Menyikapi Pro Kontra Permendikbud PPKS (Bagian II)
Oleh: Ratna Batara Munti
Pengantar
Dalam Bagian I tulisan ini, diuraikan 3 poin pembahasan mengenai narasi simplifikasi yang digaungkan oleh penolak Permendikbud PPKS. Yaitu, 1.) Argumen Pemutarbalikan Logika di balik Frasa “Tanpa Persetujuan Korban”, 2.) Frasa “Tanpa Persetujuan Korban” Harus Dihapus, sehingga Permendikbud Dapat Menjangkau Perbuatan Amoral yang Tidak Menggunakan Kekerasan, 3.) Isu “Persetujuan”/Consent dalam Kekerasan Seksual Merupakan Isu Universal
Simak uraiannya dalam Menyikapi Pro Kontra Permendikbud PPKS (Bagian I)
- Salah Kaprah dalam Memahami Definisi Korban
Dalam salah satu narasi yang dikemukakan para penolak, yaitu Permendikbud harusnya tidak hanya mengatur korban kekerasan seksual tetapi juga korban dari aktifitas seksual tanpa kekerasan. Argumen ini tidak saja membingungkan tetapi juga keliru dalam memaknai siapa itu korban.
Korban sejatinya adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, seksual dan/atau kerugian ekonomi akibat peristiwa kekerasan yang mereka alami.
Apabila perbuatan di luar kekerasan atau perbuatan itu lahir dari keinginan atau persetujuan kedua belah pihak tentunya tidak ada yang korban yang menderita. Situasi ini di luar konteks kekerasan seksual yang menjadi fokus Permendikbud PPKS.
- Mencampuradukkan Soal Perzinahan dengan Kekerasan Seksual: Potensi Reviktimisasi pada Korban
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh pihak penolak, Permendikbud dianggap hanya mengatur perzinahan dengan kekerasan tapi tidak perzinahan tanpa kekerasan, alias melegalkannya.
Dari alasan penolakan terhadap Permendikbud ini, sangat jelas terlihat paradigma berpikir yang keliru. Mencampuradukkan dua hal yang berbeda, yakni perzinahan dengan kekerasan seksual. Seolah-olah hubungan atau aktifitas seksual yang dilakukan oleh pasangan yang sah (suami isteri) berarti tidak akan ada masalah.
Baca Juga: Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia
Kekerasan seksual bukanlah tindakan hubungan atau aktifitas seksual biasa, tetapi merupakan tindakan tanpa persetujuan/kehendak korban atau dengan paksaan dan ancaman agar korban setuju dan tunduk pada kemauan pelaku, atau dengan penyalahgunaan kekuasaan dan posisi rentan korban atau cara-cara kekerasan lainnya. Terlepas perbuatan tersebut dilakukan dengan pasangan di luar atau dalam relasi perkawinan, tetap tindakan tersebut merupakan kekerasan seksual.
Mencampuradukkan atau memasukkan soal perzinahan kedalam pengaturan kekerasan seksual selain akan membebaskan pelaku tindak kekerasan seksual ketika ia melakukannya dengan pasangan yang sah, di sisi lain akan merugikan korban kekerasan seksual.
Ada dua kelompok korban yang dirugikan. Pertama, korban yang berada dalam relasi pasangan yang sah dengan pelaku. Kedua, korban kekerasan seksual yang gagal membuktikan dirinya sebagai korban akan terancam sebagai pelaku perzinahan (reviktimisasi).
Fakta di lapangan selama ini, laporan korban sulit diproses karena kurangnya bukti dan ketiadaan saksi di luar korban. Kasus kekerasan seksual realitasnya tidak mudah dibuktikan karena umumnya terjadi di ranah privat atau lokasi yang hanya ada pelaku dan korban.
Dalam proses pelaporan, korban kerap mengalami trauma berulangkali karena keterangannya tidak dipercaya dan mudah disalahkan. Kekerasan seksual yang dialami korban dianggap oleh aparat penegak hukum sebagai hubungan seksual suka sama suka.
Dapat dibayangkan ketika ada pengaturan perzinahan, semakin memperkuat stigma terhadap korban, korban bahkan akan diperlakukan sebagai pelaku perzinahan dan mendapat sanksi.
Dampak pengaturan perzinahan terhadap korban kekerasan seksual yang akhirnya justru dipersalahkan, bahkan dihukum sebagai pelaku perzinahan, merupakan fenomena yang sudah terjadi di banyak tempat di masyarakat patriarki. Salah satunya adalah di Sudan.
Aturan kekerasan seksual (perkosaan) di Sudan memasukkan redaksi perzinahan di dalamnya sehingga dalam implementasinya, para korban perkosaan yang laporannya gagal diproses karena kurang bukti, justru dicambuk karena dianggap melakukan perzinahan.
Hal ini membuat banyak korban perkosaan yang enggan melaporkan kasusnya sehingga hak-haknya sebagai korban tidak didapatkan. Pada tahun 2015, parlemen Sudan telah melakukan amandemen terhadap pasal perkosaan mereka dan mengeluarkan redaksi perzinahan dalam aturan perkosaan mereka.
Sudan telah belajar dari kesalahan mereka sebelumnya yang mencampuradukkan atau memasukkan konsep perzinahan dalam pengaturan soal kekerasan seksual sehingga banyak korban kekerasan seksual yang dirugikan dan mereka adalah mayoritas kaum perempuan.
Jika kita membiarkan ambisi kelompok tertentu dengan narasi-narasi yang mendesakkan pengaturan perzinahan apakah itu melalui Permendikbud bahkan di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan sebelumnya di RUU KUHP. Pertanyaannya, akankah kita, bangsa Indonesia ingin mengulang kesalahan Sudan dan masuk ke lubang yang sama?
Sementara negara-negara Muslim seperti Sudan, Tunisia, Malysia, Turki, dan Lebanon sudah melangkah maju, kita justru masih menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan “moral dan agama” sebagai simbol. Mereka tidak menempatkan bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual antara lain melalui Permendikbud PPKS atau rancangan aturan seperti RUU PKS adalah bagian dari menerapkan nilai-nilai agama itu sendiri.
Tidak ada satupun agama yang tidak mengutuk kekerasan seksual.
Pada akhirnya, upaya-upaya penolakan atau mementahkan tujuan dari pengaturan terkait kekerasan seksual seperti Permendikbud PPKS atau RUU PKS dengan menyebarluaskan narasi-narasi yang “menyesatkan” di masyarakat akan berpotensi menyeret bangsa ini lebih jauh menuju kemunduran.
- Permendikbud PPKS dianggap Melampui Aturan yang Lebih Tinggi dan Belum Ada Payung Hukum terkait Kekerasan Seksual karena RUU P-KS Belum Disahkan Menjadi UU.
Cantolan payung hukum yang melegitimasi keberadaan pengaturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di berbagai ranah/aspek/bidang seperti di dunia pendidikan, sudah cukup kuat meskipun RUU P-KS belum disahkan.
Baca Juga: Menjawab Pertanyaan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Selain KUHP yang mengatur sebagian bentuk-bentuk kekerasan seksual meskipun dengan istilah yang lain[3], juga sudah ada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan di mana Penghapusan Kekerasan Seksual yang merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, menjadi bagian tak terpisahkan.
Tahun 2019, pemerintah Indonesia juga turut menandatangani Konvensi ILO Nomor 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Konvensi ini juga menjadi payung hukum yang akan memperkuat legitimasi keberadaan Permendikbud PPKS. Oleh karena dunia kampus adalah juga bagian dari dunia kerja.
Dukung Permendikbud PPKS
Aturan yang merespon isu kekerasan seksual seperti Permendikbud PPKS bukanlah hal baru. Sebelum Kemendikbudristek menerbitkan Permendikbud PPKS ini, Kemenakertrans sudah lama menerbitkan Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja melalui Surat Edaran Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011.
Adapun lingkungan Perguruan Tinggi di bawah naungan Kemenag, telah diterbitkan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Dengan demikian tidak ada alasan untuk menolak keberadaan Permendikbud PPKS ini.
Sumber:
PKS.id, KUHP Indonesia, Law.cornell.edu