WfH dan Beban Ganda Perempuan

 WfH dan Beban Ganda Perempuan

(Ilustrasi: JalaStoria.id)

Oleh: Grasia Renata Lingga

 

Mulai 18 Maret 2020, kantorku mulai menerapkan sistem Work from Home. Pertama tau akan WfH, aku tentu senang sekali. Akan membayangkan leyeh-leyeh di rumah sembari mengerjakan kerjaan kantor, membalas email atau memberi layanan informasi kepada masyarakat yang membutuhkan akses rujukan ketika mengalami kasus kekerasan. Tapi ternyata tidak seindah kedengarannya ya.

Hari pertama WfH, bukannya bisa kerja dengan slow, tapi justru kejar-kejaran. Pekerjaan makin terlihat lebih banyak dan makin sulit dikerjakan. Gimana nggak? Selain dinas luar (DL) dari kantor, juga sambil melakukan pekerjaan rumah tangga. Baru sebentar pegang laptop, disambi masak air, disambi nyapu, disambi nyetrika, nyeplok telor. Juga disambi menyeduh minuman rempah. Terlebih lagi gejolak keingintahuan untuk mengakses media sosial dan memeriksa informasi valid terkait Covid-19.

WfH tampaknya santai dan seru. Bisa punya waktu luang makin banyak. Sampai bikin daftar film yang akan ditonton dan playlist lagu. Padahal sebenarnya justru makin berat.

Kalau di kantor, bisa fokus mengerjakan pekerjaan kantor, sementara kalau WfH segala sesuatunya ya disambi.

Tapi, mungkin karena masih hari pertama, dan aku sedang melatih diri sendiri juga, bahwa ini bukan liburan. Ini jam kerja, yang hanya saja tempatnya berpindah ke rumah. Walaupun, sungguh tidak mudah. Selain dibebani pekerjaan rumah, belum lagi pekerjaan kantor yang jadinya bertumpuk. Mungkin karena semula tampak lebih santai mengerjakannya di rumah ya.

Di satu sisi, WfH tampak seperti privilege, karena tidak berlaku untuk semua orang. Tapi, di sisi lain justru tampak seperti double burden, terlebih kepada pekerja perempuan yang dapat jatah WfH.

Tapi, semuanya jadi ‘ya udah, gak apa-apa’, kalau mengingat teman-teman lain yang berjuang di luar rumah. Teman-teman yang kantornya belum ada kebijakan untuk #dirumahaja, walau keadaan makin payah. Juga buat teman-teman yang harus bekerja di luar rumah, seperti teman-teman medis, wartawan, driver tansportasi umum, petugas keamanan.

Jadi merasa bersalah juga untuk mengeluh, kalau mengingat teman-teman yang terpaksa memilih resign. Hari ini seorang teman mengirim kabar, kalau ia dan beberapa karyawan merencanakan resign. Alasannya, toko tempatnya bekerja tidak mengeluarkan kebijakan apapun, sementara toko tersebut berada di pusat keramaian yang sangat rentan terdampak Covid-19. Ini sungguh berat bagi mereka.

Selain itu, hari pertama WfH, aku belajar bahwa kita nggak bisa pura-pura nggak panik.  Aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik aja. Saat banyak orang menakar keimanan seseorang hanya dari standar “gereja vs gak gereja” minggu ini, aku justru berpikir bahwa titik penyerahan diriku saat ini adalah dengan mengakui keberadaan Covid-19. Sungguh penerimaan ini menguatkanku. Bahwa aku harus mulai memikirkan keselamatan diri dan keluarga, terlebih bapak yang memang sudah sakit dan tentu saja lebih rentan terkena virus. Penerimaan ini sungguh menguatkan aku, untuk tidak berpura-pura tenang. Terlebih tidak menutupi kepanikan, dengan bersikap “biasa aja,” tapi membuat aku memikirkan apa yang harus aku lakukan ke depan.

Oh iya, jangan lupa untuk menanyakan kabar teman-teman terdekat ya. Di saat-saat seperti ini, hal itu penting sekali. Saling menguatkan, berupaya dan berserah.[]

Koordinator  Program Yayasan PUPA

 

Digiqole ad