Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan dan Problematika Hukumnya

 Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan  dan Problematika Hukumnya

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Oleh Ermelina Singereta

 

Perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan semakin banyak terjadi di Indonesia, terutama di Provinsi Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Pada periode Januari-Juli 2019, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia telah menangani 32 (tiga puluh dua) kasus pengantin pesanan.  Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat 20 (dua puluh) kasus TPPO dengan modus pengantin pesanan selama setahun. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada 29 (dua puluh sembilan) perempuan Indonesia menjadi korban pengantin pesanan yang diduga terperangkap dalam modus kejahatan tindak pidana perdagangan orang, Data JarNas Anti TPPO menunjukan kasus pengantin pesanan khusus di daerah Kalimantan Barat sebanyak 15 (lima belas) kasus.

Dalam konteks perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan, pelaku selalu menggunakan cara dengan menipu korban, mengubah identitas korban, keyakinan, janji untuk mendapatkan kehidupan yang baik, dan berbagai modus lainnya. Faktanya banyak korban yang dieksploitasi baik secara fisik maupun psikis dengan memaksa korban untuk bekerja dalam waktu yang sangat lama seperti  melakukan pekerjaan rumah tangga, pekerjaan di pasar, pekerja kebun, dan pekerjaan lainnya yang tidak sesuai dengan janji para pelaku saat menikahi korban. Ada juga korban yang mengalami eksploitasi secara seksual dengan menempatkan korban di tempat-tempat prostitusi dan tindakan lainnya dalam rangka mendapatkan keuntungan secara finansial.

 

Perdagangan Orang dan Kemiskinan Struktural 

Perdagangan orang kebanyakan terjadi karena kemiskinan struktural, khususnya karena adanya kemiskinan secara ekonomi dan pendidikan. Saat terjadinya ketimpangan ekonomi maka peluang untuk menjadi korban perdagangan orang semakin besar karena akses untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang ada sangat terbatas.

Terbatasnya akses untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dikarenakan masyarakat kita masih banyak yang belum mendapatkan pendidikan yang baik. Ini terjadi karena di saat standar lapangan pekerjaan tinggi tidak diimbangi dengan pemenuhan target pendidikan masyarakat kita secara memadai. Banyaknya korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan ini juga dikarenakan pola pikir masyarakat kita yang tidak memberikan perempuan peluang yang sama dengan laki-laki dalam hal mendapatkan pendidikan yang baik.

 

Perkawinan Pesanan dalam Konteks Kebijakan Hukum

 

Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan, baik kebijakan internasional melalui ratifikasi berbagai aturan internasional maupun dengan mengesahkan kebijakan nasional yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya dan khususnya bagi korban perdagangan orang.

Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, di mana Pasal 1 menyebutkan: Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Selain itu Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di mana Pasal 1  menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan pesanan apabila melihat konteks perkawinan yang bahagia tentu sangatlah tidak tepat. Perkawinan seharusnya dilandaskan dengan rasa saling percaya, memberikan kasih sayang, dan saling menghormati antara satu dengan yang lainnya sehingga tujuan perkawinan yang bahagia tersebut dapat tercapai dengan baik. Sementara perkawinan pesanan tidak melalui sebuah proses-proses di atas. Dalam konteks perkawinan pesanan justru terdapat model perekrutan, adanya pemalsuan identitas korban atau penipuan, dan/atau penjeratan hutang sebagaimana unsur Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 

Kelemahan Perlindungan Hukum pada Masalah Pengantin Pesanan

Masalah pengantin pesanan mengalami kendala dalam proses penegakan hukumnya. Ini berkaitan dengan cara pandang aparat penegak hukum kita mengenai tidak terpenuhinya unsur dalam TPPO yaitu “untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Hal ini tentu tidak terlepas dari cara pandang aparat kita yang melihat bahwa perkawinan itu selalu bahagia, tidak ada eksploitasi, atau jika korban masih dalam proses mempersiapkan perkawinan yang di mana unsur eksploitasinya belum tercapai.

Di sisi lain, aparat kita tidak melihat bahwa unsur eksploitasi dapat dikesampingkan dengan mempertimbangkan bahwa ada sebuah proses dan cara yang telah digunakan dengan tidak baik dengan melanggar undang-undang.  Untuk apa menggunakan proses dan cara yang tidak baik jika tidak dipergunakan untuk dieskploitasi? Maka dengan pertimbangan ini, walaupun unsur eksploitasinya belum terpenuhi seharusnya para pelaku tetap dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.

Selain itu dalam rangka untuk tercapainya keadilan bagi korban, maka sangat baik untuk melakukan pembaharuan hukum baik terkait substansi hukum maupun budaya hukum. Ini sangat penting agar aparat penegak hukum dapat melihat suatu kasus secara menyeluruh dan agar semua orang dapat menghargai lembaga perkawinan dan tidak menganggap perkawinan sebagai bahan lelucon atau mainan. Termasuk agar tidak menggadaikan kebahagian orang lain karena sejatinya perkawinan itu merupakan perisitiwa sakral yang melibatkan kedua belah pihak yaitu perempuan dan laki-laki untuk tercapainya kehidupan yang bahagia, tentu dengan mengedepankan prinsip yang adil dan setara.[]

 

Advokat (Dike Nomia), Ketua Bidang Advokasi dan Hukum JarNas Anti TPPO, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta

 

Digiqole ad