Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa (Bagian 1)

Cat merah putih di atas tembok (Sumber: David_Peterson/Pixabay.com)
Sobat JalaStoria, mungkin dalam satu dekade terakhir, ada banyak peristiwa kekerasan seksual yang melintas di timeline media sosialmu atau diberitakan oleh berbagai media. Entah media cetak ataupun media elektronik.
Walaupun demikian, jangan lupa, ada berbagai peristiwa kekerasan seksual yang terjadi namun luput dari pemberitaan media. Di Indonesia, ada sejumlah peristiwa kekerasan seksual yang terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia, namun seiring waktu nyaris dilupakan bahkan oleh masyarakat kita sendiri.
Emang ada ya peristiwa kekerasan seksual dalam sejarah bangsa Indonesia? Jawabannya, ada. Bahkan, mengingat jumlah korban yang tidak sedikit, tidak adanya pengakuan atas terjadinya peristiwa itu menyebabkan korban seperti tidak dipedulikan. Iya gak sih? Lah, peristiwanya aja nggak diakui pernah terjadi, bagaimana kemudian bangsa kita mengakui bahwa ada korban di peristiwa itu.
Nah, supaya kita bisa menjadi bangsa yang tidak melupakan peristiwa kekerasan seksual dalam sejarah perjalanan bangsa, berikut ini beberapa peristiwa kekerasan seksual massal yang perlu banget kita tahu, ya. Hal ini sebagaimana dibahas dalam Webinar Politik Kekerasan Seksual (Mengenang Mei 1998 dan Berbagai Kasus Kekerasan Seksual Massal), yang diselenggarakan oleh LETSS Talk (22/05/2021), dengan penambahan sejumlah informasi berdasarkan riset tim Redaksi JalaStoria.
- Tragedi Mei 1998
Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, kekerasan seksual massal terjadi dalam Tragedi Mei 1998. Paling banyak terjadi dalam rentang waktu 13, 14, dan 15 Mei 1998. Ada juga yang waktu kejadiannya berselang pekan sejak pertengahan Mei itu. Umumnya, korban adalah perempuan etnis Tionghoa. TGPF melaporkan 85 kasus kekerasan seksual yang terjadi, berupa perkosaan (52 orang), perkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
Selain itu, dalam Tragedi Mei 1998, kekerasan seksual juga menyasar perempuan yang diasosiasikan sebagai etnis Tionghoa. Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan pada 2008 tentang Dampak Kekerasan Seksual Mei 98, mengungkapkan pengakuan dari saksi percobaan perkosaan kepada seorang perempuan suku Bugis. Sekelompok laki-laki menghampiri korban dan rekannya yang sedang berjalan. Korban ditarik-tarik oleh mereka, dilecehkan, dan diancam akan diperkosa. Korban yang berteriak meminta dilepaskan, dengan akhirnya menggunakan bahasa Bugis, yang kemudian ditinggalkan oleh kerumunan itu dengan mengatakan, “Sudah lepaskan, mereka bukan Cina.” Ya, ciri berkulit putih dan bermata sipit dimiliki juga oleh beberapa suku di Indonesia.
Artinya apa, Sobat? Kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 ditujukan kepada etnis tertentu. Walaupun sesungguhnya, kekerasan seksual pada dasarnya menyasar orang yang terlahir dengan vagina. Ya, perempuan!
Baca juga: Di Balik Sinci dan Rujak Pare Bumbu Kecombrang
Tragedi Mei 1998 tidak terlepas dari peralihan kekuasaan orde baru ke era reformasi kala itu. Ada prasangka dan kebencian yang diletupkan terhadap etnis tionghoa. Selain, kekerasan seksual, juga terjadi penjarahan dan perusakan hingga pembakaran terhadap properti yang dikonotasikan sebagai milik penduduk beretnis tionghoa.
Sebutlah suatu penjarahan ke deretan ruko yang berada di suatu kompleks perumahan di Jakarta Utara, padahal ruko dan kompleks tersebut juga dihuni oleh suku dan etnis lainnya. Suatu akun Twitter @Ndr… (23/05/2021) bahkan menegaskan, penghuni kompleks juga ada yang beragama Islam. Ya, di peristiwa itu, tak dipungkiri kalo isu terkait agama juga sempat menyeruak.
Bagaimana dengan korban? Laporan Komnas Perempuan pada 2008 menyebutkan, korban terus membungkam sambil berusaha melanjutkan hidupnya. Walaupun demikian, korban membutuhan rasa aman dan berbagai dukungan untuk dapat bangkit. Misalnya, ketika korban memilih untuk memutus hubungan dengan masa lalu. Dukungan paling nyata dari pendamping antara lain dengan tidak menghubungi korban atau keluarganya untuk menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam proses pemulihan korban.
Selain itu, dukungan pemulihan juga sangat diperlukan oleh pendamping. Sebagai pihak yang mengetahui adanya korban, tak sedikit pendamping yang dituduh telah berbohong karena korban tidak bersedia tampil. Sebagai pendamping, tentu sangat memahami penderitaan korban yang tidak mungkin bersaksi untuk menceritakan kembali peristiwa traumatik itu.
- Peristiwa 1965
Peristiwa 1965 menyasar perempuan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan perempuan yang diasosiasikan sebagai Gerwani. Pada masanya, Gerwani adalah organisasi massa perempuan yang aktif menyuarakan isu perempuan seperti isu buruh, pengambilalihan tanah, kekerasan terhadap perempuan, dan lain-lain. Organisasi yang dibentuk tahun 1950 ini bertujuan mencapai persamaan hak perempuan, antara lain melalui pendidikan keterampilan dan pemberantasan buta huruf.
Pasca peristiwa 30 September 1965 di mana sejumlah jenderal ditemukan dibunuh di daerah Lubang Buaya, Gerwani difitnah sebagai eksekutor yang melakukan penyiksaan kepada para jenderal yang dibunuh. Orde baru pun memunculkan stigma pelacur kepada Gerwani. Gerwani yang berafiliasi dengan suatu partai politik Partai Komunis Indonesia juga dianggap memberontak terhadap negara sehingga menjadi musuh negara.
Menurut I Gusti Agung Ayu Ratih (22/05/2021), peneliti Institut Sejarah Sosial Indonesia, ada propaganda hitam dari berbagai koran pada masa orde baru tentang penggambaran jahat Gerwani di media. Oleh karena itu, upaya mengubah persepsi itu tentu tidak mudah. Adalah Saparinah Sadli, menurut Ayu, yang punya peran luar biasa untuk mengubahnya.
Saparinah membangun ruang untuk mempertemukan mempertemukan perempuan korban 1965 dengan beberapa organisasi perempuan seperti Kowani dan Dharma Wanita, serta organisasi berbasis keagamaan seperti Fatayat NU, Aisyiyah, dan WKRI. Dari perjumpaan itu, upaya menepis stigma dan sekaligus rekonsiliasi mulai terbangun.
“Mereka (organisasi selain Gerwani-Red) tidak membayangkan bahwa dehumanisasi terhadap perempuan benar-benar ada,” ungkap Ayu.
Komnas Perempuan pada 2007 melaporkan mereka yang dianggap sebagai Gerwani banyak yang mengalami berbagai pelangggaran hak asasi manusia, termasuk menjalani penahanan tanpa proses pengadilan. Laporan tersebut menguraikan antara lain kekerasan yang dialami korban dalam masa penahanan. Antara lain, penganiayaan korban dalam proses penangkapan, kondisi penahanan tidak manusiawi, pemindahan tempat penahanan, penyiksaan, penyiksaan seksual, perkosaan, perbudakan seksual, kerja paksa, hingga situasi anak yang mengikuti ibunya dalam tahanan.
Penyiksaan seksual antara lain serangan terhadap alat reprorduksi perempuan saat dilakukan interogasi. Selain itu, kekerasan seksual berupa perbudakan seksual juga dialami oleh istri dan anak perempuan yang anggota keluarga laki-lakinya dibunuh atau ditahan.
Sebagian perempuan korban 1965 yang kemudian dibebaskan dari penjara juga menghadapi situasi yang tidak mudah. “Mereka ditolak oleh anak-anaknya dalam keluarga,” jelas Ayu. Ada pula yang dimaki-maki dan dipaksa menggunakan jilbab. Selain itu, tambah Ayu, korban justru dianggap mempermalukan dan mencelakakan keluarganya. “Mereka dianggap menjadi sosok amoral dan binal, sama sekali tidak dibayangkan oleh mereka sebagai anggota Gerwani,” tegas Ayu.
==
Sobat JalaStoria, sampai di sini dulu ya. Nantikan kelanjutan informasi ini berikutnya…! O ya, berikut ini daftar bahan bacaan yang penting kamu baca:
- Laporan Hasil Dokumentasi Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya
- Seri Dokumen Kunci 2: Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965. [MUK/Reporter: ANHS]
