) mengenai perlindungan identitas anak korban kekerasan seksual.

UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 19 ayat (2)  menyebutkan hal yang termasuk identitas anak korban kekerasan antara lain: nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak.

KKJ mengecam dan mendesak Polres Luwu Timur untuk tidak menyebarkan identitas, termasuk nama orang tua dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri korban. Hal ini agar korban mendapat perlindungan dan jaminan rasa aman.

Sementara itu, KKJ dan AJI menghimbau para jurnalis dan media agar mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta mengacu pada peraturan Dewan Pers mengenai Pedoman Liputan Ramah Anak. Seharusnya, jurnalis tidak memaparkan identitas anak korban kekerasan seksual, termasuk identitas orangtuanya sebagai pelapor. Hal ini dapat mengancam keamanan korban dan pelapor.

Adapun KOMPAKS mendesak Polres Luwu Timur agar meminta maaf serta mendapat sanksi tegas atas perlakuan Polres Luwu Timur yang telah mengungkapkan data pribadi ibu korban sebagai pelapor.

 

Serangan Siber dan Pengusutan Kasus

Sedangkan mengenai serangan DDoS yang terjadi, KKJ mendesak pelaku serangan DDoS agar menghentikan serangan siber ini. Menurut KKJ, hal ini adalah bentuk kejahatan menghalangi kerja jurnalistik dan mengancam demokrasi. AJI juga menilai hal ini sebagai bentuk pembungkaman pers.

Selain itu, KOMPAKS mendesak Polres Luwu Timur agar segera mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta mengusut ulang kasus perkosaan dengan memprioritaskan perspektif korban. Berperspektif korban berarti mengedepankan hak perlindungan dan pemulihan korban, serta keluarga korban.

Menurut KOMPAKS, penanganan kasus juga harus diselenggarakan secara transparan berdasarkan laporan korban dan bukti-bukti yang sudah disediakan oleh korban.

KOMPAKS meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan evaluasi atas kasus kekerasan seksual yang terjadi. Selain itu, Kepolisian Republik Indonesia juga diminta menerbitkan peraturan internal yang mengatur penanganan kasus kekerasan seksual menggunakan perspektif korban.

KOMPAKS juga meminta P2TP2A Luwu Timur, KOMPAKS mendesak institusi agar tidak melakukan intimidasi kepada pelapor dan korban kekerasan seksual.

Selain itu, KOMPAKS berharap berbagai lembaga seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menjamin keamanan korban dan pelapor, serta mengawasi jalannya proses penyelesaian kasus kekerasan seksual ini (ZA). []

Digiqole ad