Pemberitaan Seksis Berbuah Kritik

  Pemberitaan Seksis Berbuah Kritik

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Di tengah gegap gempita Olimpiade Tokyo 2020, warganet menemukan judul pemberitaan media yang dinilai melukai kesehatan mental atlet yang sedang berjuang. Berawal dari judul berita “Reputasi Bulutangkis Indonesia Rusak Gara-gara Praven/Melati (28/7/21),” warganet mencari lebih jauh siapa jurnalis yang menuliskan berita tersebut yang beredar melalui media sosial Tiktok, Instagram, dan Twitter.

Penelusuran itu pun berkembang hingga teridentifikasi sejumlah hal kontroversial yang dituliskan oleh jurnalis berinisial RP tersebut. Teridentifikasi sejak 2018, RP telah menulis sejumlah berita seksis terhadap atlet perempuan  yang dipublikasi di suatu media online. Media terkait pada akhirnya dikecam oleh warganet di media sosial, terutama Instagram dan Twitter.

Beberapa judul berita yang dituliskan RP, antara lain: “Duh, Pose Mengangkang Pebulutangkis Cantik Kanada di Gym Bikin Ngilu”, “Pose Cantik Bidadari Bulutangkis Australia di Atas Ranjang Bikin Ngilu”, “Wow, Pose Menantang Maharatu Bulutangkis Pakai Bikini Bikin Ngilu,” serta berbagai judul lainnya yang juga senada.

Hal itupun mengundang tanggapan dari masyarakat, tak terkecuali pemerhati permasalahan kekerasan seksual. Antara lain rilis yang diedarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS), suatu jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari 101 platform, kolektif, dan organisasi dengan isu kemanusiaan dan keberagaman.

Dalam rilis KOMPAKS yang diterima JalaStoria pada Jumat (30/7/21) lalu, media yang memuat tulisan RP itu disebut telah melakukan objektifikasi dan merendahkan martabat atlet perempuan. Objektifikasi, menurut dictio.id adalah memperlakukan seseorang layaknya barang tanpa mempertimbangkan martabat mereka.

Tak sebatas objektifikasi dan merendahkan martabat atlet perempuan, KOMPAKS menilai pemberitaan yang ditulis RP juga telah menihilkan prestasi para atlet perempuan.

Meski media tersebut telah menghapus berita-berita terkait, namun KOMPAKS menilai hal itu belum cukup. “(red: media tersebut) belum menyampaikan permintaan maaf publik sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas kelalaian fungsi tim redaksi seperti yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik,” ujar juru bicara KOMPAKS, Widia Primastika.

 

Melanggar UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik

 

Penulisan berita bernada seksis itu dinilai KOMPAKS telah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Dalam UU Pers, menurut Widia, telah dijelaskan mengenai fungsi pers. Namun pemberitaan yang dilakukan oleh RP, menunjukkan bahwa perusahaan media yang menaunginya itu mengabaikan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol sosial.

 

Baca Juga: Sepakbola Perempuan dan Ketimpangan yang Kian Nyata

 

Adapun dalam Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik mengatur bahwa “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.” Penggambaran cabul diartikan sebagai tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Sedangkan Pasal 8 dalam Kode Etik Jurnalistik semakin menguatkan bahwa wartawan Indonesia tidak diperbolehkan menulis atau menyiarkan berita yang berdasar pada prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar jenis kelamin, suku, ras, warna kulit, agama, bahasa, dst.

Selain itu, menurut Widia, pemberitaan yang telah dilakukan media terkait tidak sebatas pelanggaran terhadap UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Perusahaan media tersebut bahkan telah menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan melanggengkannya lewat pemberitaan. Editor dan pemimpin redaksi, menurut KOMPAKS, turut andil dalam meloloskan pemberitaan yang merendakan martabat perempuan. Dalam hal ini, tidak hanya penulis yang bertanggungjawab atas kejadian ini. Para pihak  yang tergabung dalam struktur redaksi juga bertanggungjawab dan harus melakukan evaluasi.

 

 Perlu Pendidikan Gender

Atas pemberitaan yang melecehkan dan merendahkan martabat perempuan itu, KOMPAKS menyatakan akan melaporkan hal ini kepada Dewan Pers agar memberikan sanksi kepada media terkait. Selain itu, KOMPAKS mendorong Dewan Pers agar mewajibkan perusahaan pers memiliki sensitifitas gender yang baik. Dewan Pers diharapkan bersikap lebih tegas dalam menerapkan Kode Etik Jurnalistik agar kasus ini tidak terjadi lagi di media mana pun.

KOMPAKS juga mendesak tim redaksi media yang bersangkutan agar melakukan permintaan maaf kepada publik atas judul dan berita yang telah merendahkan martabat perempuan. Pada dasarnya, hal ini adalah etika dalam jurnalistik yang telah diatur dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik.

Selain itu, KOMPAKS menyerukan kepada setiap perusahaan media untuk menyelenggarakan pendidikan gender kepada jurnalis dan editor. Hal ini ditujukan agar perusahaan media membuat sistem yang berperspektif gender; menghindarkan objektifikasi kelompok tertentu, dan tidak merendahkan martabat perempuan.

Hingga tulisan ini diterbitkan (3/8/21), RP belum memberikan tanggapan apapun atas pertanyaan JalaStoria mengenai pemberitaan seksis tersebut. [ANHS]

Digiqole ad