Pasangan Biasa Saja

 Pasangan Biasa Saja

Ilustrasi (Pixabay/Markus53)

Oleh: Farida Mahri

Saya dan suami hanya pasangan biasa saja. Saya mulai dengan pernyataan ‘hidup berumah tangga itu tidak mudah”. Di tengah gelombang dorongan dan ajakan kepada kaum muda untuk segera menikah karena alasan ekonomi (ada yang menafkahi), psikologis (ada yang menemani atau kejelasan hubungan) ataupun agama (untuk menghindari zina), sepertinya perlu bicara bahwa berumah tangga tidak sesederhana itu.

Pernah suatu ketika saat saya berada di travel dalam perjalanan dari Jakarta menuju Cirebon, masuklah rentetan pesan di WA.

Mbak, aku lagi galau, rasanya aku mau bunuh diri,” begitu pesan dari seorang teman perempuan.

Lho kenapa? Ada apa?” tanyaku.

Aku kecewa, mas ku gak pernah peduli aku, dia gak peduli aku butuh ditemani, gak peduli apa kesukaanku dan banyak hal. Dia sibuk sendiri. Aku cape ngurus dia dan rumah ini,” katanya.

Oh gitu, sabar dulu, tenangkan pikiran. Kalau masalahmu itu coba tanya pada seluruh ibu-ibu di gang perumahan mu. Apa saja masalah yang mereka alami. Aku jamin, masalahnya sama. Lha, aku aja yang sudah 15 tahun nikah, masih punya masalah seperti itu kok. Tunggu aku, nanti kita ngobrol di Cirebon,” kataku.

Sepintas mungkin curhatan si mbak itu kelihatan sepele. “Duh manja banget siy, kayak anak kecil, minta ditemani,” bisa terbersit pikiran seperti itu. Tetapi sungguh curhatan seperti itu yang sering muncul, belum lagi masalah yang lebih berat seperti masalah keuangan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Curhatan itu kelihatan sepele, padahal sebenarnya kalau sudah muncul curhatan seperti itu biasanya itu sudah kumpulan dari masalah. Seperti saya pernah katakan bahwa laki dan perempuan itu sama-sama alien, ya keduanya berbeda kebutuhan, cara ekspresi dan komunikasi.

Laki-laki karena merasa ditakdirkan melulu di ruang publik, akan sibuk dengan dunia publiknya. Dunia mencari nafkah, kumpul dengan teman-temannya termasuk membahas isu-isu besar yang disukainya. Sementara perempuan melulu disibukkan dengan urusan domestik pekerjaan rumah tangga.

Laki-laki merasa sudah melakukan tanggungjawabnya jika sudah bekerja, memberi uang belanja, dan datang jika butuh makan serta “tatih tayang”. Perempuan cukup menunggu di rumah dan melayani, tidak boleh mengeluh meskipun suaminya menaruh handuk sembarangan setelah mandi, memberi uang belanja sekenanya, sementara istri jungkir balik mengelolanya. Situasi itu terus menerus terjadi, hingga istri akhirnya lama-lama menjadi bosan, menjauh, murung, dan dingin. Well, alasan-alasan untuk menikah akhirnya tidak terpenuhi. Jadi bukan tidak mungkin akhirnya perceraian pun terjadi.

Apakah tidak ada jalan lain selain bercerai?Banyak orang mengatakan jalan keluarnya harus ada yang mengalah. Namun pertanyaannya siapa yang harus mengalah? Jangan lagi katakan bahwa perempuanlah yang harus mengalah. Saya pikir ini bukan soal perkara “mengalah atau tidak” tetapi soal kemauan untuk belajar memahami satu sama lain. Bukan sekedar minta maaf ,dan kemudian terjadi lagi dan terjadi lagi tanpa ada perubahan sama sekali.

Mengungkapkan segala keluhan dan harapan terhadap pasangan itu penting. Sulit pake banget, tetapi harus dan jangan sekali saja, terus konsisten, beri contoh-contoh, agar terang benderang. Kata seorang ahli, “Bicara dengan anak kecil itu membutuhkan puluhan kali agar dia mengerti yang kita mau, sementara dengan laki-laki itu membutuhkan ratusan kali.”

Seringkali komunikasi kedua belah pihak mandeg dalam memperjelas permasalahan dan mencari solusi. Maklum kita ini kadang bodoh, hanya pintar menghafal teori, tidak memperdulikan bahasa lain, misalnya gestur tubuh, mimik muka dan respon-respon kecil. Pada tahap inilah kadang dibutuhkan pihak ketiga untuk memfasilitasi dialog.

Namun demikian dalam budaya kita, jarang sekali pasangan yang mau konseling bersama untuk mengatasi masalah mereka. Sependek pengalaman saya, perempuanlah yang lebih sering berinisiatif mencari teman curhat untuk menyelesaikan masalahnya, ketimbang laki-laki. Seringkali ada pandangan negatif terhadap isteri yang membicarakan suaminya pada teman-temannya. “Ngumbar aib”, sebutannya. Padahal menurut saya itu adalah salah satu cara dia untuk katarsis, sehingga pulang ke rumah ia bisa kembali melayani keluarga meskipun dalam diam.

Sementara laki-laki itu kebanyakan, jaga imej, tidak mau harga dirinya hancur kalau orang lain tahu keluarganya sedang bermasalah. Padahal konseling pasangan itu bisa sangat membantu, ketimbang saling menteror teman masing-masing untuk menjadi kubu pembela.

Sekali lagi, perkawinan adalah peperangan psikologis dua orang bukan dengan orang lainnya, selesaikan berdua dulu. Jika sampai melibatkan keluarga besar dan keluarga tersulut, bisa lebih runyam.

Yang kita harapkan dari perkawinan adalah kebahagiaan, namun kebahagiaan itu tidak serta merta dapat kita raih, apalagi maunya tiap hari bahagia. Seperti yang sudah pernah saya ungkapkan, bahwa tidak selamanya kita sehat, adakalanya kita sakit bahkan sakit parah. Demikianlah perkawinan.

Namun demikian jika hidup dalam satu perkawinan menghilangkan diri kita, membuat kita tenggelam dan terpuruk, bukan malah berkembang dan bahagia, buat apa kita pertahankan. Perceraian bukan hal yang tabu, bisa jadi perceraian justru membuka jalan menuju pencapaian hidup yang lain. Perceraian juga bukanlah suatu kegagalan, tetapi ia juga suatu fase dalam hidup untuk mencapai cita-cita sama halnya seperti pernikahan itu sendiri.

Saya menulis ini bukan bermaksud menjadi penasehat perkawinan, karena saya pun masih berada dalam kancah perjuangan ini. Satu hal yang paling saya sadari, adalah pentingnya mempunyai tujuan bersama dalam hidup. Bukan hanya tujuan punya anak, punya berapa rumah, numpuk harta dan masuk surga, namun apa yang mau kita capai dalam hidup untuk lingkungan dan masyarakat sehingga berpasangan atau tidak berpasangan pun mendapatkan relevansinya. []

Penulis adalah pendiri Sekolah Alam Wangsakerta di Cirebon

 

Digiqole ad