Meledaknya Bom Waktu
Tak terasa, setahun lebih aku bertahan tinggal bersama mereka. Keluarga suami yang sungguh berbeda budaya dengan keluargaku. Hari-hari yang teramat berat harus ku jalani. Menahan amarah yang tiap saat sering membuncah. Ya, mungkin aku gagal beradaptasi. Atau mungkin memang aku yang tak ingin melakukannya.
Aku putuskan menjadi ibu rumah tangga, walau orang tuaku ingin aku bekerja agar pendidikan tinggi yang mereka berikan tak sia-sia. Keputusan aku ambil karena Allah begitu baik, langsung memberiku amanah yang begitu besar sebulan pasca pernikahan. Takdir Allah menjadikanku ibu hamil yang tak bisa banyak beraktivitas selama trimester pertama, makin membuatku selalu berdiam diri di rumah.
Dengan keadaanku, seharusnya ibu mertua dan kakak iparku bisa memaklumi. Tapi, nyatanya tidak demikian. Ke sana ke mari mereka membicarakanku, mengatakan bahwa aku menantu yang malas. Bahkan di depanku pun, ibu mertua menyebutku pemalas. Di rumah itu, aku tidak sepenuhnya berdiam diri. Setiap hari aku menyapu dan mengepel lantai. Memang aku tidak mau lagi membantu memasak. Aku sakit hati semenjak sop buatanku disebut mirip air kobokan.
Selama hamil, aku sering menangis. Kubersihkan rumah hingga lelah, begitu mereka pulang, rumah kotor tak karuan. Tak ada yang membantuku, apalagi menggantikanku. Hingga hamil besar, aku masih melakukannya sendiri. Bahkan, sepulang dari rumah sakit setelah melahirkan, aku masih membersihkan rumah sendiri. Berulang kali aku merengek pada suamiku agar kami mengontrak saja. Tapi, ia selalu menolak dengan berbagai alasan. Aku menyadari, ia lebih berat meninggalkan keluarganya dari pada membuat istrinya terbebas dari sengsara. Ribuan kali terlintas di pikiranku untuk pergi meninggalkan rumah ini. Tapi, akal sehatku masih terkendali. Aku hanya bisa menangis saat bercerita kepada orang tuaku melalui telepon.
Hari demi hari berlalu dengan berbagai keluhan, dengan berbagai perbedaan yang tak bisa ku toleransi. Aku bisa apa? Hanya bersabar, diam dan menahan. Hingga suatu hari, bom waktu itu meledak. Hanya karena masalah sepele. Aku dilabrak oleh ibu mertua dan kaka iparku.
Cerita berawal ketika ibu mertuaku hendak meminjam gunting kuku. Aku yang merasa tidak menggunakannya pun menjawab bahwa bukan aku yang terakhir kali memakai gunting tersebut. Menurutku, nada bicaraku biasa saja. Tapi, ibu mertuaku tersinggung dengan ucapanku. Lalu, suamiku marah karena membuat ibunya tersinggung. Aku pun membalas perkataannya, mengapa mereka boleh marah ketika tersinggung oleh ucapanku, tapi aku tidak? Padahal sering aku tersakiti oleh ucapan dan tindakan mereka. Mendengar suami memarahiku, ibu mertua dan kaka ipar melabrakku ke kamar. Berbagai umpatan mereka lontarkan. Seakan mereka sudah menahannya selama ini. Tangisku tak tertahan, amarahku tak terbendung. “Aku akan pergi dari sini, ambil kembali anak lelakimu”. Teriakku kepada ibu mertuaku.
Bukan tanpa alasan ku katakan itu. Selama tinggal bersama mereka, ibu mertuaku beberapa kali melarang anak lelakinya untuk membantu pekerjaanku. Alasannya, anak lelakinya bisa menghasilkan uang. Jadi, ia tak boleh melakukan pekerjaan rumah tangga. Alasan yang begitu kuno.
Ibu mertuaku membalas ucapanku. Aku boleh pergi, tapi aku harus meninggalkan anakku bersama mereka. Sungguh perkataan yang sangat jahat. Melukaiku sebagai ibu dari anakku. Sementara itu, kakak iparku mengumpat memperkeruh suasana. Suamiku pun tak mampu menghentikan ibunya. Hingga akhirnya pertengkaran usai dengan perjanjian memulai semua dari awal. Aku hanya mengiyakan. Padahal, aku sungguh tak mampu melakukannya.
Kaca sudah terlanjur pecah. Dengan apa mampu mengembalikannya seperti semula?
Ana,
Ibu rumah tangga